Jurnalisme Warga

Ranup Lampuan untuk Rohingnya

Makna mendalam lain dari ranup lampuan adalah ketika tamu memakan sirih tersebut terdapat rasa pedar dan pedas. Itu bermakna sebagai sikap rendah hati

Editor: mufti
IST
MUHAMMAD, Wakil Dekan I  dan Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Kebansgaan Indonesia (Uniki) Bireuen, melaporkan dari Bireuen 

Setelah itu, karena kondisi kesehatan dan pertimbangan lainnya, mereka ditarik ke darat untuk diberikan pertolongan (bantuan) yang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat setempat.

Peristiwa di atas adalah makna mendalam dari ranup lampuan yang tidak sekadar pengalungan bunga kepada tamu kehormatan yang sampai di Bumi Serambi Makkah. Hakikatnya bahwa, tradisi ranup lampuan merupakan representasi dari kehidupan masyarakat Aceh secara keseluruhan yang gemar menyambung silaturahmi dan menerima tamu dengan tangan terbuka.

Bagi masyarakat Aceh, tradisi memuliakan tamu memiliki dimensi hubungan kemanusiaan dan keagamaan. Memang, tradisi menerima tamu ada dalam setiap kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang budayanya.

Di samping itu, bangsa Aceh lebih dulu merasakan bagaimana pahitnya penjajahan, pengkhianatan, dan perjuangan yang sudah puluhan tahun dirasakan sebelumnya. Apa yang kini dirasakan oleh etnis Rohingnya bangsa Aceh lebih dulu merasakannya. Atas dasar itulah sikap ramah dan kemuliaan orang Aceh terbentuk selain daripada anjuran agama sebagai esensi pokok.

Melihat perjalanan etnis Rohingnya ke Aceh sejak awal, masyarakat Aceh menyambutnya dengan ranup lampuan, dengan cara memberikan pertolongan pertama baik makanan, kesehatan maupun menjamin keamanannya selama berada dalam wilayah yang ditampung.

Pada perjalanan berikutnya etnis Rohingnya ini terus berdatangan dengan berbagai motif yang berkembang. Terjadi pula berbagai aksi penolakan seiring dengan berkembangnya isu etnis Rohingnya akan menjadikan Aceh seperti sejarah Palestina-Israel dan segala macam isu miring lainnya.

Kondisi ini meciptakan kegaduhan dan keresahan di kalangan sebagian masyarakat Aceh. Di lain sisi terdapat beberapa pengungsi yang ditampung di penampungan melarikan diri, tidak tertib, dan berbagai perilaku kurang pantas sebagai tamu.

Kendati demikian, sampai saat ini belum ditemukan masyarakat Aceh yang memperlakukan etnis Rohingnya dengan cara yang tidak manusiawi. Meskipun rumor yang berkembang saat ini semakin tidak terkendalikan. Namun, dalam praktiknya masyarakat Aceh selalu mengutamakan nilai kemanusiaan.

Sikap ramah dan santun selalu diutamakan oleh masyarakat Aceh di berbagai tempat yang disinggahi oleh etnis Rohingnya. Sebelum diizinkan ke darat masyarakat bantu memberikan makanan, obat-obatan, dan pakaian untuk memastikan mereka baik-baik saja. Hal ini tentu saja mengingat bagaimanapun mereka masih seiman dengan masyarakat Aceh dan pada akhirnya bisa dipahami bahwa bumi ini milik Allah, tentu saja siapa pun berhak menghuninya dengan ketentuan mematuhi setiap aturan-aturan Allah dan aturan lain yang diterapkan pada wilayah-wilayah tertentu. Sebagaimana kata pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.

Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa masyarakat Aceh telah menyambut etnis Rohingnya dengan ranup lampuan. Seterusnya, mengapa terjadinya kekacauan seperti saat ini, tentu saja karena perhatian pemerintah terkait penanganan dan pencegahan yang dinilai masih lambat dan belum berjalan sepenuhnya.

Belum lagi pemerintah saat ini sedang fokus mempersiapkan pesta demokrasi besar-besaran yang menjadikan persoalan kemanusiaan bergerak lambat. Akhir kalimat, saya tutup dengan kalimat tegas sikap masyarakat Aceh “Meunyoe hatee ka teupeh, ata bak mareh kusuet u luwa; meunyoe ate hana teupeh, asoe lon koh jok keu gata”.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved