Jurnalisme Warga
Ketika Warga Pidie Tanam Kopi di Tangse dan Geumpang
Walaupun barang langka dan mahal, orang Aceh sejak jameun keureu’eun (cukup lama) sudah minum kopi yang disebut minuman kahwa.
T.A. SAKTI, peminat sejarah, melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie
TAMBEH TUJOH BLAH (17 Tuntunan) sebuah kitab karya Syekh Abdussamad alias Teungku Di Cucum (1257 H), menjelaskan bahwa kopi bukan asli berasal dari Aceh. Sebagai salah satu rahmat Allah, kopi dibawa orang ke Aceh atau dengan istilah populer sebagai barang impor.
Walaupun barang langka dan mahal, orang Aceh sejak jameun keureu’eun (cukup lama) sudah minum kopi yang disebut minuman kahwa.
Kesempatan minum kahwa hanya bila para orang kaya mengadakan kenduri. Di saat jeda istirahat setelah membaca Al-Qur'an, kepada tamu disuguhi minuman. Bagi tuan rumah yang hidup sederhana hanya menghidangkan air mandrit, tapi di rumah orang- orang berada berupa minuman kahwa (Aceh: ie kahwa).
Lama-kelamaan orang Aceh pun menanam pohon kahwa. Lokasinya di suatu tempat di sebelah barat Keude Tangse (pasar Tangse), Kabupaten Pidie, yang sampai hari ini namanya disebut Gampong Pulo Kawa (Kampung Pulau Kahwa).
Pada awal tahun 1960-an menjadi titik puncak penanaman kopi di Tangse dan Geumpang, Kabupaten Pidie. Pada era itu berduyun-duyun penduduk tanah dataran rendah Pidie berimigrasi ke dataran tinggi Tangse dan Geumpang. Selain menanam tanaman muda yang tidak lama bisa dipanen, mereka pun menanam tanaman tua seperti kopi, durian, dan lain-lain.
Sebab utama awak nanggroe (orang negeri) pindah ke pegunungan Tangse dan Geumpang karena mereka gagal panen padi berkali-kali. Padi yang ditanam di sawah tidak bisa tumbuh dengan sempurna. Rumpun padi dari jenis padi tradisional yang berbatang tinggi, hanya tumbuh separuh dari ketinggian padi normal. Setelah itu, tanaman padi hanya gamang tidak tumbuh lagi dan tidak berbuah. Dalam bahasa Aceh disebut pade duek (padi duduk). Musim kelaparan di Pidie amat terasa. Orang menyebutnya “nanggroe Pidie teungoh deuek” (negeri Pidie sedang kelaparan).
Setelah memperhitungkan laba-ruginya, banyak penduduk dari sebagian besar kecamatan di Pidie, seperti Kecamatan Kembang Tanjong, Mutiara, Indrajaya, Tiro-Turusep, Titeue-Keumala, dan Kecamatan Sakti, berangkat merantau ke Tangse-Geumpang.
Tahun 1963, saya dapat melihat dan mendengar orang-orang dari kampung saya dan desa sekitarnya seperti Gampong Lhokme, Lameue, Pante Krueng, Gampong Jeumpa, Leupeuem, dan Mukim Busu sudah berangkat ke Tangse dan Geumpang.
Selang beberapa tahun ureueng nanggroe merantau ke Tangse dan Geumpang, hasil pun mulai tampak. Berbagai tanaman muda seperti campli cina (cabai rawit), cabai panjang, ubi, bermacam jenis labu, terong, boh pik (gambas), dan lain-lain sudah dapat dipetik/dipanen buahnya. Begitu pula dengan tanaman tua, seperti kopi, durian juga sudah menghasilkan. Sebagian besar hasil pertanian itu dibawa turun ke pasar Kotabakti dan Keude Beureunuen. Dari pasar Beureunuen inilah didistribusikan lebih lanjut ke berbagai kota dan pasar di seluruh Aceh, bahkan sampai ke Medan, Sumatra Utara.
Mulai masa itu sampai hari ini masih dikenang orang nama kopi Tangse, beras Tangse, durian Geumpang, durian Beungga, dan Lhok Keutapang.
Sejak masa itu berkembanglah Kota Beureunuen, ibu kota Kecamatan Mutiara. Sewaktu saya kecil, Beureunuen hanya suatu pasar kecil yang semua kedainya/toko beratap daun rumbia. Kotabakti sebagai ibu kota Kecamatan Sakti dan Sigli merupakan dua kota terbesar di Kabupaten Pidie. Alat transportasi canggih di Kotabakti ketika itu adalah kereta api. Belanda sengaja membangun ujung lintasan rel kereta api sampai Kotabakti buat kepentingan operasi militer melawan “muslimin” Aceh.
“Kopi Tangse meurabe ban saboh dunia” (Kopi Tangse berkeliaran ke seluruh dunia). Begitu ungkapan tentang berkembangnya kopi Tangse (yang sebenarnya termasuk kopi Geumpang) saat jayanya. Akibatnya, warung kopi pun dibuka orang di mana-mana di seluruh Aceh.
Tahun 1967, saat saya masuk Sekolah Menengah Islam (SMI) Kotabakti, warung kopi di kota ini hanya sedikit. Di deretan kedai di sebelah barat ada warung kopi Toke Juned Lala (Tauke Ned). Dua deretan teungah alias di Lhok Ren (di bawah rel kereta api) hanya ada satu warung di ujung selatan. Sementara di timur ren/rel juga satu warung kopi milik si Congfu.
Bagi sebagian orang tua dan anak-anak cukup dengan minum cendol/cundoi Teungku (Tgk) Kasem yang ‘maknyusss’ amat terkenal ketika itu. Di pinggir jalan ujung utara dekat Tgk Ali meukat ranub (jualan sirih) ada orang giling tebu (weng teubee), juga jadi tempat kaum ibu dan anak mereka melepaskan dahaga. Ketika saya kelas III SMPN Beureunuen, tambah satu rak ie sikeutang/bandrek milik Tgk Yahya di Lhok Ren. Setiap pulang sekolah, saya sering mampir minum ie sikeutang.
Saat kuliah di Fakultas Pertanian Unsyiah/USK tahun 1975, saya kos di Keude Lamnyong yang sekarang sudah jadi Krueng Lamnyong (Sungai Lamnyong). Hanya tiga warung kopi di pasar itu. Padahal, Keudai Lamnyong adalah tempat para dosen dan mahasiswa hilir mudik setiap hari. Lima meter dari kos saya, ada warung Bang Man yang sudah bertahun-tahun di situ. Di deretan kedai ujung utara satu warung kopi dan di kedai deretan lain satu lagi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.