Kupi Beungoh
Membuka Tabir Kehidupan Hasan Tiro di Yogyakarta
Nah, dalam tulisan kali ini memotret kehidupan Hasan Tiro muda di Yogyakarta yang selama ini hanya dilihat sekilas berlalu.
Oleh: Fadhli Espece *)
Selama ini tulisan yang merekam sepak terjang Tengku Hasan Muhammad Di Tiro banyak ditulis dan cenderung fokus pada sikap politiknya yang kontroversial.
Catatan-catatan tentang pemberontakan, baik sebagai Duta Besar Darul Islam di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) maupun sebagai Deklarator Gerakan Aceh Merdeka atau GAM telah mendominasi lembaran sejarah kehidupannya.
Nah, dalam tulisan kali ini memotret kehidupan Hasan Tiro muda di Yogyakarta yang selama ini hanya dilihat sekilas berlalu.
Fase kehidupannya di kota pelajar ini menjadi tonggak penting bagi pondasi keilmuan dan intelektualitasnya yang kelak berkontribusi sekaligus mengguncang jagat perpolitikan Indonesia.
Hasan Tiro melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta setelah menyelesaikan kuliah di Normal Islam Institute Bireuen.
Saat menempuh Pendidikan di Yogyakarta, banyak penulis dan peneliti Hasan Tiro menyebutkan ia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dengan skripsi yang berjudul Perang Aceh.
Baca juga: 4 Desember, Syech Fadhil Ingatkan Kembali Alasan Hasan Tiro Berjuang untuk Aceh
Namun data tersebut perlu diverifikasi dan diuji kembali karena saat Hasan Tiro tiba di Yogyakarta, UII dan fakultas hukumnya belum ada.
Saat di Yogyakarta Hasan Tiro kuliah di Sekolah Tinggi Islam (STI).
STI adalah hasil ijtihad para pemimpin muslim dalam Kongres Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).
STI yang berdiri pada 1945 pada mulanya terletak di Jakarta, namun karena kehadiran tentara sekutu, kampus ini dipindahkan ke Yogyakarta bersamaan dengan pemindahan ibu kota negara.
Lokasinya terletak di Jalan Secondiningratan. Sekarang gedung tersebut dialihfungsikan menjadi Sekolah Dasar Marsudirini.
Partisipasi Hasan Tiro dalam STI tidak terlepas dari “rekomendasi” Abu Beureueh yang dekat dengan Moh Hatta.
Baca juga: Hari Ini Milad Kelahiran Hasan Tiro, Sang Deklarator Aceh Merdeka, Inilah 10 Fakta Tentang Sosoknya
Hatta merupakan salah satu pendiri dan ketua Yayasan STI. Peranan itu diperkuat oleh koneksi dan jejaring Alumni Al-Azhar antara M Nur El-Ibrahimy dan Abdul Kahar Muzakkir.
Rabu 19 Mei 1948, Surat Kabar De Heerenveensche Koerier melaporkan total mahasiswa STI berjumlah 170 orang, sedangkan dosennya berjumlah 30 orang di bawah Rektor Abdul Kahar Muzakkir.
Dalam catatan Munawar Ahmad (2010), saat Hasan Tiro kuliah, STI hanya menyediakan dua fakultas: Ushuluddin (agama) dan Ilmu Kemasyarakatan. Saat itu Fakultas Hukum belum ada.
Fakultas Hukum baru didirikan dan diresmikan bersamaan dengan pengalihan STI ke UII pada Juni 1948.
Dari berbagai data yang tersedia, saya cenderung berpandangan Hasan Tiro kuliah di jurusan Ilmu Kemasyarakatan karena di tahun 1947 ia menerjemahkan kitab politik Islam Al-Siyasah Al-Syar’iyyah karya Muhammad Abdul Wahab Khalaf.
Kemungkinan besar kitab itu merupakan diktat pembelajarannya di kampus mengingat STI mengadopsi kurikulum Universitas Al-Azhar.
Baca juga: Janganlah Tuan Melupakannya, In Memorial 13 Tahun Teungku Hasan Tiro
Pada saat yang bersamaan ia tidak terlibat bersama Lafran Pane yang mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di sela mata kuliah Tafsir (Ushuluddin).
Hasan Tiro dan Lafran Pane satu generasi di STI, rasanya tidak lazim seorang Hasan Tiro yang gemar berorganisasi tidak terlibat bersama 14 orang yang mendirikan HMI.
Artikulasi di atas menganulir karya Hasan Tiro yang berjudul Perang Aceh sebagai skripsinya di Fakultas Hukum UII.
Buku Perang Aceh yang diterbitkan oleh Hasan Tiro pada April 1948 tidak menunjukkan nuansa “hukum” tetapi lebih sebagai kronik sejarah.
Buku itu juga sama sekali tidak menyebutkan UII atau untuk kepentingan skripsi.
Dengan karya itu, Hasan Tiro justru hendak membantah sejarah Indonesia yang terjajah 350 tahun.
Baca juga: 13 Tahun Meninggal Hasan Tiro, Sejarah Perjuangan Hingga ‘Dekrit Keramat’ di Camp Bateë Iliëk
Di dalamnya ia menunjukkan bahwa Aceh tidak tunduk secara sepenuhnya atas pendudukan kolonialisme Belanda.
Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan buku itu adalah skripsinya di Fakultas Hukum UII belum memiliki bukti yang kuat, sebagaimana dengan status perkuliahannya di kampus tersebut apakah selesai atau tidak.
Tempat Tinggal Hasan Tiro
Dalam satu bulan terakhir, muncul perbincangan sengit di kalangan mahasiswa Aceh di Yogyakarta terkait di mana Hasan Tiro tinggal saat kuliah di Yogyakarta.
Beberapa kalangan meyakini Hasan Tiro tinggal di Asrama Merapi Dua.
Asrama ini merupakan bekas rumah Daud Beureueh yang diberikan kepada pelajar Aceh di Yogyakarta.
Baca juga: 13 Tahun Wali Nanggroe Hasan Tiro Mangkat, Darwati Berbagi Kenangan dengan Sang Proklamator GAM
Namun, perlu digarisbawahi bahwa Asrama Merapi Dua baru eksis pada April 1949 atau tiga tahun setelah Hasan Tiro tiba di Yogyakarta. Tentu saja Hasan Tiro memiliki tempat tinggal yang berbeda dari asumsi tersebut.
Menurut pengakuan Jacob Djuli, ia tinggal bersama Hasan Tiro di Taman Joewana (Hamzah: 2014).
Taman Joewana ini adalah kompleks perumahan milik Haji Bilal, pengusaha batik di Yogyakarta.
Haji Bilal termasuk salah satu pengurus Badan Wakaf STI. Saat Yogyakarta menjadi ibukota, perumahan miliknya menjadi tempat tinggal beberapa menteri (Husnil:2014).
Saat saya ke kompleks perumahan tersebut, seorang warga (52) yang lahir dan tumbuh besar di sekitar taman tersebut mengonfirmasi bahwa perumahan itu dulu memang dihuni oleh beberapa menteri.
Rumah bernomor 19 itu pernah dihuni oleh Moh Natsir, Moh Roem, dan Kasman Singodimedjo.
Baca juga: VIDEO Hotel Waldorf Astoria Tempat Tgk Hasan Tiro Menulis Buku ‘Unfinished Diary’
Pada tahun 1950, rumah tersebut berpindah ke tangan AR Baswedan. Kelak di rumah itu pula Anies Baswedan dibesarkan dan memulai karir akademiknya.
Selain itu, warga yang saya temui menunjukkan rumah bernomor 16. Ia menyebutkan bahwa rumah itu pernah dihuni oleh Menteri Keuangan.
Sosok yang dimaksud adalah Sjafruddin Prawiranegara. Besar kemungkinan Hasan Tiro tinggal di rumah tersebut mengingat kedekatannya dengan Sjafruddin.
Hasan Tiro pernah diangkat sebagai staff khususnya dan sejak 1948 terlibat aktif dalam banyak lawatan bersama ke beberapa wilayah, termasuk ke Aceh.
Taman Joewana yang menjadi tempat tinggal Hasan Tiro berjarak 1,5 KM dari kampus STI.
Untuk menuju ke kampus, Hasan Tiro harus menyusuri Jalan Malioboro sampai ke KM 0. Di persimpangan jalan itu, Hasan Tiro belok kiri ke arah timur. Begitulah gambaran rute perjalanannya menuntut ilmu selama beberapa tahun di Yogyakarta.
Lantas siapa yang membiayai kehidupan Hasan Tiro di Yogyakarta?
Sebelum bekerja sebagai staff Sjafruddin Prawiranegara, Hasan Tiro banyak dibantu oleh Haji Abubabakar.
Informasi ini tersirat dalam pendahuluan buku Perang Aceh.
Abubakar adalah saudagar dari Bireuen yang sudah seperti ayah angkat bagi Hasan Tiro. Sejak Hasan Tiro kuliah di Normal Islam Bireuen, Abubakar banyak membantu para pelajar Aceh.
Peranan ini terus berlanjut hingga Hasan Tiro di Yogyakarta.
Fase kehidupan Hasan Tiro di Yogyakarta merupakan jembatan emas bagi karier dan perjalanan intelektualnya yang selama ini justru tenggelam karena didominasi oleh narasi perlawanan dan pemberontakan.
Oleh sebab persinggungan dengan Yogyakarta, ia dapat lebih intens berinteraksi dengan elit politik Indonesia yang kelak membuka peluang baginya untuk kuliah di Columbia dan Fordham University, bahkan sampai bekerja di kantor PBB.
Catatan kehidupannya di kota pelajar ini setidaknya dapat menyingkap sisi lain Hasan Tiro yang tidak hanya tentang perlawanan dan pemberontakan tetapi juga sebagai intelektual yang cerdas dan berdedikasi untuk bangsa. (*)
*) PENULIS adalah Peneliti Institute for Muslim Politics & Aceh Studies (IMPACT). Email Fadhli.espece@gmail.com.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Artikel Kupi Beungoh Lainnya
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.