Kupi Beungoh

Arah Baru Aceh

Ada pertanyaan menarik untuk kita ajukan paska putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pilpres 2024: apakah Aceh dapat bertumbuh lebih baik

Editor: Amirullah
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Risman Rachman, Pemerhati Politik dan Pemerintahan Aceh. 

Oleh: Risman Rachman*)

Ada pertanyaan menarik untuk kita ajukan paska putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pilpres 2024: apakah Aceh dapat bertumbuh lebih baik dalam iklim demokrasi saat ini?

Memang, pertanyaan itu terkesan sederhana. Tapi, tunggu dulu. 19 tahun lalu, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia berdamai dengan Indonesia, salah satu alasannya, karena pertimbangan iklim demokrasi Indonesia.

Pada 2005, Malik Mahmud yang pada saat itu masih sebagai Perdana Menteri GAM pernah mengurai alasan mengapa mereka tidak mudah percaya untuk berdamai dengan Indonesia. Dan itu disebut karena Indonesia belum mencapai taraf reformasi yang penuh dari hari-hari gelap Orde Baru.

Namun, ketika akhirnya pilihan berdamai diambil itu disebut oleh GAM sebagai bagian dari “sumbangan” Aceh agar Indonesia dapat menjauhkan dirinya dari hari-hari gelap Orde Baru itu.

Baca juga: Gelapkan Uang Ratusan Juta Polisi Tangkap Tersangka di Warung Kopi

Hari-hari gelap Orde Baru yang dimaksud adalah pemaksaan satu identitas tunggal di atas perbedaan yang hidup di Indonesia. Nasionalisme sempit inilah yang menghadirkan penindasan sehingga tidak memungkinkannya wujud keadilan sekaligus tidak membenarkan adanya demokrasi yang sejati.

Apapun yang dulunya dibayangkan oleh GAM yang jelas Aceh telah melewati ritme waktu yang panjang dalam menjalani masa-masa damainya. Usai periode Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, Aceh berjalan bersama Jokowi - Jusuf Kalla dan Jokowi - Ma’ruf Amin.

Jika ditimbang-timbang, Pemerintah Pusatlah yang paling beruntung dari perdamaian yang dihasilkan di Helsinki pada 2005. Sedangkan Aceh masih tetap harus berjuang dengan sabar untuk mewujudkan manfaat dari perdamaian yang dibayangkan dari apa yang disebut self-government.

Sekarang ini, seluruh tokoh kunci perdamaian Aceh dari pihak Indonesia sudah tidak lagi menjadi aktor utama di pemerintahan. SBY hanya punya pengaruh dilingkup partai, sedangkan Jusuf Kalla hanya sebagai tokoh politik nasional belaka.

Dan, dengan dinamika politik di nasional yang sudah berubah drastis dengan sendirinya Aceh tidak bisa lagi sekedar mengandalkan keseganan atau rasa hormat Pusat terhadap Aceh sebagaimana dulunya.

Apalagi saat ini pengaruh media sosial sudah sangat kuat. Berkaca pada respon publik terhadap Papua, sikap publik yang peduli pada HAM dan rasa hormat terhadap daerah sudah semakin luntur.

Baca juga: Berikut, 3 Makanan Membantu Mengobati Asam Urat, Ternyata Ada di Sekitar Kita

Itu artinya, jika dahulu narasi status Aceh masih sangat dihormati oleh banyak kalangan, sangat mungkin di era medsos ini semua narasi masa lalu akan dibakar dengan serangan-serangan yang sangat mungkin diorginisir yang akhirnya tidak lagi menjadi daya tawar sebagaimana dulunya.

Di sini lah Pilkada 2024 Aceh memainkan peran penting untuk menemukan sosok-sosok pemimpin yang tidak sekedar dipilih atas dasar sentimen melainkan wajib lebih banyak landasan argumennya.

Aceh tidak lagi butuh sosok Kepala Pemerintah Aceh yang garang seakan Pusat akan takut atau tunduk kepada kemauan Aceh, yang apabila tidak dituruti cukup digertak dengan merdeka. Bukan!

Aceh butuh sosok gubernur yang ahli strategi, bukan ahli menyerang melainkan ahli mengajak Pusat untuk bersedia membawa Aceh makin maju agar Indonesia makin lebih hebat. Bagaimana meyakinkan Pusat bahwa Aceh adalah pintu depan kemajuan Indonesia di gerbang kemajuan dunia.

Itu artinya “mata” Gubernur Aceh tidak boleh lagi melirik APBA (padum bata padum bate). Bukan, dan jika ini terjadi lagi maka masalah Aceh meuputa-puta bak sot. Jika ndak ditangkap KPK ya bertambah kaya dan bertambah istri.

“Mata” Gubernur Aceh mendatang haruslah ke APBN minimal. Selebihnya dimaksimalkan meyakinkan Presiden untuk menggaet sumberdana asing untuk ditumpahtuahkan bagi beragam investasi di Aceh.

Untuk itu, Gubernur Aceh harus berkerja keras meyakinkan rakyat agar mau naik kelas sebagai ureung Aceh, beu jeumot alias bersedia berkerja untuk mendayagunakan beragam sumberdaya alam yang dianugerahi Tuhan. Bukan sekedar “berternak” melalui proposal APBA.

Jika beragam aktivitas pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata, dan lain mengeliat otomatis Aceh akan menjadi daya tarik bagi investor. Jika tidak maka yang datang cuma para agen investor belaka.

Tapi, jika Gubernur Aceh masih minta lihat dokumen APBA lalu beri kode sebagai tanda itu proyek Gubernur maka kemajuan Aceh cuma lumpo. Maka beri contoh dan yakinkan DPRA untuk meuhabeh keu peumaju Aceh.

Jika mantong sen kiri belok kanan ka keuh meunan-meunan laju. Paleng Pilkada berebut menjadi orang dalam semata bah udep dapu limong thon itu pun jika hana terjadi “kudeta.”

Dari Putusan MK dengan tiga hakim berbeda pendapat maka otomatis suasana demokrasi Indonesia sudah sangat berbeda.

Pengaruh Pusat dengan kekuasaannya akan menjadi kunci perjalanan Indonesia ke depan. Pola kepemimpinan Jokowi yang cukup efektif menjaga ritme kekuasaan sudah pasti akan dipakai dan sangat mungkin akan ditambah dengan formula baru.

Dengan begitu, pengaruh provinsi semakin melemah kecuali cukup pandai dan cerdik dalam menjaga kemauan Pusat.

Itu artinya, Aceh harus ekstra ordinary dalam usaha membangun hubungan dengan Pusat, dan formula gertak sebagaimana yang kerap dimainkan oleh Aceh sudah tidak laku lagi.

 

*) PENULIS adalah Pemerhati Politik dan Pemerintahan.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved