Berita Aceh Besar

Wamen Kominfo Nezar Patria Melepas Rindu dengan Guru Ngaji

Dia dulu adalah legenda kecil di kota saya, Banda Aceh, yang berjarak dua puluh kilometer dari wilayah Teungku Din, di Lambaro, Kabupaten Aceh Besar.

Editor: mufti
IST
CIUM TANGAN - Wamen Kominfo Nezar Patria mencium tangan sang guru ngaji masa kecilnya di Desa Lanceu Lambaro Aceh Besar, pekan lalu. Teungku Din “Kupiah Panyang” pada masa muda (insert). 

Setelah itu jejaknya seperti menghilang di kota Banda Aceh. Lewat seorang sahabat, Dr Abdul Razak atau Abi Razak, pemimpin Dayah Daruzzahidin, Aceh Besar, saya menanyakan apakah mengenal seorang guru ngaji bernama Teungku Din, dengan ciri suka bersepeda dengan peci tinggi di sekitar Lambaro, Aceh Besar. Abi Razak mengatakan akan mencoba melacaknya. Beberapa waktu kemudian dia mengirimkan saya sebuah foto, dan saya terkesiap melihat foto lelaki itu: Dia adalah Teungku Din.

“Kami memanggil beliau Abu Din. Beliau orangnya unik. Tidak banyak bicara, tidak suka keramaian. Jarang datang kalau ada yang hajatan perkawinan, namun pasti hadir tanpa diundang ke rumah warga yang anggota keluarganya tertimpa musibah, sakit atau meninggal. Dia pasti mengaji di sana tanpa diminta. Lalu Abu Din akan menghilang setelah tugasnya selesai,” kata Abi Razak.

Saya lalu meminta bantuan Abi Razak, jika kelak saya ke Banda Aceh akan mampir ke dayah untuk menengok beliau. Setelah pelacakan ke sana-kemari, akhirnya Teungku Din berhasil “ditemukan” dan kabar itu disampaikan Abi Razak ke saya. “Kami warga setempat mengenalnya sebagai guru yang punya ‘kemuliaan’ sendiri. Hidupnya sangat sederhana,” kata Abi Razak menjelaskan kepada saya sehari sebelum kami membuat janji pertemuan itu.

Hari Jumat pagi tadi saya bertemu dengan Teungku Din. Dia tak menunggu di dalam kantor pesantren (dayah), melainkan di bawah sebuah pohon di pekarangan. Saya menghampirinya, memyalami dan mencium tangannya selayaknya seorang murid kepada gurunya. Teungku Din kini sudah menua, badannya jauh lebih kurus, giginya mulai rompal, dan kemejanya tampak longgar. Beberapa bagian pakaiannya bolong, dan dia tetap seperti dulu memakai sarung. Tidak ada lagi peci hitam tinggi, dia hanya memakai peci putih. Tidak ada lagi sepeda, tapi dia memakai sebuah motor tua, sangat tua.

“Masih mengingat saya, Abu?,” saya bertanya dalam bahasa Aceh setelah menyalaminya. 

“Ingat, dulu kamu pergi untuk kuliah di Universitas Gadjah Mada, dan pernah tinggal di Kampung Mulia”, kata Abu Din. Dia lalu berhenti sejenak, mulutnya seperti berbisik membaca doa. Saya tak begitu jelas mendengarnya, tapi Abu Din menatap mata saya. Saya merasa mata saya mulai basah, terharu melihat seorang guru yang sangat sederhana dengan baju putihnya yang lusuh, mulai menguning, dan benangnya tampak lepas di sana-sini. Dalam waktu yang sempit itu pun, saya masih dapat merasakan ketulusannya. 

Teungku Din pamit. Saya menyalami istrinya, Umi Din, yang setengah menangis mengatakan terima kasih telah menengok Teungku Din. Saya melihat Teungku Din agak kepayahan menyalakan mesin motor tua itu, tapi dia melarang saya membantunya. “Sudah, tidak apa-apa. Saya bisa,” kata Teungku Din dalam bahasa Aceh. Motor itu memang akhirnya menyala. Lalu kedua suami istri itu pun menghilang dari hadapan saya. Tadi pagi saya seperti mimpi dapat bertemu kembali dengan Teungku Din. Alhamdulillah.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved