Citizen Reporter

Saat Mahasiswi UIN Ar-Raniry Jadi Sukarelawan Literasi untuk Anak Singapura

memutuskan ikut program FASStrack Asia: The Summer School 2025 di National University of Singapo

Editor: mufti
IST
FATHIYAH RAHMA,  Mahasiswi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Ar-Raniry dan Peserta FASStrack Asia The Summer School NUS, melaporkan dari Singapura 

FATHIYAH RAHMA,  Mahasiswi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Ar-Raniry dan Peserta FASStrack Asia The Summer School NUS, melaporkan dari Singapura

ADA pengalaman yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya saat memutuskan ikut program FASStrack Asia: The Summer School 2025 di National University of Singapore (NUS). Selain belajar di kelas, berdiskusi lintas budaya, dan menambah wawasan tentang Asia Tenggara, saya mendapat kesempatan berharga yang sangat membekas: menjadi sukarelawan dalam kegiatan literasi untuk anak-anak Singapura.

Di sela-sela aktivitas sebagai peserta program Summer School, saya dan teman saya yang merupakan mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh bergabung bersama para pemuda lokal Singapura menjadi sukarelawan sebagai bentuk Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Internasional dalam kegiatan Raikan Ilmu - Heartlands Edition 2025, sebuah kegiatan literasi yang digagas oleh Yayasan Mendaki Singapura yang bertujuan membangun kebersamaan melalui aktivitas edukatif bersama anak-anak.

Bagi saya pribadi, ini lebih dari sekadar kegiatan sukarela. Ini adalah ruang baru yang mempertemukan saya dengan banyak cerita, wajah, dan semangat. Di sinilah saya belajar bahwa ilmu tidak selalu harus dirayakan di ruang kuliah atau seminar ilmiah. Terkadang, ia justru tumbuh dalam tawa riang anak-anak yang sedang memegang buku bergambar, dalam tangan-tangan kecil yang antusias menyusun ‘puzzle’, atau dalam percakapan ringan tentang mimpi mereka di masa depan.

Dengan tema “Raikan Ilmu” yang berarti ‘Merayakan Ilmu’, kegiatan ini mengusung semangat pembelajaran yang inklusif dan menyenangkan. Kegiatan ini juga menjadi wadah refleksi bagi para peserta tentang pentingnya pendidikan sejak dini, serta bagaimana pengetahuan dan budaya bisa dirayakan bersama dalam suasana yang penuh keceriaan.

Kami ditugaskan mendampingi anak-anak yang datang, berinteraksi langsung dengan anak-anak, dan mendampingi mereka dalam berbagai aktivitas menyenangkan: mulai dari bermain Toss and Play, menyusun ‘puzzle’, sampai bermain permainan edukatif yang melatih daya pikir.

Terkadang, saya bertanya pada mereka, "Kalau besar nanti mau jadi apa?" Jawaban mereka beragam, lucu, spontan, dan menggemaskan. Wajah-wajah kecil yang ceria itulah yang membuat sore hari di Singapura terasa lebih hangat dari biasanya.

Di sela aktivitas, saya juga berdialog dengan orang tua mereka. Banyak yang ramah, bahkan penasaran dengan kami sebagai mahasiswa dari Indonesia. Saya memperkenalkan diri, menyebut asal dari Banda Aceh, dan mereka menyambut dengan hangat. Beberapa dari mereka bahkan mendoakan semoga kami sukses melanjutkan pendidikan. Sekecil apa pun percakapan tersebut, bagi saya, hal itu berarti membangun jembatan antarmanusia.

Kegiatan Raikan Ilmu ini bukan semata program hiburan. Ia membawa pesan kuat tentang bagaimana komunitas muslim minoritas di Singapura menanamkan nilai pendidikan sejak dini dengan cara yang ramah, hangat, dan dekat dengan keseharian. Tidak ada sekat, tidak ada perasaan canggung antara ‘volunteer’ lokal maupun asing, antara anak-anak dari berbagai latar belakang. Semua larut dalam kegiatan yang sederhana, tapi bermakna ini.

Selain membantu kegiatan, kami juga sekaligus mempelajari bagaimana Mendaki Singapura mengelola program-program edukasi komunitas secara profesional, mulai dari persiapan kegiatan, keterlibatan sukarelawan, hingga penyusunan materi yang relevan dan menarik bagi anak-anak.

Sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di UIN Ar-Raniry Banda Aceh, saya merasakan keterkaitan kuat antara kegiatan ini dengan bidang yang saya pelajari. Pengalaman ini mengingatkan saya bahwa mengajarkan bahasa tidak hanya tentang menyampaikan materi akademik, tetapi juga tentang membangun komunikasi positif, memotivasi anak, dan menciptakan suasana belajar yang ramah serta menyenangkan.

Berinteraksi dengan anak-anak dari latar belakang budaya yang berbeda juga melatih saya bagaimana menggunakan bahasa Inggris secara lebih natural, sederhana, dan kontekstual dalam suasana informal.

Melalui interaksi dengan anak-anak ini, saya belajar bagaimana menggunakan bahasa Inggris secara kontekstual dan sederhana, sesuai usia dan kebutuhan mereka. Percakapan ringan seperti menanyakan hobi, warna favorit, hingga cita-cita mereka, melatih saya untuk lebih peka dalam membangun relasi interpersonal dengan anak-anak. Ini adalah keterampilan penting bagi calon pendidik bahasa seperti saya.

Salah satu momen yang paling saya ingat adalah ketika seorang anak bernama Muhaimin, (3 tahun), sangat antusias saat saya ajak bermain. Bahkan, ia sampai menghabiskan waktu yang lama untuk bermain ‘puzzle’ bersama. Momen kecil ini memang sederhana, tetapi menunjukkan betapa pentingnya peran kita sebagai pendamping agar ikut masuk ke dunia mereka.

Kehadiran saya dan teman dalam kegiatan ini bukan sekadar mengisi waktu luang. Ini adalah bagian dari tanggung jawab moral kami sebagai mahasiswa UIN Ar-Raniry. Kami ingin membawa nama baik kampus kami, memperkenalkan bahwa mahasiswa Aceh juga bisa aktif berkontribusi di ruang-ruang sosial internasional. Tidak harus lewat panggung besar, cukup lewat interaksi kecil yang tulus dan bermanfaat.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved