Opini

Wajah Hukum Negeri Wakanda

SONTAK dan terenyak manakala Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) memutuskan berbeda untuk perkara dengan nomor registrasi 90/PUU-XXI/2023 p

Editor: mufti
IST
Muhammad Heikal Daudy SH MH, Wakil Dekan FH Unmuha dan Mahasiswa PPs Doktor Ilmu Hukum USK 

Penguasa tak mampu berpuasa demi kemaslahatan. Candu kekuasaan nyata tiada akhir dan menjerumuskan. Wajah negara sedang tidak baik-baik saja, karena hukum bukan lagi panglima! Hukum dewasa ini berada di ruang hampa. Jauh dari kenyataan yang ada. Hukum sejatinya menjadi tolok ukur segenap kita anak bangsa untuk meneguhkan cita-cita negara sebagaimana sila yang terkandung di dalam Ideologi negara Pancasila dan UUD 1945.

Hukum menjadi mainan para prajurit, bukan idiom bagi panglima. Tak heran jika hukum kehilangan makna harfiahnya. Kuasa (politik) telah menggantikan perannya. Politik minus etika menggenapkan fakta-fakta yang ada. Mutlak hukum tampak ibarat laras senjata belaka. Dipakai seperlunya, dan terkadang dibawa ke mana pun pergi tanpa tentu arah.

Hukum menjelma menjadi monster ‘pengisap darah’. Banyak korban sudah, dengan dalih dosa-dosa dunia yang hina-dina dan sarat fitnah. Toh, pada kesempatannya penguasa santer terdengar dalam hiruk-pikuk setiap prahara. Hukum di tangan prajurit laksana nyalak senjata yang membabi-buta!
Para pendiri negara nyata-nyata telah setia, melafazkan laqab hukum untuk negara tercinta. Tak hanya cukup sebagai kata-kata, namun harus wujud dalam kehidupan nyata. Hukum berada pada derap setiap langkah anak bangsa, dan tarikan nafas kehidupan bernegara. Hukum sejatinya menjadi bingkai pembangunan, membungkus harapan yang membalut badan, melindungi setiap warga negara dengan kedudukan yang sama dan setara.

Tanpa menafikan segala capaian-capaian yang sudah tercipta. Negeri Wakanda boleh berbangga dari sana. Banyak infrastruktur raksasa dibangun dimana-mana. Popularitas penguasa yang menjulang hingga ke awan. Hatta dari singgasana istana, ibukota negara baru pun dicatat menjadi titah bersama para elite dan penguasa.

Semua pencapaian semata-mata untuk dipertahankan, bukan untuk ‘dituhankan’! Inilah gambaran yang harusnya berjalan-beriringan. Adakah yang salah dengan itu semua? Sejarah mencatat, banyak bangsa-bangsa di dunia yang sudah di luar batas dan terlena dengan kuasa, hancur sehancur-hancurnya. Terpuruk, jatuh tersungkur tanpa bisa bangun lagi.

Dilupakan hilang dari peta sejarah. Ada yang terluka parah hingga berdarah-darah. Bahkan akhir hayat hidup nestapa tanpa siapa-siapa.

Tak ingin rasanya negeri Wakanda terjebak dalam pusara krisis hukum yang tak berkesudahan. Cukup sudah hukum menjadi dalih dalam arena permainan sulap-sulapan. Berpihak pada kekuasaan, bukan pada kebenaran. Cukup sudah politik yang sejatinya menjadi warna kehidupan yang memberi jalan.

Namun jadi adikuasa untuk menutup peluang dan ruang bagi anak bangsa yang tidak sejalan. Cukup sudah alat-alat negara bekerja semata di samping penguasa, bukan melindungi segenap tumpah darah bangsa. Cukup sudah berkuasa di negeri Wakanda yang pencapaiannya sudah dirasakan bersama. Demi kemaslahatan bukan kemudaratan.

Sebelum ada penyesalan, mari menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara. Kiblatkan negeri pada tujuan sejatinya, yakni demi keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Kembalikan hukum pada khitahnya sebagai panglima, sebagaimana bunyi Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”, bukan negara digdaya dengan kuasa apalagi politik tanpa etika.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved