Jurnalisme Warga
Guha Ek Luntie, Laboratorium Alam Tsunami Aceh
Penelitian oleh para ahli paleotsunami dan geofisika mengungkapkan bahwa gua ini menyimpan jejak sejarah panjang tentang bencana tsunami di Aceh.
FAISAL, S.T., Kepala SMKN 1 Julok dan Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Daerah Aceh Timur, melaporkan dar Lhoong, Aceh Besar
PETUALANGAN kali ini mengantarkan kami ke sebuah tempat yang tersembunyi, tetapi sarat akan muatan sejarah: Guha Ek Luntie. Gua ini terletak di kecamatan Lhoong, Aceh Besar.
Cuaca yang cerah dan hangat mempersembahkan keindahan Samudra Hindia di depan mata, sementara gemuruh ombak menjadi latar musik alami Aceh Besar, kabupaten terluas di Aceh.
Kami, rombongan kecil yang beranggotakan empat orang, meliputi seorang Kepala Bidang dari Dinas Pendidikan Aceh beserta anaknya, serta Kepala SMA Negeri 1 Matangkuli.
Meski kami semua merupakan penduduk asli Aceh, menjelajahi Guha Ek Luntie merupakan pengalaman yang baru bagi kami. Kesempatan ini kami gunakan dengan penuh semangat, bermodalkan topi untuk melindungi diri dari sinar matahari dan air minum yang cukup selama dalam perjalanan.
Perjalanan kami tidak begitu jauh dari jalan nasional Banda Aceh-Meulaboh, hanya sekitar 50 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh. Sampai di pesisir Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, kami menemukan gua yang kami tuju: Guha Ek Luntie. Nama gua ini berasal dari bahasa Aceh yang berarti gua tahi kelelawar atau gua tempat kelelawar bersarang.
Konon, kotoran kelelawar yang berceceran di dalam gua ini sering dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman (guano) oleh masyarakat setempat.
Guha Ek Luntie bukan hanya tempat kelelawar atau kalong berteduh. Di dalamnya tersembunyi misteri tentang bencana alam yang telah melanda Aceh berabad-abad lamanya, terutama tsunami yang terakhir terjadi pada tahun 2004.
Penelitian oleh para ahli paleotsunami dan geofisika mengungkapkan bahwa gua ini menyimpan jejak sejarah panjang tentang bencana tsunami di Aceh.
Lapisan-lapisan tanah dan endapan lumpur di dalam gua memberikan bukti kuat akan keberadaan tsunami di masa lampau, sejak 7.400 tahun silam.
Informasi mengenai Guha Ek Luntie membawa pada pemahaman yang lebih dalam tentang sejarah alam dan potensi risiko bencana di wilayah ini. Sebagai warga Aceh, merasa penting untuk terus memperjuangkan pelestarian tempat bersejarah ini serta meningkatkan kesadaran akan bahaya bencana yang mungkin terjadi di masa depan.
Tsunami purba
Dari laboratorium alam yang tersembunyi di ‘Guha Ek Luntie, datang bukti yang mengungkapkan sejarah panjang tentang bencana alam yang telah melanda wilayah ini selama ribuan tahun lalu.
Para peneliti dari berbagai universitas di Singapura, Amerika Serikat, Australia, dan Aceh bekerja sama dalam upaya memahami jejak tsunami di gua ini.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 mengungkapkan bahwa sebelum tragedi tsunami tahun 2004, Aceh telah dilanda tsunami berulang kali dalam rentang waktu yang sangat panjang, mulai dari 7.400 hingga 2.900 tahun yang lalu.
Para peneliti menemukan sebelas lapisan pasir laut bekas tsunami purba yang selang-seling dengan lapisan guano (kotoran kelelawar) di dasar gua, mirip lapis legit, yang menunjukkan bahwa bencana tersebut telah menjadi bagian dari sejarah alam Aceh.
