Kupi Beungoh
MoU Helsinki Menurut Hukum Perjanjian Islam, Refleksi Memperingati 18 Tahun MoU Helsinki
Kendati nomenklatur ini memiliki bobot tertentu, tetapi dari segi hukum perbedaan dalam memilih ”diksi” ini tidak mengurangi hak dan kewajiban para pi
Sejarah MoU Helsilnki
Dalam konsideran UU Nomor 11 Tahun 2006 dinyatakan bahwa salah satu faktor antara PRI dan GAM bersedia menyelesaikan konflik Aceh melalui pendekatan soft power adalah karena gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Atas desakan banyak pihak dalam negeri dan dunia internasional mereka bersedia menyelesaikan politik Aceh melalui meja perundingan.
Sebelum ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, proses untuk malahirkan Kesepakatan ini melalui proses yang cukup panjang dan menegangkan. Proses Damai Aceh sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 2000 yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC), sebuah organisasi internasional yang berbasis di Jenewa, Swiss yang kemudian melahirkan Jeda Kemanusiaan I dan II (Joint Understanding of Humanitarian Pause for Aceh), namun hasilnya tidak sesuai harapan.
Di negara dan lembaga yang sama, dua tahun kemudian ditandatangani Cessation of Hostilities Agreement (CoHA), tepatnya 9 Desember 2002 para pihak membentuk Joint Security Council (JSC), lagi-lagi hasilnya tidak jauh beda dengan Jeda Kemanusiaan I dan II. Kegagalan demi kegagalan ini terus menimbulkan simpati dunia internasional sehingga mereka mencoba menggiring PRI dan GAM mengadakan perundingan di Tokyo pada 17 Mei 2003.
Pihak PRI mengajukan tiga syarat sebelum perundingan berlangsung, yakni: GAM harus mengakui NKRI - menerima otonomi khusus sesuai UU Nomor 18 Tahun 2001 - dan meletakkan senjata, namun pihak GAM menolak tawaran tersebut, akhirnya Presiden Megawati Soekarno Putri membatalkan perundingan, dan pada 19 Mei 2003 mengumumkan Darurat Militer untuk Aceh. (Darmansjah Djumala, 2013:134).
Kebijakan Pusat ini tidak mampu meredam gejolak di Aceh kendati dua kali memperpanjang status Darurat Militer (dari 19 Mei – 19 November 2003 dan 19 November – 19 Mei 2004), korban kedua belak pihak dan masyarakat terus berjatuhan. Dilanjutkan Darurat Sipil dari 9 Mei 2004 hingga berakhir ketika gempa tektonik disusul gelombang tsunami meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004 yang mengakibatkan lebih 200 ribu orang meninggal dunia.
Melihat kondisi Aceh seperti ini dan atas desakan banyak pihak, akhirnya bersedia berunding di Helsinki yang dimediasi oleh NGO Crisis Management Initiative (CMI) pimpinan Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia kesepuluh (1994-2000). Semoga damai abadi lestari di Tanah Rencong ini, MoU Helsinki tidak ada yang ingkari. Aamiin.
*) PENULIS adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum USK Banda Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.