Jurnalisme Warga

Cerminan Bhinneka Tunggal Ika di Cot Gapu

Keberagaman kehidupan masyarakat Desa Cot Gapu terlihat dari berbagai macam etnis, ras, serta agama penduduknya. Mereka sudah menetap sejak lama dalam

Editor: mufti
IST
M. ZUBAIR, S.H.,M.H., Aparatur Sipil Negara, pernah tinggal di Cot Gapu, Bireuen, selama 30 tahun, melaporkan dari Bireuen 

M. ZUBAIR, S.H.,M.H., Aparatur Sipil Negara, pernah tinggal di Cot Gapu, Bireuen, selama 30 tahun, melaporkan dari Bireuen

Cot Gapu adalah sebuah desa di Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen, dengan luas wilayah 13.333 hektare (ha)  dan  penduduknya berjumlah 1.540  jiwa.

Desa ini berada di pinggir jalan nasional Medan-Banda Aceh dan menjadi contoh bagi suburnya kebersamaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jarak tempuh dari Kota Bireuen ke Cot Gapu lebih kurang 3 kilometer. Di desa ini berdiri megah Kantor Pusat Pemerintahan Kabupaten Bireuen berlantai tiga serta sejumlah kantor pemerintahan instansi vertikal lainnya.

Di Cot Gapu juga ada sekolah mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas. Alumni sekolah-sekolah tersebut saat ini tersebar di seantero Indonesia dengan berbagai macam profesi.

Keberagaman kehidupan masyarakat Desa Cot Gapu terlihat dari berbagai macam etnis, ras, serta agama penduduknya. Mereka sudah menetap sejak lama dalam ikatan persaudaraan yang kuat serta hidup rukun damai seperti satu keluarga.

Cot Gapu sudah lama terkenal karena di desa ini  dulu ada pabrik korek api Puspa pada masa jayanya sekitar tahun ’70-an dan pabrik kawat  duri serta paku yang mampu menyerap puluhan tenaga kerja dari masyarakat desa bersanguktan serta  luar desa, bahkan dari luar kecamatan.

Selain itu, keberadaan sekolah menengah atas favorit,  yaitu SMA Negeri 1 Bireuen yang beriringan prestasinya dengan SMA Negeri 3 Banda Aceh menjadi incaran banyak pemuda.

Dengan  adanya sekolah favorit tersebut maka ramai siswa-siswi luar Bireuen yang bersaing untuk masuk ke sekolah itu dan tinggal di Kecamatan Kota Juang, khususnya di Cot Gapu sehingga beragam budaya masyarakat berhimpun di desa ini. Sementara di Cot Gapu juga ada satu-satunya sekolah teknik mesin (STM) pada waktu itu yang sekarang disebut sekolah menengah kejuruan (SMK). Sekolah ini menjadi sasaran anak-anak muda untuk dapat bersekolah karena alumninya siap pakai di lapangan dan mampu mandiri.

Keberagaman budaya itu sudah tercermin sejak lama di Desa  Cot Gapu yang didiami oleh penduduk asli warga Aceh dan warga Tionghoa, Jawa, Batak, Madura, Minang, dan Bugis.

Etnis-etnis tersebut sampai saat ini masih menetap dan berbaur dengan warga asli Aceh walaupun ada yang berlainan agama dan ada juga  yang muslim. Ketika saya tinggal di desa tersebut pada tahun ’70-an sudah ada warga Tionghoa yang kami panggil kelurga Pak Koa. Anak-anaknya fasih berbicara bahasa Aceh. Mereka juga ikut berbagai kegiatan kampung bersama masyarakat lainnya.

Keluarga Pak Koa sejak saya kenal memang muslim. Namun, ada juga warga Tionghoa yang beragama Kristen dan Buddha, tetapi hidup rukun di Desa Cot Bada. Bahkan, warga Indonesia keturunan ada yang diangkat menjadi aparatur desa untuk sama-sama memikirkan pembangunan desa serta kesejahteraan masyarakatnya.

Di desa ini juga dijumpai warga keturunan Ambon yang masih menganut agama Kristen dan bisa beribadah dengan tenang sesuai dengan agama yang dianutnya.

Di samping itu, di desa yang beragam corak  kehidupan masyarakatnya pernah ada bule keturunan Belanda yang dengan tenang tinggal di sini dan nyaman berkerja pada sebuah perusahaan swasta di Bireuen.

Warga keturunan luar Aceh yang berbeda agama serta ras kepada saya ketika mewanwancarai mereka untuk menulis reportase ini mengaku sangat nyaman tinggal di Cot Gapu dan tenang dalam beribadah menurut kepercayaannya. Bahkan, mereka mengaku dapat berkerja sama dengan semua masyarakat dan secara bergotong royong membangun desa.

Sangat indah melihat anak-anak muda berkulit sawo matang bergaul dengan anak-anak berkulit  putih dan mata sipit serta ada yang berkulit gelap dan berambut keriting bermain bersama dan bercakap-cakap dengan akrab tanpa ada rasa terbebani. Bahkan warga Indonesia keturunan dan  berlainan etnis, agama ikut bergotong royong membantu warga Aceh yang melaksanakan hajatan.  Bila ada warga yang meninggal maka seluruh warga juga ikut melayat tanpa terhijab oleh perbedaan suku dan agama. Sama-sama merasa duka dan ikut kehilangan serta menghibur warga yang tertimpa musibah.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved