Opini
Menuju Transformasi Pendidikan Dayah
Politik yang dipraktikkan di negeri ini sangat jauh dari atmosfer demokrasi yang sehat dan bermartabat, apalagi jika dilihat dari perspektif agama.
Pola pikir yang mengedepan rasa (emosional), hana me-oeh ngon gurei, pada masalah-masalah yang justru membutuhkan pikiran yang rasional, telah mengebiri para santri untuk tidak berani mengatakan “tidak” terhadap pikiran dan tindakan senior atau gurunya yang sudah jelas salah. Pola doktrinal dalam mendidik dan penumbuhan sikap mengkultuskan individu di lingkungan dayah telah memberi dampak yang signifikan tujuan pendidikan Islam, yaitu melahirkan santri yang bermartabat dan berperadaban.
Ulama atau teungku di dayah sejatinya menjadi figur yang memancarkan keteladanan dalam kekritisan berpikir, keobjektifan dalam bertindak dan kehalusan dalam berperilaku. Sebab lingkungan pendidikan dayah bukanlah sebuah lembaga kerahiban dimana penghuninya hanya beribadah, tunduk dan patuh kepada Tuhan (hablum minallah) semata, tanpa memedulikan keadaan di luar dengan segala carut-marut yang harus dibenahi dan diperbaiki.
Kalaulah transformasi pendidikan sebagai salah satu solusinya, maka kita sepakat agar ulama dayah memberikan perhatian penuh pada langkah ini. Apa sebenarnya transformasi itu? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), transformasi diartikan sebagai perubahan rupa dalam bentuk wujud dan sikap.
Transformasi pendidikan diartikan sebagai perubahan-perubahan yang dilakukan stakeholder pendidikan dalam memajukan dan mengembangkan sistem pendidikan menjadi lebih baik dan bermartabat, sebagai tempat memanusiakan manusia. Bukan sebaliknya, sebagai tempat memperbudak manusia. Nah, untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia di dayah, pandangan penulis harus dilakukan transformasi pada salah satu aspek lain selain transformasi berpikir, yaitu transformasi akhlak, jiwa, ruh, sikap dan perilaku mental (mental hygen) di kalangan civitas akademis dayah, terutama di level ulama (para ‘alim).
Hal ini merupakan bagian dari restorasi jiwa kalangan internal dayah dalam memandang santri sebagai amanah Allah yang harus dimuliakan, dididik, diayomi, dibina dan dipersiapkan masa depan mereka sebagai khalifah di muka bumi. Kesadaran sebagai penerima mandat orang tua terhadap anak-anak mereka supaya dipelihara dan ditumbuhkembangkan kemanusiaannya di lingkungan dayah yang kondusif dan ramah anak.
Sebenarnya hanya ini saja persoalan akut yang masih mendera dinamika dayah sekarang ini. Yaitu masalah kala manusia (ulama) melihat manusia lain (santri) bukan bagian dari dirinya. Akibatnya, menempatkan santri pada posisi subjek yang bisa dijadikan mangsa, bukan amanah yang harus dilindungi.
Keunggulan dayah
Sebenarnya harus diakui bahwa seiring perjalanan waktu dayah telah memiliki banyak keunggulan. Salah satu yang bisa dilihat adalah pada bagian dekorasi luar (sarpras dan fasilitas), lembaga pendidikan dayah sangat memadai dan patut diapresiasi. Lingkungan dayah terlihat begitu memesona dan gemerlap dewasa ini. Komplek dayah semakin bercahaya, modern dan glamor.
Ironinya, kemajuan ini sedikit banyaknya telah mendistorsi sistem nilai yang secara diklaim sebagai bagian dari otoritatif nilai, ruh, atau filosofi khas dayah. Kesederhanaan hidup misalnya, adalah filosofi warga (ulama dan santri) dayah yang kini nyaris tidak ditemukan lagi. Mungkin perubahan ini disebabkan oleh tuntutan zaman, tanpa menyalahkan pergeseran nilai yang terjadi di lingkungan dayah.
Kita tidak menuduh seratus persen kesalahan ulama dayah yang telah memosisikan dirinya bukan lagi sebagai sosok pewaris kepribadian Nabi yang sederhana dengan menyembunyikan kemewahan, melainkan sebagai sosok mitra pemerintah (pejabat) yang notabene sudah terbiasa memperagakan gaya hidup raja-raja.
Padahal dayah bukanlah sebuah kerajaan dan ulama dayah bukanlah raja diraja dengan segala sepak terjang kenikmatan dunia. Kendaraan, rumah, pakaian dan aksesoris penampilan menjadi simbol level elite sosial dalam interaksi sekarang ini. Dengan kata lain, seorang ulama seakan dituntut untuk memiliki semua itu sebagai prasyarat penerimaan pemerintah kepada ulama selaku sebuah elite baru dalam kontrak kerja mitra pemerintah.
Konon lagi di tahun politik sekarang ini, sebagian ulama dayah telah berkecimpung di ranah politik praktis, apakah melalui partai politik, calon anggota legislatif dengan berbagai latar belakang parpol, atau juga melalui jalur Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Akibatnya, fungsi ulama di level keumatan yang bebas kepentingan akan terganggu atau teralihkah.
Salah satu lahan pengabdiannya yang paling substansial akan terabaikan disebabkan fungsi politik lebih banyak menyerap energi, perhatian dan konsentrasinya. Padahal seorang ulama sejatinya sebagai sosok yang dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa sekat atau embel-embel partisan atau bukan.
Oleh karena itu, sejak dari dahulu penulis berpandangan sebaiknya ulama tidak terjun bebas ke dunia politik praktis. Banyak risiko keulamaan yang harus dikorbankan dan yang paling tragis adalah justru ulama itu sendiri yang sering menjadi korban ganasnya dunia politik. Menurut pandangan pribadi, kondisi perpolitikan di Indonesia sangat tidak kondusif terhadap kredibilitas para ulama.
Politik yang dipraktikkan di negeri ini sangat jauh dari atmosfer demokrasi yang sehat dan bermartabat, apalagi jika dilihat dari perspektif agama. Dalam kondisi carut-marut dan aroma tidak baik wajah perpolitikan di Indonesia pasca era reformasi ini, tempat dan posisi terbaik bagi ulama adalah tetap berada di tengah-tengah umat sebagai penyejuk, tempat bersimpuh para pentaubat politikus yang selama ini mencederai dunia politik, nah!
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.