Ruang Bahasa

Mengenal Kata Berdiakritik dalam KBBI Terbaru

Berbeda dengan aigu, grave (è) dibubuhkan pada huruf [e] yang bunyinya seperti pada kata

|
Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Wartawan Serambi Indonesia Yarmen Dinamika 

Oleh: Yarmen Dinamika *)

SEPANJANG saya belajar bahasa Indonesia, baik semasa SMP dan SMA maupun saat kuliah, guru-guru saya tak pernah menyebutkan bahwa bahasa Indonesia tergolong bahasa yang menggunakan diakritik.

Beda halnya dengan bahasa Jerman, Italia, Spanyol, bahkan bahasa Aceh, semuanya berdiakritik.

di.a.kri.tik, merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring VI, diartikan sebagai tanda tambahan pada huruf yang sedikit banyak mengubah nilai fonetis huruf itu, misalnya tanda [´] pada é.

Beda dengan bahasa Indonesia,
bahasa Aceh termasuk salah satu bahasa yang sarat dengan tanda diakritik.

Tanda-tanda diakritik yang ada dalam bahasa Aceh adalah aigu /é/, grave /è/, makron /ô/, trema /ö/, dan apostrof /’/.

Aigu (é) digunakan pada huruf [e] seperti maté (mati), kéh (kantong baju/celana), kréh (keris), bacé (ikan gabus), até (hati), malém (alim), dan padé (padi).

Berbeda dengan aigu, grave (è) dibubuhkan pada huruf [e] yang bunyinya seperti pada kata bebek dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kèh (korek api), bijèh (bibit), malèe (malu), bèk (jangan), dan kayèe (kayu).

Sedangkan è itu melambangkan bunyi [ɛ], yaitu é taling dalam posisi tertutup, misalnya pada kata bèbèk ['bɛbɛʔ]. Lalu é yang melambangkan bunyi [e] atau é taling dalam posisi terbuka, misalnya pada kata lélé ['lele].

Berikutnya, makron (ô). Aksen ini dipakai jika ada huruf [o] dalam bahasa Aceh yang bunyinya seperti kata bobok dalam bahasa Indonesia. Kata-kata itu misalnya bôh (tuangkan, isi), crôh (goreng), lhôh (sorot), dan peunajôh (makanan).

Setelah makron, ada trema (ö). Trema digunakan pada huruf-huruf seperti böh (buang), nyang töh (yang mana), dan lhöh (bongkar).

Bunyi huruf dengan aksen trema ini adalah khas dalam bahasa Aceh. Dikatakan demikian, karena tidak ada bunyi yang sedemikian rupa dalam bahasa Indonesia.

Terakhir, apostrof. Tanda ini digunakan pada huruf-huruf berbunyi sengau dalam bahasa Aceh (su ch’o), misalnya h’iem (teka-teki), pa’ak (besar, tambun; seperti ikan tuna atau hiu), meu’a-a’ (suara tangis, meraung), ma’op (jenis jin, makhkuk tak berwujud untuk menakut-nakuti anak-anak), dan meu’ie-‘ie (suara tangis kuntilanak). Huruf dengan bunyi sengau ini sangat produktif dalam bahasa Aceh.

Lalu, bagaimana dengan bahasa Indonesia?

Dulu, beberapa kata yang diserap dari bahasa Arab kerap ditulis menggunakan diakritik bertanda apostrof dalam bahasa Indonesia. Misalnya, Jum'at, do'a, da'i, iqra', isra', mi'raj, dan ta'aruf.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved