Kupi Beungoh
Boh Gantang dan Daya Lumpoe Awak Eropa
Di Aceh, kentang khususnya dibudidayakan di kawasan dataran tinggi, yakni Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Oleh: Teuku Murdani Seumirah*)
Di Aceh, kentang khususnya dibudidayakan di kawasan dataran tinggi, yakni Aceh Tengah dan Bener Meriah. Dengan hawa dinginnya, kawasan ini sangat cocok untuk berbagai tanaman, termasuk umbi-umbian.
Berbeda sekali bila dibandingkan dengan kawasan lain seperti Aceh Besar, Aceh Timur, Pidie ataupun kawasan Pantai Barat Selatan.
Namun sebagaimana tanaman lain, kentang hanyalah makanan pendukung di negeri Serambi Mekkah. Pasarnya pun tidak begitu menarik, sehingga tidak ramai petani yang membudidayakannya.
Berbeda halnya dengan Eropa. Di sana kentang merupakan salah satu pilihan sumber makanan dari berbagai jenis makanan yang ada.
Bagi masyarakat Eropa, apapun jenis makanan dapat dikonsumsi sebagai makanan pokok, sehingga dapat diolah dalam berbagai bentuk dan rasa.
Hal ini jauh sekali berbeda dengan masyarakat Aceh dimana makanan pokok hanya nasi dengan lauk baik ikan, daging ataupun telur.
Baca juga: Satu Sore Bersama Tun Mahathir Mohamad di Putrajaya
Sedangkan kentang umumnya hanya dijadikan bahan pelengkap untuk memasak kari, soup, dan paling heboh pergedel. Sehingga kentang secara otomatis tidak dapat dijadikan makanan pokok atau pengganti makanan pokok.
Sedangkan bagi masyarakat Eropa, kentang selain dapat menjadi makanan pokok, mereka telah mampu mengolahnya menjadi berbagai jenis dan bentuk makanan seperti kentang goreng, wedges, kerupuk kentang, smash potato, kentang panggang dan lain-lain.
Salah satu perusahaan yang memproduksi kentang goreng saat ini yang paling besar berada di Canada, namun produknya dapat dibeli di Aceh Singkil.
Sedangkan keripik kentang dengan berbagai rasa dapat dibeli di kios kecil di Pulau Aceh.
Sebuah ironi yang sangat mendasar, ketika kita belum bisa menjadikan kentang sebagai pengganti nasi, tetapi orang Eropa sudah mampu menembus pasar Pulau Aceh dengan keripik kentangnya.
Perbedaan ini sepintas biasa saja, namun jika kita mendalaminya lebih lanjut akan kelihatan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar dalam bidang peradaban antara Aceh dengan masyarakat Eropa.
Jurang perbedaan itu sangat dalam, sehingga kita berfikir tidak akan mampu mengejarnya.
Baca juga: SBY dan Aceh: Memori Kolektif Tentang Damai dan Tsunami - Bagian III
Perbedaan kita dengan masyarakat Eropa merupakan perbedaan sebuah konsep pembangunan. Pembangunan bukanlah kegiatan membangun gedung, jalan, atau bangunan berlantai tinggi lainnya.
Pembangunan merupakan konsep untuk membuat hidup semua orang lebih baik. Konsep pembangunan tidak bisa dipisahkan dari daya lumpoe, daya juang dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat.
Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Eropa rata-rata memiliki lumpoe dan daya juang yang sangat gigih sehingga mereka memiliki peradaban yang sangat modern dan dianggap sebagai model bagi negara-negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia.
Sementara kita sampai saat ini belum mampu menumbuhkan High Class lumpoe dan daya juang yang mumpuni, sehingga kita hanya menjadi konsumen dari kehebatan masyarakat Eropa.
Kentang dengan produk kentang goreng dan keripik kentang merupakan salah satu contoh kecil dimana kita hanya penikmat mimpi orang.
Kondisi kita tidak jauh berbeda dengan apa yang diceritakan oleh Jared Diamond dalam bukunya Gun, Germ, and Steel tentang pertanyaan Yali, seorang penduduk asli dari Papua New Genuine.
