Kajian Kitab Kuning
Hukum Membersihkan Kotoran atau Istinja dengan Menggunakan Tisu
Istinja’ adalah menghilangkan (membersihkan diri dari) sesuatu yang keluar dari kemaluan dengan menggunakan air atau batu.
Diasuh oleh Tgk Alizar Usman MHum *)
Istinja’ adalah menghilangkan (membersihkan diri dari) sesuatu yang keluar dari kemaluan dengan menggunakan air atau batu.
Apabila orang yang istinja` menginginkan menggunakan salah satu dari keduanya, maka yang utama adalah menggunakan air.
Kalau menginginkan yang lebih utama dari itu, hendaknya menggabungkan keduanya dengan mendahulukan penggunaan batu.
Kebolehan istinja’ dengan batu dapat dipahami secara terang diantaranya hadits riwayat Aisyah berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ فَإِنَّهَا تَجْزِي عَنْهُ
Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Apabila salah seorang kamu pergi buang air besar, maka hendaknya pergi bersama tiga butir batu untuk istinja’ dengannya , maka itu memadai dengannya.”
Al-Nawawi mengatakan, hadits ini shahih diriwayat oleh Ahmad, Abu Daud, al-Nisai, Ibn Majah dan al-Darulqutny, beliau mengatakan isnadnya hasan shahih. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: II/130)
Ulama dari kalangan mazhab Syafi’i sepakat kebolehan istinja’ dengan benda selain batu yang diposisikan seperti batu. Syeikh al-Syairazi telah membatasi kriteria penggunaan benda selain batu dengan kata beliau :
كل جامد طاهر مزيل للعين وليس له حرمة ولا هو جزء من حيوان
Setiap benda jamid (padat) yang suci, menghilangkan ‘ain, tidak terhormat dan bukan bagian dari hewan. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: II/130)
Al-Nawawi dalam mengomentari penjelasan al-Syairazi ini mengatakan :
اتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى جَوَازِ الِاسْتِنْجَاءِ بِالْحَجَرِ وَمَا يَقُومُ مَقَامَهُ وَضَبَطُوهُ بِمَا ضَبَطَهُ بِه الْمُصَنِّفُ قَالُوا وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الْأَحْجَارُ وَالْأَخْشَابُ وَالْخِرَقُ وَالْخَزَفُ وَالْآجُرُّ الَّذِي لَا سِرْجِين فِيهِ وَمَا أَشْبَهَ هَذَا وَلَا يُشْتَرَطُ اتِّحَادُ جِنْسِهِ بَلْ يَجُوزُ فِي الْقُبُلِ جِنْسٌ وَفِي الدُّبُرِ جِنْسٌ آخَرُ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الثَّلَاثَةُ حَجَرًا وَخَشَبَةً وَخِرْقَةً نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ الْأَصْحَابُ عَلَيْهِ هَذَا مَذْهَبُنَا قَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَبِهِ قَالَ الْعُلَمَاءُ كَافَّةً إلَّا دَاوُد فَلَمْ يُجَوِّزْ غَيْرَ الْحَجَرِ وَكَذَا نَقَلَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا عَنْ دَاوُد: قَالَ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ هَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ عَنْ دَاوُد بَلْ مَذْهَبُهُ الْجَوَازُ
Pengikut mazhab Syafi’i sepakat boleh istinja’ dengan batu dan benda yang diposisikan seperti batu. Mereka membatasinya sebagaimana telah dibatasi oleh pengarang al-Muhazzab. Mereka mengatakan, baik itu batu, kayu, kain, tembikar, bata, tidak boleh bata yang ada baja dalamnya dan yang serupa dengan ini. Tidak disyaratkan sejenis, akan tetapi boleh pada qubul satu jenis, sedangkan pada dubur jenis yang lain. Juga boleh ketiganya itu batu, kayu dan kain. Ini telah nash Imam Syafi’i dan pengikut Syafi’i sepakat atasnya. Ini mazhab kita. Syeikh Abu Hamid, pendapat ini merupakan pendapat semua ulama kecuali Daud, yang tidak membolehkan istinja’ dengan selain batu, seperti ini telah dikutip oleh kebanyakan pengikut Syafi’i dari Daud. Al-Qadhi Abu al-Thaib mengatakan, ini tidak shahih dari Daud, tetapi mazhab beliau adalah boleh. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: II/130)
Dalil kebolehan istinja’ dengan benda selain batu antara lain :
1. Hadits Abu Hurairah, beliau berkata :
اتَّبَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَرَجَ لِحَاجَتِهِ فقال ابغنى أحجارا استنقض بِهَا أَوْ نَحْوَهُ وَلَا تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلَا رَوْثٍ
Aku mengikuti Nabi SAW di saat beliau keluar untuk buang air besar. Beliau mengatakan, carilah batu-batu atau seumpamanya untuk ku beristinja’ dan jangan kamu bawa untukku tulang dan kotoran. (H.R. Bukhari).
2. Hadits Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda :
ولْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ وَنَهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ
Hendaklah beristinja’ dengan tiga butir batu dan Rasulullah melarang istinja’ dengan kotoran dan potongan tulang.
