Opini
PON XXI: Taruhan Reputasi Bagi Aceh
KETIKA Aceh ditetapkan sebagai tuan rumah bersama Sumut di Pekan Olah Raga Nasional (PON) XX Papua tahun 2021 yang lalu, tentu sebagai masyarakat yang
Dr Muhammad Yasar STP MSc, Dosen Teknik Pertanian Universitas Syiah Kuala dan Ketua Majelis Pengurus Wilayah Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
KETIKA Aceh ditetapkan sebagai tuan rumah bersama Sumut di Pekan Olah Raga Nasional (PON) XX Papua tahun 2021 yang lalu, tentu sebagai masyarakat yang mendambakan kebangkitan dunia olah raga di Aceh menyambut antusias perhelatan ini.
Secara alamiah muncul harapan besar bagi kita untuk memanfaatkan momentum yang tidak mudah ini guna menstimulus kemajuan olah raga apakah itu dari segi prestasi maupun perbaikan dan peningkatan fasilitas yang pada akhirnya juga mendongkrak pencapaian prestasi itu sendiri.
Bagi siapa pun yang mendapatkan kepercayaan sebagai tuan rumah pasti tidak cukup jika hanya menargetkan sukses sebagai penyelenggara saja. Dimana-mana tuan rumah juga pasti membidik sukses prestasi. Tujuan ganda ini idealnya menjadi sasaran utama sang tuan rumah.
Namun di waktu yang kurang dari sebelas bulan lagi ini, keberadaan Aceh sebagai tuan rumah memang terkesan adem ayem saja, “lage batee rot lam mon” (baca: seperti batu jatuh ke sumur). Tidak ada nuansa hiruk-pikuk layaknya sebuah rumah yang sedang mempersiapkan kenduri besar. Hingga tiba-tiba headline Serambi Indonesia, 29/09/2023 menyebutkan “PON Aceh Terancam Gagal”.
Berita tersebut mengungkapkan kemungkinan gagalnya itu disebabkan oleh belum adanya venue yang dibangun maupun direhabilitasi, belum terlihat adanya kesiapan panitia daerah, hingga tidak adanya kejelasan anggaran. Dan dalam posisi itu Pemerintah Aceh belum melakukan langkah-langkah konkret.
Membaca berita ini tentu wajar bagi kita sebagai masyarakat sedikit gusar, cemas dan bisa jadi ada yang meradang. Situasi ini bukan saja berpeluang menguburkan impian menjadi tuan rumah yang ideal tetapi juga berpotensi mencoreng nama baik Aceh.
Merasa terkebiri
Sebenarnya kalau kita flashback ke momen penobatan sebagai tuan rumah, posisi Aceh boleh disebut telah dikerdilkan jauh-jauh hari. Papua saja mampu menjadi tuan rumah tunggal, sementara Aceh harus berpasangan dengan Sumut. Dan akhirnyapun terasa, Sumut jauh lebih siap dibandingkan Aceh. Karena Sumut memang memiliki infrastruktur olahraga yang lebih mumpuni, terlebih lagi Sumut punya pengalaman menjadi tuan rumah penyelenggaraan PON III Tahun 1953.
Dalam kondisi seperti ini tentu bukan waktunya untuk berdebat apalagi harus mencari kambing hitam untuk dikurbankan. Yang jelas ada pertaruhan nama baik di sini dan Aceh wajib memenangkan pertaruhan tersebut.
Jangankan gagal, ketidaksempurnaan pelaksanaan saja dapat menjadi preseden buruk bagi Aceh. Jangan sampai lewat kesiapan panitia PON ini Aceh dicitrakan tidak kondusif karena efeknya tidaklah sederhana, berpeluang menghilangkan banyak hal termasuk investasi di masa depan.
Pemerintah Pusat harus mampu menunjukkan itikad baik dalam membangun Aceh dan PON adalah golden time-nya. Runut pengalaman sebelumnya, wajar jika Aceh merasa terkebiri dari segi anggaran. Tentu tidak adil bagi Aceh jika agenda nasional ini harus dibiayai dari APBD. Sementara pengalaman sebelum-sebelumnya jelas terlihat adanya keberpihakan anggaran untuk tuan rumah.
Ingat, dalam sejarah penyelenggaraan PON, ia diselenggarakan dalam rangka memperkuat citra Indonesia di mata internasional. Saat itu negara kita sedang menghadapi Perjanjian Renville. Dimana wilayah RI sedang mengalami penyempitan akibat perjanjian tersebut. Dan peran strategis PON saat itu justru untuk menunjukkan bahwa Indonesia masih tetap baik-baik saja, buktinya masih sanggup menyelenggarakan pekan olahraga dengan baik.
Lantas apakah tega kita biarkan karena PON pula, Aceh yang notabenenya sebagai daerah modal bagi eksistensi Indonesia di era kemerdekaan justru meredup cahayanya akibat terseok-seok tanpa kejelasan. Jangan seolah lewat ajang PON kita buktikan kebenaran Aceh sebagai daerah termiskin di Sumatera. Atau malah sebaliknya kita sedang buktikan bahwa Aceh justru daerah kaya, karena mampu membiayai PON lewat APBD.
Tolak ukur kemajuan
PON XXI adalah PON perdana bagi bumi Seramoe Mekkah ini. Jika semua daerah memiliki peluang giliran yang sama sebagai tuan rumah maka Aceh butuh waktu 4 x 37 tahun lagi untuk bisa jadi tuan rumah kembali. Dan tentu kita tidak ingin tercatat dalam sejarah yang tidak membanggakan terkait ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.