Jurnalisme Warga
Menghilangnya ‘Daruet Lam Blang’
“Daruet jinoe hana le lam blang/Belalang kini sudah tak ada lagi di dalam sawah,” kata seorang saudara yang sedang menginap di tempat saya, seraya men

ELLY WANI, Aparatur Sipil Negara (ASN) Dinas Syariat Islam Aceh, melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie
Berawal dari menonton sebuah reportase televisi tentang makanan di Thailand yang terbuat dari serangga. Melihat etalase belalang goreng di layar kaca, seketika beberapa episode memori masa kecil terpampang di ingatan saya. Yakni, tentang gurihnya belalang (daruet) goreng, maknyusnya kuah belalang, juga semua proses yang dilalui guna menghadirkan santapan lezat belalang itu di atas meja makan.
“Daruet jinoe hana le lam blang/Belalang kini sudah tak ada lagi di dalam sawah,” kata seorang saudara yang sedang menginap di tempat saya, seraya menatap nanar gambar belalang goreng di layar. Sekarang belalang tidak ada lagi di sawah.
Tak urung saya disengat rasa kejut mendengarnya. Tidak menyangka belalang telah langka di kampung halaman kami. Rupanya bukan hanya saya yang bernostalgia saat menonton acara itu. Kedua saudara saya itu, yang kesehariannya akrab dengan persawahan, juga mengalami nostalgia yang sama. Obrolan kami pada minggu pagi yang mendung itu pun berubah topik.
Beberapa tahun lalu belalang relatif masih mudah dijumpai. Memang tidak sebanyak dulu. Akan tetapi, ia masih bersilewaran di area persawahan. Petani yang sedang bercocok tanam dapat menangkapnya dalam rimbunan bibit tanaman padi.
Mungkinkah belalang langka sebagai efek masifnya penggunaan pestisida? Pestisida digunakan untuk membasmi hama penganggu. Tidak mustahil belalang ikut terbasmi.
Ada banyak jenis belalang. Adapun yang diburu dan dikonsumsi masyarakat merupakan jenis belalang hijau. Dari jenis itu dibedakan lagi jenis kelaminnya. Konon belalang betina (daruet inong) paling diminati karena rasanya lebih enak dan gurih.
Di masa kecil saya, hidangan daruet merupakan primadona. Ada dua macam sajian belalang yang biasanya dibuat oleh ibu saya. Sebagian dimasak berkuah, sebagiannya lagi digoreng. Rasanya sungguh lezat. Kuah daruet memiliki cita rasa tersendiri. Itulah santapan pagi sebelum berangkat ke sekolah.
Kenapa bisa diolah pagi-pagi? Karena daruet tersebut diperoleh pada malam hari. Itulah uniknya proses memperoleh daruet. Kenangan berkesan yang sayangnya tidak lagi dimiliki generasi sekarang.
Orang-orang tentu saja bisa menangkap daruet di siang hari. Begitu mudah diperoleh pada masa itu. Belalang terbang bersileweran di persawahan yang sedang digarap maupun setelah musim panen. Anak-anak juga dapat berburu belalang di sepanjang pematang sawah. Alternatif permainan anak-anak zaman dulu. Setelah lelah menyusuri pematang, pulangnya membawa belalang ke rumah.
Berburu belalang di malam hari meninggalkan kesan yang mendalam. Bahkan, aktivitas itu mempunyai nama ‘Jak lhoh daruet’. Terjemahan bebasnya adalah menangkap belalang di malam hari. Biasanya dilakukan setelah selesai musim panen. Ketika area persawahan terhampar luas tanpa ditanami tanaman. Ada waktu yang lebih spesifik lagi. Setelah turun hujan. Misalkan sore hari turun hujan, malamnya orang-orang bersuka cita berburu belalang. Setelah hujan, daruet lebih mudah ditangkap. Hal ini karena perkembangbiakan belalang hijau sangat signifikan pada musim penghujan
‘Jak lhoh daruet’ tidak dilakukan dengan tangan kosong. Ada perbekalan yang harus dibawa. Sebagai penerang, orang-orang membawa ‘panyot’ (lampu teplok). Masa sebelumnya alat penerangan yang dibawa berupa suluh bambu. Benda lain yang wajib dibawa adalah wadah untuk menyimpan daruet yang telah ditangkap. Lazimnya orang-orang membawa ‘pacok trieng’. ‘Pacok’ merupakan wadah penyimpanan tradisional yang terbuat dari bambu. Jika tidak ada ‘pacok’, alternatif lain adalah membawa botol. Cukup dua perbekalan itu, maka ‘jak lhoh daruet’ siap dilakukan.
Orang-orang berangkat menuju area persawahan yang dekat rumahnya. Pergi sesudah magrib dengan membawa suluh di tangan. Anak-anak tidak mau ketinggalan ikut serta. Setidaknya berguna untuk membantu membawakan ‘panyot’. Di sawah, terlihat kerlap-kerlip cahaya terhampar di sepanjang area persawahan. Pada awalnya cahaya itu tidak terlalu banyak dan berpencar-pencar. Lama-kelamaan, semakin malam kerlip cahaya semakin memadati persawahan. Yang tadinya memencar lama-kelamaan menyatu. Yang bergerak dari utara, yang berangkat dari selatan, akhirnya bertemu di pertengahan. Suara riuh rendah menggema di persawahan. Orang-orang saling sapa. Berteriak, tertawa, bercanda. Cahaya itu berkerlap-kerlip dilihat dari perkampungan. Itu adalah gambaran ‘seumeulhoh daruet’ di gampong saya, Bucue, tahun-tahun menjelang akhir ‘90-an.
Setelah ‘pacok’ atau botol penuh, satu per satu maupun bergerombol mereka berangsur meninggalkan sawah. Pulang dengan hati riang gembira. Senang membayangkan lauk lezat yang disajikan untuk keluarga esok harinya. Anak-anak senang dapat ikut menyemarakkan dapur ibu mereka besok pagi.
Sesampainya di rumah, belalang dalam wadah ditumpahkan ke panci. Setelah dicuci dimasukkan air dan direbus. Poses merebus ini sangat penting dan tidak bisa dilewatkan. Untuk membuang kotoran dan mematikan bakteri yang melekat pada belalang.
Setelah direbus, belalang siap diolah menjadi beberapa menu lezat. Dapat digoreng, bisa juga dimasak kuah. Kuah daruet gurih dan ada manis-manisnya. Lezatnya bisa menghabiskan nasi sebakul. Daruet goreng juga begitu lezat. Tekstur dagingnya mirip dengan udang.
Jika daruet yang diperoleh banyak, orang-orang saling berbagi dengan tetangga dan keluarga yang tidak ikut ‘lhoh daruet’. Ada yang memberikan sejumlah daruet yang belum diolah. Si penerima bisa memasak sendiri sesuai selera masing-masing. Ada juga yang membagikan belalang yang sudah diolah, entah dimasak kuah ataupun digoreng. Keluarga kami cukup sering menerima hadiah olahan belalang ini dari para sanak saudara di sekeliling.
Belalang memiliki banyak kandungan gizi. Protein dan mineralnya cukup tinggi. Vitamin di dalamnya juga kaya. Pada masa itu belalang sungguh makanan favorit warga. Bahan baku mentah gratis diperoleh dari alam. Gizi tubuh terpenuhi. Sensasi di lidah terasa lezat kala menyantap masakan olahan dari belalang tersebut.
Tradisi ‘lhoh daruet’ setelah panen raya terus bertahan hingga menjelang akhir ‘90-an. Lalu, reformasi datang. Tirai konflik yang mencengkeram tanah ini terkuak. Suasana jadi terasa mencekam. Semua aktivitas di malam hari lenyap begitu saja. Kecuali ronda malam yang memang diwajibkan. Tidak ada yang berani mengambil risiko keluar rumah malam-malam jika tidak ada keperluan mendesak.
Sekitar empat tahun lalu, saya sempat menikmati kembali lezatnya kuah belalang. Pemberian sahabat kakak saya yang tinggal di kawasan Beureunuen, Pidie Jaya. Mereka bersama sekelompok kecil orang melakukan aktivitas ‘lhoh daruet’ di sawah dekat rumahnya. Sampai hari ini, itulah kali terakhir saya memakan daruet. Karena menurut sahabat kakak saya itu, belalang sudah langka juga di gampongnya. Menurutnya, belalang tak lagi mudah dijumpai setelah virus corona mewabah.
Keriuhan saat ‘lhoh daruet’ pun tinggal kenangan. Kerlap-kerlip cahaya di persawahan seusai panen raya menjadi kisah yang perlahan terlupakan. Ketika damai datang dan malam bukan lagi momok yang menakutkan, sang belalang justru menghilang. Sebuah ironi di sawah dan ladang-ladang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.