Breaking News

Opini

Jejak Perdagangan Rempah di Aceh

DALAM rangka menyambut Pekan Kebudayaan Aceh ke-8 yang mengangkat tema ‘Rempahkan Bumi Pulihkan Dunia’, penulis terinspirasi menulis kilas balik perda

Editor: mufti
zoom-inlihat foto Jejak Perdagangan Rempah di Aceh
IST
Sara Rahma Dela, Peneliti di Yayasan Asyraf Aceh Darussalam

Sara Rahma Dela, Peneliti di Yayasan Asyraf Aceh Darussalam

DALAM rangka menyambut Pekan Kebudayaan Aceh ke-8 yang mengangkat tema ‘Rempahkan Bumi Pulihkan Dunia’, penulis terinspirasi menulis kilas balik perdagangan rempah di Aceh. Khususnya terkait dengan bangsa Arab. Jalur rempah telah menjadi isu nasional yang menguatkan identitas sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia. Komoditas rempah yang diproduksi di antaranya cengkeh, pala, kayu cendana, kemiri, kamper, kopra dan tentu saja lada.

Sejak abad ke-14 M, pelabuhan di Aceh sudah menjadi pusat perdagangan rempah besar yang disinggahi para pelayar bangsa asing, terutama Arab. Dimulai abad 14-16 M, Sulaiman Al-Mahri (seorang navigator pelayaran dari Arab abad ke-15 M) menulis dalam kitabnya berjudul Al-Minhaj Al-Fakhir, bahwa dulunya Aceh mempunyai dua pelabuhan lada terbesar, yakni Bandar Syumutrah dan Bandar Pedir.

Bandar Syumutrah atau lebih dikenal Samudera Pasai, dimana terdapat sebuah kerajaan Islam yang didirikan oleh Sultan Malik As-Shaleh. Selain itu, Kesultanan ini juga menjadi pemasok utama kebutuhan lada pada saat itu. Komoditas rempah utama yang diekspor oleh pedagang Arab pada saat itu ialah lada dan kapur barus.

Berdasarkan catatan Varthema, seorang pelaut Bangsa Portugal,  Bandar Pedir dahulu sudah memakai mata uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual beli dan terdapat lebih kurang 500 tempat pertukaran mata uang asing. Setiap tahun paling sedikit ada sekitar 20 kapal asing yang memuat lada untuk diekspor ke wilayah timur dan barat.

Berdasarkan informasi dari Asyraf Aceh--sebuah lembaga yang mengkaji sejarah dan nasab Sayid di Aceh--Pidie adalah salah satu tempat terbanyak populasi keturunan Arab. Sehingga tidak mengherankan apabila perdagangan rempah-rempah terbesar di Pidie menjadi lebih maju dibandingkan wilayah sekitarnya.

Bandar Aceh Darussalam adalah salah satu pelabuhan lada terbesar sejak didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Sebagai pusat perdagangan rempah terbesar, tentunya Bandar Aceh Darussalam banyak disinggahi oleh pedagang asing, tak terkecuali pedagang Arab.

Pedagang Arab

Pada umumnya, para pedagang Arab mengekspor rempah-rempah di Aceh untuk diperdagangkan ke berbagai negara, seperti lada, cengkeh, pala, kopra, pinang dan lainnya. Selain itu, pedagang Arab juga mengimpor komoditas rempah jaddam dan keumeuyan Arab masuk ke Aceh.

Bandar Aceh Darussalam sebagai pelabuhan lada terbesar berlangsung selama dua abad lebih. Setelahnya perdagangan pantai Barat terutama Trumon, Susoh, Seuneu’am, Kuala Batu, dan bandar-bandar lainnya berhasil menjadi pelabuhan lada terbesar.

Di Pantai Barat Selatan Aceh perdagangan dikuasai oleh dua orang pedagang Aceh keturunan Arab yang memiliki banyak armada kapal dan jaringan perdagangan yang luas, yakni Leubai Dapa atau Teungku Ja’far (pendiri kerajaan Trumon) dan Sayid Husein Aidid (ayahanda Sultan Syarif Syaiful Alam).

Selanjutnya, Syarif Abdul Wahab bin Syarif Musa adalah keturunan Arab lainnya yang menguasai perdagangan lada di Bandar Seneu’am dan Bandar Meulaboh setelah mendapat kepercayaan Sultan Ibrahim Mansyur Syah.

Sedangkan putranya Syarif Hasan bin Syarif Abdul Wahab menguasai perdagangan lada di Bandar Teunom bersama mertuanya Teuku Imum Teunom. Setelah kemunduran perdagangan pantai barat akhir abad ke-19, perdagangan lada di Aceh mulai bangkit di pelabuhan pantai Timur yakni Bandar Idi Rayeuk, Simpang Ulim, Julok Cut, Julok Raya, Bagok, Peudawa, Pereulak, Manyak Payet, dan Langsa.

Dalam catatan Anthony Reid, produsen lada di Simpang Ulim dan Idi Rayeuk mengekspor lada senilai 4,6 juta pound atau 35.000 pikul per tahun, lalu daerah Julok Rayeuk, Pereulak dan Peudawa menghasilkan 13,3 juta pound atau 100.000 pikul per tahun. Dan dalam catatan J.Kreemer, sekitar tahun 1918 produksi lada di Langsa mencapai 2.230 pikul.

Selain lada, komoditas di pantai timur meliputi kulit pohon, merica, kopra, dan pinang. Sejumlah pedagang Arab yang berperan dalam perdagangan rempah di Pantai Timur yakni Sayid Usman di Simpang Ulim, Sayid Husein bin Abdurrahman Al-Attas dan Syeikh Amir di Idi Rayeuk, Sayid Muhammad bin Sayid Yusuf di Peudawa (Raja Peudawa) dan Sayid Ja’far bin Sayid Aqil di Sungai Raya (Raja Sungai Raya).

Pada umumnya komoditas rempah-rempah tersebut diekspor ke Pulau Pinang.
Daerah Aceh terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan Nusantara, menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak dahulu.

Rempah Aceh mendunia

Aceh pernah mengalami era kejayaan lewat jalur rempah sehingga membuatnya tercatat dalam peta perdagangan global. Kekayaan rempah yang dihasilkan Aceh seperti lada dan rempah lainnya yang mendunia di masa itu, menjadikan wilayah ini tujuan kedatangan banyak bangsa. Aceh yang telah menjalin hubungan dagang dengan berbagai bangsa, mempunyai hubungan timbal balik dengan dunia luar yang telah memberikan pengaruh yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Golongan Arab datang ke Aceh berdasarkan tipologi nisan tertua yang ditemukan di Kesultanan Samudera Pasai sekitar abad ke-8 H, dimana keberadaan koloni arab tersebar baik di pantai utara, timur, selatan dan barat Aceh. Tetapi apabila melihat catatan Sulaiman As Sirafi, para pedagang Arab telah melakukan perdagangan di Nusantara jauh sebelum Islam datang.

Berdasarkan sejumlah referensi, ada beberapa pelabuhan tua di Arab yang telah memiliki koneksi dagang dengan Aceh khususnya pada masa Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh Darussalam. Sejumlah pelabuhan tua di Arab yang memiliki hubungan dagang dengan wilayah Aceh ialah pelabuhan Mocha dan Aden (Yaman), pelabuhan Masqat (Oman), pelabuhan Baghdad (Irak) dan pelabuhan Jeddah (Saudi Arabia).

Para pedagang Arab melirik keberadaan rempah-rempah Aceh sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu. Mereka mengekspor berbagai macam rempah Aceh terutama lada dan mengimpor beberapa jenis komoditas terutama Jaddam dan Luban (Kemenyan Arab).

Di antara tokoh Aceh keturunan Arab yang dahulu sangat terkenal dalam berdagang lada di Nusantara dan juga perdagangan global ialah Sayid Husein bin Abdurrahman Aidid.

Beliau adalah pedagang Aceh yang berhijrah ke Pulau Pinang dan membangun jaringan bisnisnya serta menjadi saudagar terkaya di sana. Bahkan kerajaan Inggris pernah meminjam ke Sayid Husein sebesar $50.000 spanish dollar ketika mengalami krisis keuangan di Pulau Pinang, sehingga kerajaan Inggris menyebut beliau sebagai Price of Merchant.

Selain Sayid Husein Aidid, Lebai Dapa adalah pedagang keturunan Arab lainnya yang menjadi jutawan berkat usaha perdagangan rempah-rempah di Pantai Barat Selatan Aceh. Selain pedagang Arab, tentunya peranan pedagang lokal dan pedagang bangsa lainnya juga turut menjadikan sejumlah pelabuhan di Aceh menjadi pelabuhan-pelabuhan lada terbesar pada masa itu.

Beranjak dari latar sejarah ini tidak mengherankan apabila pemerintah Indonesia mengusung program strategis nasional bertajuk rekonstruksi dan revitalisasi jalur rempah Nusantara untuk memperkuat posisi diplomasi geoekonomi dan geopolitik Indonesia di kancah internasional.

Rekonstruksi jalur rempah Nusantara ditargetkan pada tahun 2024 mendatang dapat diakui dan ditetapkan sebagai World Heritage Memory oleh UNESCO. Sementara program revitalisasi lebih diarahkan untuk membangkitkan kembali kejayaan perdagangan rempah tempo dulu melalui konsep pengembangan destinasi wisata jalur rempah.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved