Breaking News

Jurnalisme Warga

Restorasi Eks Lahan Sawit Tenggulun, untuk Hajat Hidup yang Lebih Panjang

Sebagai wilayah yang telah dikepung oleh sawit, banjir menjadi langganan di Tenggulun. Bahkan desa mereka pernah dihantam oleh banjir bandang.

Editor: mufti
IST
IHAN NURDIN 

IHAN NURDIN, Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh dan Anggota Perempuan Peduli Leuser (www.perempuanleuser.com), melaporkan dari Tenggulun, Aceh Tamiang

SAAT menyebut nama Kecamatan Tenggulun di Aceh Tamiang, barangkali yang langsung terbayang adalah hamparan perkebunan sawit nan luas. Anggapan itu tak sepenuhnya salah karena memang demikian adanya. Namun, yang menarik adalah sebagian eks lahan perkebunan sawit di sana sedang direstorasi. Sedang dipulihkan agar kembali menjadi hutan.

Tenggulun adalah salah satu kecamatan yang ada di Aceh Tamiang. Kecamatan ini memiliki 12 desa, salah satunya Desa Tenggulun yang sebagian wilayahnya masuk ke Kawasan Ekosistem Leuser dan di antaranya berstatus hutan lindung.

Menjelang akhir 2022 lalu, Tenggulun dimekarkan lagi sehingga terbentuklah desa baru bernama Sumber Makmur. Di kedua desa inilah lahan restorasi itu berada. Lahan tersebut dikelola bersama oleh beberapa lembaga, yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Pemerintah Aceh, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), dan Forum Konservasi Leuser (FKL).

Dari Kota Langsa, memerlukan waktu dua jam lamanya untuk sampai ke Tenggulun. Sejauh mata memandang, sepanjang jalan masuk dari Simpang Semadam hingga ke Tenggulun hanya tampak hamparan sawit. Hanya di beberapa titik saja terlihat permukiman penduduk. Sawit-sawit itu ada yang milik perusahaan, ada juga yang milik masyarakat. Di Desa Tenggulun, perkebunan sawit milik perusahaan maupun warga menyerobot hingga ke kawasan hutan lindung.

“Penyerobotan ini digugat oleh LSM dalam rentang 2012—2014 hingga akhirnya berhasil dibebaskan. Setelah lahan dibebaskan, sawit-sawit di sana ditebang oleh FKL dan diganti dengan tanaman hutan maupun tanaman produktif seperti jengkol, durian, manggis, dan lain-lain,” kata Armia, Kepala Stasiun Restorasi Kawasan Hutan Tenggulun.

Armia sendiri bekerja untuk FKL. Saat ditemui di sebuah kedai kopi di Langsa pada Rabu, 13 Desember 2023, Armia bercerita, lahan yang dibebaskan itu luasnya hingga seribuan hektare (ha). Selain membiayai penebangan sawit di Tenggulun, FKL juga menyediakan pembibitan untuk ditanam oleh masyarakat di lahan restorasi. Melihat potensi lahan yang demikian luas, FKL lantas membentuk kelompok tani hutan untuk mengelola lahan restorasi.

Awalnya hanya tiga kelompok yang terbentuk, setelah 2020 terbentuk dua kelompok lagi. Saat ini sekitar 500 ha lahan telah dikelola oleh lima kelompok tani yang ada. Anggota kelompok tani ini mayoritas warga Sumber Makmur dan Tenggulun, beberapa dari desa tetangga seperti Selamat.

Kelompok-kelompok tani tersebut mulai menanam di lahan restorasi ini sejak 2016. Kerja samanya langsung dengan instansi terkait dengan skema kemitraan untuk jangka waktu sepuluh tahun. Melihat keseriusan warga di sana menggarap lahan, skemanya kemudian diubah menjadi hutan kemasyarakatan yang masa kelolanya mencapai 35 tahun. Untuk saat ini proses verifikasi oleh instansi terkait juga sudah selesai. Tujuan restorasi ini selain untuk memulihkan eks lahan sawit, juga agar hasil hutan nonkayunya nanti bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Makanya tanaman-tanaman yang ditanam di sana tidak seluruhnya tanaman hutan.

Selain di Kecamatan Tenggulun, lahan restorasi di Aceh Tamiang ada beberapa titik, di antaranya di Kecamatan Bandar Pusaka.

“Yang dikelola oleh FKL sendiri kalau di Regional 1 lanskap Tamiang ada sembilan pos. Nama kelompok yang mengelolanya beda-beda. Kalau yang di Bengkelang (Bandar Pusaka) itu bentuknya kelompok sadar wisata, di sana juga ada seribuan hektare. FKL bantu monitoring dan support  bibit,” kata Armia.

Hutan-hutan yang direstorasi oleh FKL semuanya berstatus hutan lindung, hutan produksi, bahkan ada yang berstatus taman nasional.

Perubahan positif

Kehadiran hutan restorasi ini, meski secara finansial belum begitu dirasakan dampaknya oleh masyarakat, tetapi secara ekologi mulai menunjukkan efek positif. Di Tenggulun misalnya, sejak hadirnya kembali hutan di daerah ini, banyak burung yang dulu hilang kini muncul kembali.

Teridentifikasi hampir 50-an jenis burung terdapat di Kawasan Restorasi Tenggulun. Di antaranya elang ular bido, bubut alang-alang, layang-layang batu, perenjak Jawa, cucak kutilang, cekakak, dan punai gading. Ada juga burung bondol peking, kekep babi, kipasan belang, cipoh jantung, dan kerak kerbau.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved