Opini
Perempuan di Perguruan Tinggi Pesantren
PEREMPUAN, kata pertama pada sebuah tulisan biasanya sering kali memantik emosi pembaca. Ada apa dengan perempuan, mengapa namanya selalu disebut para
Muhibuddin Hanafiah, Dosen UIN Ar-Raniry dan peneliti pesantren
PEREMPUAN, kata pertama pada sebuah tulisan biasanya sering kali memantik emosi pembaca. Ada apa dengan perempuan, mengapa namanya selalu disebut para lelaki. Apa bedanya dengan laki-laki, apakah namanya sudah tidak laku lagi di mata peneliti? Mau tahu beda antara perempuan dan laki-laki di mata peneliti? Pertama, perempuan itu seksi secara visual sehingga menarik selera perbincangan kaum laki-laki yang karakteristiknya dominan visual.
Apa pun tema yang dikaitkan dengan perempuan akan diperhatikan laki-laki normal. Kedua, masalah takdir sosio-kulturalnya yang membuat status dan kedudukannya kurang beruntung -- untuk tidak mengatakan --memprihatinkan. Terutama di mata para peneliti.
Kata kedua pada judul tulisan ini adalah perguruan tinggi. Menyebut perguruan tinggi atau pendidikan tinggi bayangan pembaca pasti tertuju pada kampus sebuah universitas, institut, sekolah tinggi atau akademi yang gedungnya megah dengan mahasiswi cantik-cantik dan mahasiswa muda dan ganteng. Mungkin akan lebih mengherankan lagi jika perguruan tinggi dikait-kaitkan dengan pesantren, sungguh tidak sepadan.
Sebab, sudah terlanjur terganjal dalam pikiran pembaca bahwa pesantren hanya sebuah tempat belajar agama anak-anak kampung yang tidak diterima di sekolah karena keterbatasan orang tua mereka untuk membayar sejumlah biaya pendidikan yang mahal. Santri laki-laki berseragam sarung tua dan peci usang di kepala. Sementara santri perempuan juga berbekal sarung tua, baju kemeja berlengan panjang dan jilbab sederhana, polos tanpa motif menutupi rambut di kepala.
Melurus image
Singkatnya, tidak ada sisi yang bisa diapresiasi dari yang namanya pesantren. Itulah Stereotipe yang terlanjur terkonstruksi terhadap lembaga pendidikan tradisional ini. Sementara kampus, dari namanya saja sudah terbangun sebuah imajinasi yang penuh gemerlapan. Sebuah lingkungan yang elitis, bersih, tertata, tertib dan teratur dengan orang-orangnya yang berasal dari kelas sosial menengah atas.
Konon lagi bicara tentang fasilitas, lokasi, birokrasi dan dukungan pemerintah serta kerja sama dengan sejumlah pihak dalam dan luar negeri. Karena itu membandingkan dengan perguruan tinggi, maka pesantren tidak ada apa-apanya. Suatu pembanding yang amat jauh dan tidak bisa disandingkan satu dengan yang lain.
Kata ketiga dari judul di atas adalah perguruan tinggi di pesantren. Memang ada perguruan tinggi di pesantren? Apa mungkin dua dunia yang sangat berjauhan dipertemukan? Apa masuk akal langit dan bumi dipertemukan, ibarat mempertemukan ikan di laut dengan asam di gunung? Jangan mengada-adalah, bicara yang logis dan konkret sajalah. Mungkin demikian nada protes sebagian pembaca yang belum tahu sama sekali bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
Ini zaman semua serba mungkin terjadi. Konon lagi mempertemukan dua lembaga yang sama-sama menangani masalah pendidikan masyarakat, maka sungguh sangat mungkin. Jika universitas sebuah perguruan tinggi, maka pesantren juga mampu menghadirkan sebuah perguruan tinggi. Bahkan dalam sejarah dibangunnya hampir sebagian besar kampus atau universitas di dunia, justru berawal dari sebuah lembaga keagamaan, seperti gereja (Barat).
Demikian juga pengalaman umat Islam di Timur (Asia), institusi pendidikan awal bersemi dari sebuah masjid, surau, meunasah, musala atau balai. Jadi, hadirnya perguruan tinggi di pesantren merupakan sebuah keniscayaan yang historis.
Jika dua entitas di atas sudah bisa diterima dengan hati dan pikiran yang lapang, maka akan mudah untuk menerima kehadiran sesosok makhluk Tuhan berjenis kelamin perempuan di perguruan tinggi pesantren. Sebab, di universitas atau istilah perguruan tinggi lainnya, kaum perempuan itu eksis di sana dan menjadi bagian dari kaum laki-laki. Sehingga ada istilah mahasiswa dan mahasiswi, atau mahasiswa putra dan mahasiswa putri.
Jika demikian, sama juga halnya dengan keberadaan perempuan di perguruan tinggi pesantren, hadir untuk melengkapi adanya mahasantri laki-laki di sana. Maka mahasantri perempuan di sebuah perguruan tinggi pesantren juga sebuah keniscayaan yang tidak harus ditolak dan dianggap tidak patut.
Menerima kenyataan
Persoalan sekarang adalah apa dan bagaimana rupa perguruan tinggi di pesantren itu? Jika memang ada, apakah sama persis dengan perguruan tinggi di luar pesantren yang selama ini dikenal? Pesantren di Aceh (dayah) agak berbeda dengan di Jawa dalam penetapan jenjang pendidikan. Dayah lazimnya hanya menerima calon pelajar (santri) sekitar usia jenjang SLTP ke atas. Sementara pesantren sudah menerima santri usia SD/MI.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.