Jurnalisme Warga
Kisah Abi Nyak Jali Diburu Marsose Belanda
Ketika Affan masih dalam gendongan ibu (mantong lam tingkue) karena belum bisa “tateh” berjalan, Tgk Ahmad Titeue ditangkap Belanda dan dibuang ke Be
T.A. SAKTI, peminat sejarah dan kitab jameun (manuskrip Aceh), melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie
Setelah dilantik menjadi Sultan Aceh di Masjid Besar (sekarang: Masjid Tuha) Indrapuri tahun 1878, Sultan Muhammad Daud Syah terus bergerilya bertahun-tahun dalam kawasan Aceh Besar. Kemudian beliau pindah ke negeri Pidie dan membuat Istana (Dalam) permanen di Keumala Dalam, Pidie. Selama 20 tahun sultan ini memerintah di Keumala Dalam.
Berbagai jenis bantuan dikoordinasikan dan dikirim dari Keumala Dalam ke front pertempuran di Aceh Besar. Siang malam terdengar derap langkah kuda di sepanjang Gle Meulinteung (Bukit Barisan) mengangkut perlengkapan perang dan logistik/bahan makanan.
Perang terhadap Belanda saat itu dipimpin Teungku (Tgk) Chiek Di Tiro yang bertahan di Kuta Aneuk Galong (Benteng Aneuk Galong) sampai beliau meninggal karena diracuni seorang perempuan intel Belanda. Setelah Belanda yang berposko di Lambaro, Aceh Besar, menyerbu Kuta Aneuk Galong pada pukul 03.00 dini hari tahun 1896, maka syahid pula Tgk Chiek Muhammad Amin, putra Tgk Chiek Di Tiro.
Sejak syahidnya Tgk Chiek Di Tiro dan putra beliau, kondisi perang sudah menjurus ke perang gerilya. Belanda terpaksa menaklukkan perlawanan rakyat Aceh dari satu kampung ke kampung lainnya di seluruh Aceh.
Panglima Kuta Sukon
Ketika tersebar berita bahwa serdadu Belanda sudah melintasi Gunung Seulawah menuju Pidie, banyak penduduk, terutama kaum perempuan dan anak-anak, mengungsi ke Gle Meulinteung (Bukit Barisan) arah ke Tangse. Keluarga nenek saya juga bergegas ke sana disertai dua anak kecil. Ayah dari kedua anak perempuan itu adalah Panglima Kuta Sukon dekat kota Sigli, bernama Tgk Ahmad Titeue.
Sampai hari ini masih diceritakan kisah pengungsian warga Gampong Bucue ke Gle Meulinteung. Mereka menginap di kaki gunung dengan menyandarkan kayu dan daun-daunan ke atas bukit. Di bawah gubuk itulah mereka tinggal siang dan malam. Seorang anak perempuan yang sulung selalu menangis minta pulang ke rumah. “Hana kutakot kaphe paleh” (Saya tak takut kafir Belanda celaka), selalu diulang-ulangnya sambil menangis. Kedua anak perempuan itu bernama Nyak Ubit dan Hamidah. Setelah sekian lama di pengungsian, mereka pun kembali ke kampung halaman.
Waktu terus berlalu dan perang melawan Belanda pun terus berlanjut di Pidie. Sementara itu, istri Panglima Kuta Sukon, Tgk Ahmad Titeue, melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Affan.
Ketika Affan masih dalam gendongan ibu (mantong lam tingkue) karena belum bisa “tateh” berjalan, Tgk Ahmad Titeue ditangkap Belanda dan dibuang ke Betawi (Jakarta) dan tak pernah kembali.
Saat itu benteng/Kuta Sukon telah ditawan Marsose Belanda (pasukan khusus Belanda). Para pejuang Aceh yang selamat melanjutkan perang gerilya. Di suatu sore yang nahas Tgk Ahmad Titeue dikepung pasukan Belanda. Beliau ke luar dari gampong Bucue, lewat persawahan menuju Gampong Beutong Peureulak.
Rupanya di kampung yang dituju sudah siap menunggu sepasukan Marsose dengan kelewang terhunus. Akhirnya, Tgk Ahmad Titeue ditawan Belanda selang beberapa petak sawah dari Gampong Beutong Peureulak. Sewaktu saya kecil, ada sebatang pohon kapuk (bak panjoe) yang tumbuh lama di titik penangkapan sang panglima itu. Setelah lewat lima tahun dari inteniran/pembuangan itu, kakek (Abusyik) saya pun melamar “janda” Tgk. Ahmad Titeue, yang bernama Tgk Nyak Gade.
Dampak Perang di Bucue
Kondisi amat mencekam melanda seluruh negeri Pidie pada saat masuknya pasukan Belanda.
Kehidupan di kampung pun jauh dari rasa aman. Tidak semua tanah persawahan dibajak orang lagi, sebab tidak semua orang lelaki mau mengambil “surat tanda menyerah” kepada Belanda. Sawah-sawah yang dianggap kurang banyak hasil dan letaknya dikelilingi hutan ditinggalkan warga Bucue tanpa merasa rugi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.