Yali bertanya: “Mengapa kalian orang kulit putih memiliki banyak sekali barang yang kalian bawa ke tempat kami? Sedangkan kami orang kulit hitam memiliki sedikit barang untuk diri kami sendiri”.
Baca juga: Navy SEAL AS Tewas Saat Naiki Kapal Diduga Angkut Komponen Iran untuk Rudal Balistik ke Houthi
Barang yang dimaksud oleh Yali dalam cerita Jared adalah produk dalam berbagai bentuk yang diimpor oleh negara-negara yang sedang berkembang, seperti Papua New Genuine dan Indonesia. Mulai dari bahan makanan, pakaian, mesin, dan berbagai produk elektronik.
Untuk merubah cerita warung kopi dimana kita merupakan negeri yang kaya tapi tidak punya apa-apa adalah dengan menyatukan high class lumpoe dan daya juang.
Karena dari situ konsep pembangunan akan muncul. Lemahnya lumpoe dan daya juang merupakan ciri khas kelompok lamiet, walaupun mereka punya kekuatan tetapi tetap membutuhkan perintah untuk hidup.
Atau bisanya hanya membuat onar untuk mendapatkan sedikit keuntungan, namun mereka tidak mampu hidup mandiri karena tidak memiliki lumpoe untuk menjadi manusia bebas.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VIII) - Al Mukammil: Soft Power dan Dansa Diplomasi
Bagi lamiet rebut sesama lamiet merupakan hal yang biasa untuk mendapatkan posisi yang lebih bagus daripada rebut dengan tuannya yang kemungkinan nyawanya akan menjadi taruhan.
Sepintas kata Development yang memiliki makna; pembangunan, pengembangan, peradaban, kemajuan, modern dan sebagainya merupakan sebuah kata yang sangat membingungkan.
Semenjak diperkenalkan secara resmi oleh Presiden Truman (presiden Amerika Serikat pada tahun 1947) telah membuat banyak negara berlomba-lomba untuk mengejar pembangunan.
Namun dalam prosesnya, sedikit negara atau masyarakat yang benar-benar memahami arti dari kata development tersebut.
Sebaliknya mereka malah mengakibatkan ketergantungan terhadap Barat dan Eropa. Dalam sejarah tidak jarang kita membaca bahwa banyak negara maju atau berkembang menjadi terbelakang.
Tidak perlu jauh, kita contohkan Aceh saja. Aceh pernah menjadi kerajaan yang sangat maju pada abad ke 15-17 M.
Kerajaan Aceh memilki kekuasaan yang luas, armada militer yang kuat, perdagangan internasional, dan peradaban tinggi dengan Bustanussalatinnya.
Baca juga: Pak Kun, Integritas, dan Keberuntungan Aceh - Bagian III
Sebagaimana dicatat oleh Muhammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad, kekuasaan Aceh mencapai lebih separuh Pulau Sumatera hingga Semenanjung Malaysia. Aceh kala itu adalah adikuasa Asia Tenggara.
Namun apa yang terjadi dengan Aceh hari ini? Telur dan pisang kepok kita bergantung pada Sumatera Utara. Besar kemungkinan karena mental orang-orang Aceh yang dulunya ada pada tataran high class lumpoe dan daya juang tinggi telah digantikan dengan mental lamiet (budak).
Namun apapun persoalannya, kita pernah menjadi bagian masyarakat yang dikenal di dunia dengan peradaban tinggi pada masa itu, walaupun itu hanya tinggal sejarah.
Mudah-mudahan sejarah itu pun bukanlah sebuah dongeng. Sehingga dapat kita gunakan untuk bangkit kembali dengan semangat indatu untuk menjadi masyarakat berperadaban maju kembali.
Mari kita tinggalkan peukaten lamiet yang hanya berani berkonflik sesama lamiet untuk mendapatkan posisi dari tuannya, namun begitu diberikan posisi beraninya hanya menindas sesama lamiet dan menjilat habis tuannya.
*) PENULIS adalah adalah kadidat doktor dalam bidang Pengembangan Masyarakat Terpencil di University of Canberra, Australia dan Dosen pada jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry Banda Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.