Al-Nawawi mengatakan, hadits ini shahih, telah diriwayat oleh Imam Syafi’i dalam Musnadnya dan lainnya dengan isnad shahih. Abu Daud, al-Nisa-i dan Ibnu Majah juga telah meriwayatnya dalam al-Sunan mereka dengan isnad shahih yang semakna dengannya. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: II/111)
3. Hadits Ibnu Mas’ud, beliau berkata :
أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيهِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ هَذَا رِكْسٌ
Nabi SAW mendatangi jamban, lalu beliau memerintahku memberinya tiga batu. Aku menemui dua batu dan aku cari batu yang ketiga, akan tetapi aku tidak mendapatkannya, maka aku ambil kotoran. Kemudian aku berikan kepada Nabi SAW. Beliau mengambil dua batu dan membuang kotoran. Kemudian beliau berkata : “Ini najis.”(H.R. Bukhari)
Jalan pendalilian hadits pertama dan kedua yaitu larangan Rasulullah SAW menggunakan tulang dan kotoran menunjukkan bahwa benda selain batu di posisikan seperti batu.
Seandainya tidak diposisikan seperti itu, maka mengkhususkan larangan hanya pada tulang dan kotoran tidak mempunyai makna.
Adapun jalan pendalilian hadits ketiga bahwa Rasulullah SAW menjadikan ‘illah (alasan hukum) tidak menggunakan kotoran sebagai alat istinja’ adalah najis, bukan alasannya karena kotoran itu bukan batu. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: II/130)
Apakah tissu termasuk dalam katagori benda selain batu yang diposisikan seperti batu ?
Tissu adalah sepotong kertas tipis dan lembut. Jenis kertas tissu lebih mudah meresap kotoran dibandingkan kertas lain.
Karena itu, tissu sering digunakan untuk membersihkan kotoran dari badan manusia atau benda lainnya dengan cara menggosok pada bagian yang terkena kotoran.
Berdasarkan pengertian ini, maka kertas jenis tissu ini lebih layak diposisikan seperti batu dalam istinja’ dibandingkan kertas yang biasa digunakan dalam tulis menulis yang dibolehkan oleh ulama sebagai alat istinja’.
Para ulama yang telah memasukkan kertas sebagai alat istinja’ yang dibolehkan pada syara’, antara lain :
1. Sayyed Abdurrahhman Baa’alawi dalam kitab beliau, Bughyah al-Mustarsyidin :
يجوز الاستنجاء بأوراق البياض الخالي عن ذكر الله تعالى كما في الإيعاب.
Boleh istinja’ dengan kertas putih yang tidak ada zikir Allah Ta’ala sebagaimana disebut dalam kitab al-I’aab. (Bughyah al-Mustarsyidin: 27)
2. Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab beliau, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqiyah :
وَنَقَلَ الزَّرْكَشِيُّ عَنْ الْقَمُولِيِّ وَأَقَرَّهُ جَوَازُ الِاسْتِنْجَاءِ بِالْوَرَقِ الْكَاغَدِ إنْ كَانَ خَشِنًا مُزِيلًا وَصَرَّحَ بِذَلِكَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ وَنَقَلُوهُ عَنْ الْمَاوَرْدِيُّ. إهـ
Al-Zarkasyi mengutip dari al-Qamuly dan mengakuinya, boleh istinja’ dengan kertas seandainya kertas itu kesat dan bersifat menghilang kotoran. Telah diterangkan demikian juga oleh satu jama’ah mutaakhiriin dan mereka mengutip itu dari al-Mawardy (al-Fatawa al-Kubra al-Fiqiyah, karya Ibnu Hajar al-Haitamiy: I/263)
Catatan:
1. Kebolehan istinja’ dengan kertas tissu ini apabila tissu tidak dalam keadaan basah
2. Kotoran tidak berpindah dari lingkaran dubur atau hasyafah zakar
3. Kedua persyaratan di atas sebagaimana syarat kebolehan istinja’ dengan batu. (Raudhah al-Thalibin: II/68)
---------
*) Salah satu tugas mulia bagi Muslim adalah menjadi penerus risalah kenabian, yakni mensyiarkan Agama Islam dalam berbagai bentuk media.
Serambi Indonesia menyambut baik kerjasama Bidang Dakwah bil Qalam dan Lisan (video) dengan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh.
Dakwah melalui tulisan diasuh oleh Tgk Alizar Usman, S.Ag, M.Hum, alumni UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Alumni Dayah Istiqamatuddin Darul Muarrif, Lam Ateuk.
Adapun dakwah melalui visual diisi oleh keluarga besar DPP ISAD Aceh.
Dakwah di media besar melalui Serambi Indonesia jangkauannya lebih luas. Dapat dibaca kapan saja dan di mana saja sehingga konten dakwah bisa didapat lebih fleksibel.
Seluruh Isi dan konten menjadi tanggung jawab para narasumber.
Anak Melawan Ayah Demi Membela Ibu, Apakah Termasuk Durhaka? Ini Hukumnya Menurut Tgk Alizar Usman |
![]() |
---|
Hadiri Resepsi Pernikahan Orang Tanpa Diundang, Bagaimana Hukumnya Dalam Islam? |
![]() |
---|
Memahami Sudut Pandang Takdir |
![]() |
---|
Orang Gila Juga Menikah |
![]() |
---|
Hukum Menggunakan Obat Penunda Haid untuk Ibadah Haji, Umroh hingga Puasa Ramadhan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.