Opini
Milad GAM Atas Nama Perjuangan
Sebagai kilas balik, sangat patut penulis mereview sedikit ketika masa konflik hampir 30 tahun lamanya, dimana para pejuang hidup dan berbaur bersama
Dr Phil Munawar A Djalil MA, Penulis Buku Hasan Tiro Berontak dan Mantan Konsulat Jenderal SIRA Malaysia Raya, tinggal di Cot Masjid Banda Aceh
Hari ini tepat 47 tahun usia Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dideklarasikan Teungku Hasan Tiro pada 4 Desember 1976. Seiring dengan ditandatangani perjanjian damai MoU Helsinki 15 Agustus 2005 maka istilah GAM tak lagi disebut karena telah berubah nama menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA).
Tulisan singkat ini bukan untuk mengupas eksistensi perjuangan GAM dengan liku dan dinamikanya, melainkan hanya sebuah refleksi untuk mengejawantahkan spirit mantan pejuang (militer-sipil) agar sungguh-sungguh berpikir dan berbuat untuk Aceh.
Sebagai kilas balik, sangat patut penulis mereview sedikit ketika masa konflik hampir 30 tahun lamanya, dimana para pejuang hidup dan berbaur bersama rakyat, berjuang demi rakyat dan rakyat pula yang membela pejuang mati-matian, kehidupan mereka saat itu mungkin dapat diibaratkan “lage ie ngon eungkoet” (seperti air dan ikan). Para pejuang merasa senasib sepenanggungan bak kata pepatah melayu “ringan sama dijinjing berat sama dipikul”.
Namun kini ketika konflik telah menjelma menjadi damai situasi malah muncul paradoks, mereka para pejuang status hidupnya relatif berbeda, sebagian hidup dengan fasilitas sangat memadai sementara sebagian besar yang lain begitu memprihatinkan.
Para mantan elite mengurus lahan empuk berupa proyek sementara kebanyakan jadi petani, nelayan, pedagang dll. Seorang teman eks kombatan pernah bergumam kepada penulis “awak nyan lage geu catok, i tarek ukue droe saja” (mereka itu ibarat gagang cangkul, ditarik ke depan dirinya saja).
Fakta dan realita ini seperti orang Aceh bilang “wate di laot sapeu pakat, watee i darat laen keunira (di laut satu mufakat, ketika di darat lain pula keputusannya). Mencermati ketimpangan ini besar kemungkinan sejak awal-awal damai disinyalir telah muncul “barisan sakit hati”.
Diperparah lagi dengan kemunculan orang yang mengaku pejuang atau penulis sebut kaum oportunis dan jangan heran kalau kelompok ini memang selalu ada di setiap masa dan tempat. Karena seperti orang Aceh bilang “jang gabuk-gabuk coek sihak, jang bagah-bagah cok sideupa”.
Kelompok inilah sebenarnya yang harus terus diwaspadai, karena mereka dipastikan tidak segan-segan mengunting dalam lipatan, menyikut kawan seiring, menjegal kawan selangkah yang pada akhirnya kedamaian Aceh akan cedera dan Aceh kembali ke jurang kenestapaan.
Refleksi 47 tahun
Selama konflik terjadi mandat perjuangan rakyat selalu berakhir di meja perundingan yang difasilitasi oleh pihak ketiga. Sebut saja Henry Dunant Center (HDC) (2000-2003) dan Crisis Management Inisiative (CMI) (2005-2006). Mediator terakhir, CMI telah berhasil merumuskan kesepakatan damai yang hasilnya begitu banyak peluang dan kesempatan dibuka untuk kemakmuran rakyat demi kedamaian Aceh yang berkekalan.
Ironi, kedamaian yang kian terasa maknanya ini terusik dengan perseteruan baru yang mungkin boleh disebut konflik horizontal dan melihat fenomena sekarang sejujurnya penulis katakan, nampaknya hal inilah yang sedang berlaku.
Di samping itu masih atas nama perjuangan, para aktivis sipil hari ini telah menemukan dunianya masing-masing dengan kesibukan beragam profesi. Mereka pula sedang menikmati dunia keprofesiannya itu. Terlepas dari semua itu hemat penulis yang terpenting yang terus dijaga adalah ideologi yang sudah terbangun dulu jangan sirna dan tetap terpatri dalam jiwa yang dalam.
Walau terkadang ada upaya untuk membungkam, namun yang harus diingat apa pun alasan dan motivasinya sejatinya kita kembali ke lubuk hati rakyat, merasakan kembali jeritan hati mereka, bukankah pejuang sejati memiliki kepekaan yang tinggi, punya indera keenam (sixth sense).
Spirit Hasan Tiro
Ada kekhawatiran kalau ketimpangan terus terjadi maka akan lahir satu kekuatan baru di Aceh. Para pejuang tentu pernah membaca sejarah dunia bagaimana Adolf Hitler tak pernah disangka, jika dia seorang anak rajin, pintar, pendiam, tak suka macam-macam dan pelamun, telah menjadi orang yang tiran. Tak sedikit gurunya yang memberikan pelajaran sejarah kekaisaran Romawi antara lain tentang bagaimana Alexander Yang Agung menundukkan dan memperlakukan musuh-musuhnya.
Tak pernah disangka memang anak tertib bernama lengkap Adolf Hitler itu di kemudian hari menjelma menjadi salah seorang tiran terbesar yang memerintahkan pembasmian sebuah kaum (yahudi) dan dialah yang mengatakan bahwa bangsa Jermanlah yang teragung dan termulia di dunia. Bayangkan, hanya karena cerita dalam lamunan saja seorang anak pendiam bisa berubah menjadi seorang yang begitu sadistis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.