Opini
Belajar dari Orang Tua Palestina
Di usianya yang masih kecil dia mampu memanggil nama Allah seraya mengadu dan menggambarkan perasaannya sembari menadahkan tangan dengan tatapan nanar
Hayail Umroh SPsi MSi, Dosen Psikologi Keluarga Duta Kesehatan Mental Dandiah Aceh
MENURUT teori perkembangan kognitif Piaget, seorang anak mengembangkan kemampuan berpikir logis terhadap kejadian-kejadian konkret yang dialaminya mulai muncul di usia tujuh tahun. Di usia 0 sampai 2 tahun otak anak masih sangat sederhana, dia hanya menangkap apa yang terlihat di depan matanya, belum mampu mengembangkan konsep abstrak di otaknya.
Di usia 2 sampai menjelang 7 tahun, anak masih belum optimal berpikir secara reversible yaitu mengerti setiap kejadian yang dialaminya dalam dua arah, yaitu pemikiran yang dapat dipertanyakan sebab kemunculannya dan bagaimana kemudian seharusnya.
Sementara di usia tujuh tahun ke atas, reversible mulai muncul dan anak-anak sudah bisa diajak berbincang tentang hal-hal abstrak seperti membayangkan bangun ruang tiga dimensi, menaksir volume dan luasnya, termasuk berbicara tentang surga, neraka, kematian, pahala dan dosa.
Berdasarkan hal itu, seharusnya seorang anak di usia lima sampai enam tahun belum mampu memahami makna syahid, ridha, ikhlas dengan amat dalam bahkan sampai tercermin dalam sikap, kata dan perasaannya. Namun berbeda dengan apa yang kita lihat pada anak-anak Palestina.
Di usianya yang masih kecil dia mampu memanggil nama Allah seraya mengadu dan menggambarkan perasaannya sembari menadahkan tangan dengan tatapan nanar namun penuh ketabahan berulang kali di atas puing rumahnya. Banyak dari mereka yang belum genap berusia tujuh tahun mampu menyatakan perasaan dan sikapnya terhadap penjajah yang menghancurkan rumahnya, membunuh ayah ibu dan saudaranya dengan keberanian dan nyali yang besar.
Mereka terlihat sangat meyakini bahwa ada Allah yang akan menjaga dan melindungi mereka. Banyak dari mereka seakan paham betul bahwa jika mereka mati maka mereka tidak akan merugi sama sekali, justru syahid yang mengantarkan mereka ke surga menjadi cita-citanya. Mereka bersedia dan rela menulis atau dituliskan namanya oleh orang tua di lengan dan kaki agar mudah dikenali seandainya mereka mati. Sungguh anak-anak yang memiliki keyakinan tinggi terhadap Allah azza wa jalla.
Penanaman tauhid
Sejatinya sejak pemilihan calon pasangan hidup kita diminta untuk mencari pribadi yang dekat kepada Allah, setidaknya dia menjalankan shalat dan bisa mengaji serta mau melakukan aktivitas ibadah dengan taat, sebab pribadi yang tidak melalaikan shalat adalah pribadi yang paham bahwa hanya Allah yang wajib disembah, bahwa hidupnya hanya bergantung kepada-Nya, tidak ada Tuhan selain Dia dan menjadi kewajiban serta kebutuhannya untuk mendekat kepada-Nya.
Sebab kehidupan itu berat dan hanya Allah yang mampu meringankannya. Begitu juga dengan perempuan sang calon ibu, dia menyadari bahwa dalam rahimnyalah kelak bersemayam benih penerus agama Allah. Dia berusaha agar lingkungan rahimnya selalu penuh dengan nilai-nilai kepatuhan terhadap Allah swt.
Rasa kehambaan sang ibu akan diterima dan diamini oleh janin yang ada di dalam rahim, terlebih jika pengasuhannya senantiasa diwarnai dengan penggambaran akan nilai-nilai Islam yang positif.
Maka anak akan mengembangkan sikap dan perasaan menghamba kepada Rabbnya. Bukankah telah disampaikan bahwasanya setiap manusia yang terlahir ke dunia sejatinya adalah muslim. Namun kedua orang tuanyalah yang akhirnya menjadikannya seorang muslim atau bukan. Artinya, lingkungan luar rahim sangat mempengaruhi kepribadiannya bahkan dapat melencengkannya dari fitrah sebagai muslim.
Terlepas dari kondisi Palestina yang telah Allah janjikan sebagai tanah Quds, tanah yang diberkahi, di sana juga tanah di mana anak-anak mengenal Allah sejak kecil, mereka bertauhid dengan sangat baik. Ditanamkan pada mereka keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan nabi Muhammad utusan-Nya, bersabar atas segala ketentuan dan ketetapan Allah adalah perilaku mulia, karena hanya Allah yang tahu apa yang ada di depan dan belakang manusia, juga syahid menjadi jalan hidup yang mulia.
Dari semua perilaku dan sikap juga kata-kata bijak yang menggambarkan ketabahan, ketawakalan, keberanian anak-anak Palestina bahkan balita. Ada orang tua yang kerap mengenalkan Allah dan Rasul-Nya, mengenalkan kemuliaan dan kebesaran Allah ta’ala, menanamkan rasa cinta kepada-Nya bahkan sejak dalam kandungan, mengajarkan ketangguhan dan keberanian menghadapi kondisi sulit akibat manusia laknat yang merenggut tanah bahkan nyawa ayah ibu bahkan dirinya.
Di balik itu semua, ada orang tua dengan semangat jihad yang tinggi di jalan Allah, mengenalkan Allah dengan sedemikian kuat dan kebanggaan atas agamanya. Ada orang tua yang menanamkan syahid sebagai jalan hidup yang mulia bahkan didamba oleh setiap muslim. Anak-anak ini bertumbuh menjadi manusia bernyali menghadapi musuh Allah, agamanya sekaligus perindu syahid untuk berjumpa Allah dalam limpahan kasih sayang-Nya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.