Jurnalisme Warga

Ketika Warga Pidie Tanam Kopi di Tangse dan Geumpang

Walaupun barang langka dan mahal, orang Aceh sejak  jameun keureu’eun (cukup lama) sudah minum kopi yang disebut minuman kahwa.

Editor: mufti
SERAMBINEWS/tambeh.wordpress.com
T A SAKTI, penerima Kehati Award 2001 dari Yayasan Keanekaragaman Kehidupan Hayati Indonesia (Kehati) Jakarta, melaporkan dari Dusun Lamnyong, Gampong Rukoh, Darussalam, Banda Aceh 

Saya yakin, sampai akhir tahun 1990-an, di kota-kota lain di seluruh Aceh (kecuali  Kota Banda Aceh), warung kopi masih  belum banyak  jumlahnya. Salah satu sebabnya, “peng mantong meusaket that watee nyan” (uang masih amat sukar diperoleh masa itu).

Di tahun 1988, Surat Kabar “Suara Karya” terbitan Jakarta memuat berita  Ulang Tahun Ke-783 Kota Banda Aceh.  Terilhami berita di satu kolom singkat itu, saya menulis sebuah artikel yang membandingkan Kota Yogyakarta dengan Kota Banda Aceh. Saya, yang baru beberapa bulan wisuda di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta, tentu banyak menyimpan ide-ide hangat  yang terpendam selama menulis skripsi.

Singkat kata, dalam artikel itu, saya menulis Yogyakarta sebagai ibu kota dari Daerah Istimewa Yogyakarta Hadiningrat, betul-betul memiliki banyak keunggulan dalam berbagai bidang, seperti budaya, perawatan situs sejarah, pariwisata dan lebih-lebih dalam hal  pendidikan yang menjadi tempat menuntut ilmu bagi putra-putri pilihan dari seluruh Indonesia, bahkan luar negeri.

Sementara Banda Aceh, yang juga  ibu kota dari Provinsi Daerah Istimewa Aceh, amat sedikit tampak kelebihannya, selain hanya warung kopi terlihat di mana-mana. Maka, pantaslah kita gelar: Banda Aceh Kota Warung Kopi, sebut saya dalam tulisan itu.

Gayung pun bersambut. Dalam  sambutan Memperingati Hari Jadi Ke-29 Provinsi Daerah Istimewa Aceh di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Prof Ali Hasjmy yang ketika itu sebagai Ketua Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) dan Ketua Majelis Ulama Provinsi Aceh (MUI Aceh), mengkritik artikel saya soal penyebutan Banda Aceh Kota Warung Kopi. Tapi, sewaktu pulang ke Banda Aceh, saya menjadi “murid kesayangan” Prof Ali Hasjmy.

Andai masih hidup saat ini beliau tentu tak akan bantah lagi kalau ada yang menjuluki Banda Aceh, Kota Selaksa Warung Kopi.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved