Citizen Reporter
Gema Takbir di Kota Nabi
Sungguh kenikmatan yang luar biasa saat Allah memberi kesempatan bagi hamba-hamba-Nya untuk merasakan shalat Id di Kota Nabi, Madinah. Bagi pendatang,
Oleh: Tengku Nurul Keumala, PNS pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, melaporkan dari Madinah, Arab Saudi
TANPA terasa 30 hari Ramadhan berlalu dengan cepat. Di Arab Saudi kami berpuasa sejak tanggal 10 Maret hingga 9 April 2024. Berbeda satu hari dengan penetapan Pemerintah Indonesia yang memulai puasa pada 11 Maret. Namun, 1 Syawal kita rayakan pada tanggal yang sama, yaitu 10 April 2024.
Setelah menahan lapar dan dahaga selama 30 hari Ramadhan dengan keadaan cuaca di Arab Saudi yang sudah mulai berganti ke musim panas, tibalah hari kemenangan Idulfitri bagi umat muslim di seluruh dunia.
Sungguh kenikmatan yang luar biasa saat Allah memberi kesempatan bagi hamba-hamba-Nya untuk merasakan shalat Id di Kota Nabi, Madinah. Bagi pendatang, ini merupakan momentum yang sangat dinanti-nantikan. Apalagi pada malamnya, gema takbir sudah berkumandang seperti tiada hentinya sampai pelaksanaan shalat Id dimulai.
Ada beberapa hal unik yang berbeda pada pagi hari raya di Madinah dibandingkan dengan kita di Aceh. Di antaranya, dapat merasakan shalat Id di Masjid Nabawi. Namun, hal itu tidaklah mudah. Jemaah harus bergerak dari kediaman mulai dini hari. Pukul 02.00 atau pukul 03.00 dini hari adalah batas akhir bergerak, bila ingin shalat Id di Mesjid Nabawi. Padahal, jarak tempuh dari rumah ke Nabawi hanya sekitar 6 km, atau sekitar 7 menit perjalanan pada hari biasa. Namun, untuk shalat Id kami harus berangkat dari tengah malam. Bahkan, ada yang sudah mendatangi masjid dari pukul 01.00 waktu setempat.
Baca juga: Lautan Manusia Semarakkan Festival Takbir di Aceh Tamiang, Pj Bupati Asra: Momen Ini Bikin Haru
Mengapa demikian? Karena begitu padatnya jemaah, baik penduduk lokal Arab maupun jemaah umrah yang memadati Madinah sehingga jalan menuju Nabawi sejak dini hari sudah mulai padat dan macet. Pukul 4.00 pagi jalanan menuju Masjid Nabawi pasti sudah ditutup.
Bagi warga lokal Arab, hal ini sudah biasa. Dalam kesehariannya, secara sosial dan kultural, warga Arab lebih banyak melakukan kegiatan pada malam hari. Di Arab Saudi, pagi seperti malam, malam seperti pagi. Makanya tidak mengherankan apabila kita melihat kehidupan pada malam hari di Madinah lebih terasa hidup daripada pagi hari.
Pusat-pusat perbelanjaan, restoran, kafe, doorsmeer (car wash), bahkan taman-taman kota sangat ramai dikunjungi masyarakat pada malam hari sampai tengah malam. Pada awal-awal keberadaan kami di Madinah, saya sempat heran mengapa banyak tetangga yang keluar rumah pada malam hari. Bertamu ke rumah orang lain pada pukul 9 atau 10 malam, merupakan hal yang lumrah bagi mereka. Alasannya ternyata, karena malam cuaca sudah agak dingin, tidak sepanas siang hari.
Makanya di Madinah, pagi dan siang hari keadaan lengang, agak sunyi, dan banyak pertokoan yang tutup, kecuali sekolah, rumah sakit, perbankan, dan perkantoran pemerintahan yang tetap buka sejak pagi.
Menariknya bagi pegawai pemerintahan bila bulan Ramadhan, jam kerja dimulai pukul 10.00 pagi sampai dengan pukul 13.00 siang.
Nah, kembali pada persoalan shalat Id ke Mesjid Nabawi, tidaklah mengherankan bila warga lokal bergerak pada dini hari menuju masjid tersebut agar tidak terjebak macet. Begitulah kondisi berada di tengah masjid dunia.
Berbeda dengan kondisi kita di tanah air, Aceh khususnya. Masyarakat masih bisa bergerak ke masjid pukul 7 pagi dari rumah untuk melaksanakan shalat Id. Masih bisa sarapan pagi terlebih dahulu di rumah, baru bergerak ke masjid.
Di Madinah ? Tidak bisa demikian. Masyarakat membawa bekal makanan masing-masing dari rumah untuk sarapan setelah shalat subuh, sambil menunggu dimulainya shalat Id.
Selain Masjid Nabawi, tentu saja masyarakat juga menyerbu masjid-masjid besar lainnya untuk melaksanakan shalat Id, bila dirasa tidak memungkinkan untuk menembus kemacetan di seputaran Masjid Nabawi. Sebut saja Masjid Quba, Masjid Khandaq, Masjid Uhud, Masjid Qiblatain, dan beberapa mesjid besar lainnya.
Kami pribadi pada 1 Syawal itu lebih memilih untuk shalat Id di Masjid Quba. Padahal, jarak tempuh ke Masjid Quba dari tempat tinggal kami lebih jauh bila dibandingkan ke Masjid Nabawi. Akan tetapi, untuk shalat Id, keadaan jalan tentu lebih macet dan padat bila menempuh ke Masjid Nabawi, kecuali sanggup untuk bergerak sejak pukul 02.00 dari rumah. Bagi kami yang mempunyai bayi, tentu bukan pilihan yang tepat bila ke Masjid Nabawi dengan tantangan yang sedemikian, akhirnya kami pilih ke Masjid Quba saja.
Mengelola Kehidupan Melalui Kematian: Studi Lapangan Manajemen Budaya di Londa, Toraja |
![]() |
---|
Saat Penulis Sastra Wanita 5 Negara Berhimpun di Melaka |
![]() |
---|
Saat Mahasiswi UIN Ar-Raniry Jadi Sukarelawan Literasi untuk Anak Singapura |
![]() |
---|
IKOeD Peusijuek Alumni Leting Intelegencia Generation 2025 di Pantai Lampu’uk |
![]() |
---|
Dinamika Spiritual dan Teknis dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji Modern |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.