Berita Aceh Besar

Wamen Kominfo Nezar Patria Melepas Rindu dengan Guru Ngaji

Dia dulu adalah legenda kecil di kota saya, Banda Aceh, yang berjarak dua puluh kilometer dari wilayah Teungku Din, di Lambaro, Kabupaten Aceh Besar.

Editor: mufti
IST
CIUM TANGAN - Wamen Kominfo Nezar Patria mencium tangan sang guru ngaji masa kecilnya di Desa Lanceu Lambaro Aceh Besar, pekan lalu. Teungku Din “Kupiah Panyang” pada masa muda (insert). 

Membuai kerinduan yang selalu dikenang tentang guru ngajinya pada masa kecil, Wamen Kominfo Nezar Patria pekan lalu meneruskan jelajahnya mencari guru ngajinya yang seperti menghilang darinya sejak puluhan tahun yang lalu.

Begitulah, Jumat  pekan lalu, Nezar Patria bertemu dengan sang "guree" yang pernah mengajarkannya membaca kitab kuning. Pertemuan mengharukan itu terjadi di kawasan Dayah Daruzzahidin, Desa Lamceu, Lambaro Aceh Besar. Berikut catatan Nezar Patria yang ditulisnya sendiri:

Setelah lebih dari dua dekade berupaya mencari jejaknya, akhirnya saya berjumpa dengan Teungku Din “Kupiah Panyang”, pada Jumat pagi di Dayah Daruzzahidin, Lamceu, Aceh Besar. Dia dulu adalah legenda kecil di kota saya, Banda Aceh, yang berjarak dua puluh kilometer dari wilayah Teungku Din, di Lambaro, Kabupaten Aceh Besar.

Nama aslinya adalah Syarifuddin Anzib, dipanggil sebagai Teungku Din. “Kupiah Panyang” atau “peci tinggi” adalah sebutan warga kepadanya. Dia memang suka memakai peci yang tingginya melebihi peci biasa. Berkeliling dari kampung ke kampung dengan sepeda ontel dan sebuah tas kulit cokelat lusuh berisi kitab-kitab klasik, Teungku Din adalah guru yang militan. Banyak warga kota dulu pernah melihat sosoknya muncul di jalan-jalan dengan mengayuh sepeda dengan gesit dan melesat di antara mobil dan motor di jalan raya. Dia begitu piawai, dan sepeda itu seperti sudah menjadi bagian tubuhnya ketika meliuk-liuk di jalan, menerobos lalu lintas, dan mengayuh sepeda puluhan kilometer setiap harinya.

Saya belajar mengaji kepadanya sejak kecil hingga remaja, dan Teungku Din jarang terlambat sampai di rumah kami setiap habis Zuhur, dua kali dalam sepekan, baik siang terik dan maupun hujan. Pertama kali saya mengenalnya saat saya kelas lima SD, ketika ayah membawanya ke rumah, dan mengatakan kepada kami bahwa mulai hari itu akan ada pelajaran mengaji sebagai pelajaran tambahan dari madrasah dekat rumah. Pelajaran di rumah itu akan diasuh oleh Teungku Din.

Pada saat melihatnya, saya langsung terkesan dengan pecinya yang tinggi, mirip tarbus lelaki Turki. Dia selalu berkain sarung dan berkemeja putih. Di bagian bawah sarung, mata kakinya terlihat jelas seperti gundukan keras dengan jari-jari kaki kekar mencengkeram di atas sandal kulit. Dia selalu datang setelah kami makan siang, dan ibu atau kakak biasanya menghidangkannya makanan. Saya menemaninya makan dan melihat cara makannya yang unik: mengambil nasi sesendok saja, menyiramnya dengan kuah dan lauk, lalu menyantapnya pelan-pelan. Lalu dia mengulangi adegan itu berkali-kali, sedikit demi sedikit. Saya bertanya mengapa makan dengan cara demikian, Teungku Din menjawab: agar makanan yang diambil habis dimakan, dan tak bersisa di piring.

Saya paling bersemangat jika Teungku Din menyuruh saya untuk memulai pengajian dengan membaca doa pembuka, saya membaca dengan keras “taqabalallahu minal waminkum ..”, lalu adik-adik saya akan mengikuti dengan bacaan: “minal wa minkum taqabalallah… Kalamun qadimun la yumalu sama’ uhu. Tanazzaha ’an qaulin wa fi’lin, wa niyyati, wa niyyati …”

Teungku Din akan mengulanginya dengan suara merdu, dan itu pengalaman pertama saya menikmati irama salawat kalamun qadimun, permainan bunyi dalam bahasa Arab yang mengesankan, dan sekaligus menenangkan. Kelak saya menyadari itu mungkin alasan ayah meminta Teungku Din mengajari kami mengaji: dia rupanya seorang qari, pelantun ayat Alquran, salah satu yang terbaik di kota kami.

Banda Aceh di pertengahan 80-an adalah kota yang sedang bertumbuh. Para pendatang dari luar Aceh Besar menduduki kampung-kampung di pinggir kota yang masih lapang, dan sekolah-sekolah dasar modern berdiri sesuai program “SD Inpres”. Sekolah umum menengah tingkat pertama dan atas dibangun di banyak tempat mengimbangi sekolah agama.

Para orang tua di Banda Aceh mengajarkan anak-anaknya berbahasa Indonesia di rumah agar mereka tak tertinggal dan gampang menyerap pelajaran di sekolah umum. Belakangan saya berpikir itu adalah bagian dari derap modernisasi yang diterapkan orde baru. Pesawat televisi mulai merata di perkotaan namun masih langka di desa, dan bahasa Indonesia gaya Jakarta sudah mulai merebak. Ketegangan kecil kadang terjadi, semacam ketakutan hilangnya bahasa lokal dan juga keterampilan anak-anak membaca Alquran. Lalu sejumlah keluarga di perkotaan meminta para “teungku” muda yang berasal dari dayah (pesantren) terdekat memberi pelajaran tambahan membaca Alquran bagi anak-anak di rumah.

Teungku Din hadir pada saat permintaan itu merebak. Dia adalah lulusan Dayah Ulee Titi Lambaro, Aceh Besar.  Teungku Din memberikan pelayanan itu sebagai pelengkap sisi tradisional dari munculnya hal-hal yang modern. Sejak mampu membaca huruf arab jawi, saya pernah rajin membeli kitab-kitab klasik, termasuk kitab tentang berbagai masalah dari mengenal musim dan cuaca sampai dengan obat-obatan. Ketika SMA, saya menikmati pergumulan pengetahuan klasik itu bersanding dengan pelajaran pengetahuan umum dan sains di sekolah.

Teungku Din adalah guru yang bergaya skolastik. Dia mengajarkan kami dengan cara menirunya membaca. Dia mengajarkan kami menghargai waktu dan mengisinya dengan hal-hal bermanfaat. Sosoknya khas, berbadan tegap dengan wajah dan rahang yang keras serta mata yang tajam. Tapi saya tahu dia berhati lembut meski dia tak banyak bicara.

Pernah suatu kali saya tertidur karena siang hari itu hujan turun lebat, dan saya mengira kelas mengaji kami hari itu batal. Saya terlelap di bilik rumah tempat kami biasa mengaji, dan sayup saya mendengar seseorang dengan suara merdu mengucapkan salam sambil memijit pelan jempol kaki saya, pelan dan begitu sabar dengan suara setengah berbisik: “Assalamualaikum …”, berulang-ulang sampai saya terjaga dan langsung bangkit begitu tahu itu adalah Teungku Din. Lalu kami mulai pengajian rutin itu, pekan demi pekan, sampai tahun demi tahun.

Saya tak lagi mengaji dengan Teungku Din saat memutuskan pergi berkuliah ke Yogyakarta. Pada suatu hari, di tahun awal 90-an, tiba-tiba Teungku Din justru muncul di depan kos saya di Gayamsari, Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Saya tentu saja terkejut bagaimana mungkin beliau tahu kos-kosan saya. Dia berdiri di depan saya dengan senyum kecil, dan tentu saja saya mengundangnya masuk, menggelar tikar dan menyuguhkannya makan siang. Kami makan nasi rames, dan Teungku Din mengatakan dia ikut kontingen Aceh untuk MTQ di Yogyakarta. Dia tahu alamat saya dari ayah. Diam-diam saya takjub. Teungku Din jarang ke luar kota, apalagi antar pulau, dan dia dengan tenang muncul di depan kamar kos saya: dengan peci tingginya, sarung dua pertiga kaki, dan sandal kulit.

Setelah itu kami lama sekali tak berjumpa. Lama sekali, lebih dari dua puluh tahun, sampai saya sendiri nyaris lupa nama dayah tempatnya berasal. Ingatan tentang Teungku Din melintas jika saya mendengar salawat “kalamun qadimun”, atau sedang mencoba membaca tulisan berhuruf arab jawi. Saya berterima kasih kepadanya telah memberi saya sedikit pengetahuan tentang bacaan para santri itu. Sejak bertahun-tahun lalu entah mengapa saya teringat Teungku Din dan berniat melacak keberadaannya. Sejumlah rekan mengaku masih melihatnya di jalan di sekitar pasar dekat Krueng Aceh, naik sepeda dengan peci yang tinggi, sekitar sepuluh tahun lalu.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved