Opini
Menuju Transformasi Pendidikan Dayah
Politik yang dipraktikkan di negeri ini sangat jauh dari atmosfer demokrasi yang sehat dan bermartabat, apalagi jika dilihat dari perspektif agama.
Muhibuddin Hanafiah, Akademisi UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh
HARI-hari belakangan ini ulama dan lembaga dayah kembali menjadi pusat perhatian publik di Aceh. Di antara penyebabnya adalah pertama setelah rekan media dan jurnalis memuat pernyataan ulama kharismatik Aceh, Tgk Haji Usman Ali atau lebih dikenal Abu Kuta Krueng yang menghimbau masyarakat Aceh agar meninggalkan perbedaan pendapat terkait dinamika penetapan Pj Gubernur Aceh.
Kedua, tausiyah (semi fatwa) yang dikeluarkan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh tentang kriteria yang diharapkan pada sosok Pj Gubernur Aceh sebelum pengangkatan kembali Achmad Marzuki. Dimana MPU Aceh menaruh harapan besar kepada pemerintah pusat agar Pj Gubernur Aceh mendatang seyogianya adalah sosok putra terbaik Aceh yang memiliki kualitas dan integritas tinggi sesuai dengan nilai-nilai agama, adat dan budaya Islami (Serambi, Kamis 22 Juni 2023).
Apa yang terjadi kemudian adalah di luar hasrat dan asa elite masyarakat Aceh. Elite yang dimaksud dalam konteks tulisan ini adalah ulama, baik sebagai perorangan maupun lembaga. Abu sebagai pribadi dan mewakili kaum ulama di Aceh mengajak masyarakat untuk mematuhi Keputusan Presiden sebagai representasi ulil amri (Serambi Indonesia, Jum’at 7 Juli 2023).
Abu berharap melupakan perdebatan selama ini dan menerima keputusan yang telah ada. Inilah kenyataan yang harus diterima, baik secara terpaksa maupun tidak. Terlepas dari ada tidaknya yang mendekati Abu untuk menenangkan masyarakat, namun suara ulama bagi masyarakat Aceh masih dianggap sebagai peunutoh yang tabu dilangkahi.
Nampaknya imbauan Abu secara khusus ditujukan juga kepada wakil rakyat Aceh melalui DPRA serta MPU Aceh. Ketua MPU Aceh Tgk H Faisal Ali yang populer dipanggil dengan Lem Faisal merupakan sosok ulama dayah generasi baru yang berpengaruh di Aceh saat ini.
Kharisma ulama
Bagai gayung bersambut, pasca penetapan kembali Pj Gubernur Aceh kepada Achmad Marzuki melalui Keputusan Presiden, Joko Widodo (Selasa, 4 Juli 2023 di Jakarta), DPRA menyampaikan dukungan atas ketetapan presiden tersebut. Demikian juga MPU kemudian menyatakan penerimaan dan memberikan ucapan selamat kepada Achmad Marzuki sebagai Pj Gubernur Aceh periode tahun 2023-2024.
Fenomena ini menunjukkan sikap akomodatif para elite politik dan ulama Aceh terhadap keputusan pemerintah pusat terhadap Aceh tanpa perlawanan yang berkepanjangan. Apakah sikap ini dilakukan atas keterpaksaan atau kepatuhan, biar waktu yang akan menjawabnya.
Tulisan ini ingin mencermati kembali posisi ulama sebagai representasi dayah, baik secara perseorangan maupun kelembagaan yang sedang diuji kembali perannya sebagai mediator antara pemerintah pusat yang kelihatannya masih cenderung otoriter terhadap “keistimewaan” Aceh yang semakin kehilangan gezah vis a vis rakyat Aceh yang menuai harapan hampa.
Penulis mencoba memberikan beberapa pemikiran kepada ulama dayah dan lembaga pendidikan dayah sehingga tetap konsisten pada khitahnya yang memihak kepada suara hati rakyat Aceh dan peran mediasinya terhadap pemerintah pusat. Dalam konteks Aceh, ulama dan dayah dua entitas yang saling menyatu. Karena dayah merupakan basis ulama dalam memainkan perannya terhadap keilmuan agama, umat dan pemerintah. Konon lagi dalam bingkai keistimewaan Aceh, peran ulama dalam kebijakan pemerintahan merupakan salah satu jihad para ulama.
Selain menyangkut isu politik, salah satu problem sosial yang menyeret lembaga dayah ke ranah publik adalah masalah kasus-kasus amoral yang akhir-akhir ini marak dibicarakan dan sayangnya melibatkan kalangan internal dayah (ulama).
Benarkah dayah kini sedang mengalami krisis pendidikan yang akut? Khairil Miswar dalam opini berjudul; Kekerasan Seksual di Pesantren (Serambi Indonesia, Selasa 4 Juli 2023) seakan melihat ada banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan di dayah. Karena itu diperlukan upaya agar jati diri dayah dapat diselamatkan melalui sebuah usaha yang ia sebut dengan “transformasi”.
Miswar menyatakan; “langkah-langkah strategis yang harus ditempuh pesantren, salah satunya dengan melakukan transformasi sistem pendidikan dari pola doktrinal dan kultus (dominasi) berbasis emosional--yang menyebabkan santri menjadi pasif--menjadi sistem pembelajaran yang kritis berbasis rasional dengan pola hubungan dinamis agar santri dapat berpikir mandiri. Kemandirian berpikir (tanpa adanya dominasi) dan sikap kritis dari santri akan menutup peluang bagi terulangnya kekerasan seksual di pesantren di kemudian hari”.
Dayah dan outsider
Miswar ada benarnya ketika menawarkan sebuah transformasi yang harus dilakukan di dayah melalui pembenahan metode pendidikan. Dalam pandangan Miswar, akar masalah dunia dayah saat ini adalah masih terpeliharanya kejumudan berpikir dengan mindset yang keliru di kalangan santri. Hal ini tidak terlepas dari sistem pendidikan yang sengaja dibangun di lingkungan dayah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.