Lapisan-lapisan pasir laut plus cangkang kerang dan patahan terumbu karang di dasar gua tersebut, kini diawetkan dan dipajang di lobi Gedung Pascasarjana Kebencanaan Universitas Syiah Kuala. Ini menjadi bukti visual yang memukau tentang kedahsyatan tsunami di masa lalu. Dengan perbedaan warna dan ketebalan lapisan pasir, setiap lapisan menceritakan kisah yang berbeda tentang kekuatan alam yang mengguncang Aceh berabad-abad lalu.
Tentu saja, penemuan ini bukan hanya sekadar informasi historis. Ini adalah panggilan penting untuk meningkatkan kesadaran akan risiko bencana di Aceh. Rentetan kejadian tsunami yang terjadi dalam rentang waktu yang bervariasi, mulai dari 50 hingga 100 tahun, serta catatan lokal tentang gelombang besar, seperti ‘smong’, ‘ie beuna’, ‘gloro’, dan ‘alon buluek’, menjadi pengingat akan potensi bahaya yang selalu mengintai.
Meskipun tidak dapat diprediksi kapan bencana akan terjadi, pemahaman akan sejarah dan pola kejadian tsunami dapat membantu masyarakat dan pemerintah dalam mempersiapkan diri dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam tidak terduga ini.
Museum alami
Guha Ek Luntie, sebuah mosaik alam di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, telah menjadi magnet perhatian para ahli sejak penelitian pertama pada tahun 2007. Lokasinya yang dekat dengan jalan nasional Banda Aceh-Meulaboh memudahkan akses bagi para peneliti. Gua ini telah diakui sebagai sumber pengetahuan berharga mengungkapkan warisan alam dan sejarah yang tersimpan di dalamnya.
Potensi Guha Ek Luntie’ sebagai museum alam (geopark) telah menarik perhatian para pakar kebencanaan. Mereka mengusulkan konversi gua ini menjadi objek wisata kebencanaan yang unik, di mana pengunjung dapat belajar tentang geologi, sejarah gempa, dan tsunami Aceh.
Namun, upaya pelestarian gua ini tidak dapat dilakukan secara terpisah dari partisipasi aktif masyarakat lokal. Kolaborasi antara pemerintah daerah, lembaga riset, dan komunitas masyarakat menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga kelestarian gua ini.
Memanfaatkan Guha Ek Luntie sebagai museum alam, pengetahuan tentang sejarah kebencanaan dapat disampaikan secara lebih efektif kepada publik, sehingga meningkatkan kesadaran akan potensi bencana dan upaya mitigasi yang diperlukan.
Guha Ek Luntie bukan hanya menjadi objek wisata alam yang menakjubkan, melainkan juga menjadi pusat pengetahuan dan peringatan akan kekuatan alam yang tidak terduga. Melalui upaya pelestarian dan pemanfaatan gua ini sebagai museum alam, kita dapat belajar dari masa lalu untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan masa depan yang lebih sigap.
Geopark
Guha Ek Luntie, telah menjadi sorotan para peneliti dan pakar kebencanaan sejak lama. Dalam upaya melindungi dan mempromosikan kekayaan alam dan sejarahnya, pemerintah Provinsi Aceh dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyatakan akan menetapkannya sebagai ‘geopark’.
Keputusan untuk menjadikan Guha Ek Luntie sebagai ‘geopark’ merupakan langkah yang sangat penting dalam menghargai dan melindungi warisan alam yang ada. Tanah di depan mulut gua telah dibebaskan, menandakan komitmen serius untuk melestarikan tempat ini.
Para peneliti dan pakar kebencanaan berharap bahwa dengan menjadi ‘geopark’, Guha Ek Luntie akan menjadi pusat pembelajaran yang penting dalam memahami sejarah gempa Aceh dan tsunami yang mengikutinya. Melalui pemahaman ini, diharapkan kesadaran akan potensi bencana dan upaya mitigasi yang diperlukan dapat meningkat.
Selain itu, Guha Ek Luntie juga diharapkan dapat menjadi objek wisata sejarah tsunami purba yang menarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Dengan demikian, selain melestarikan warisan alam, juga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat.
Namun, untuk menjaga kelestarian gua ini, pemerintah harus melakukan penjagaan dengan ketat. Pengawasan yang ketat diperlukan agar tidak ada properti gua yang rusak, sehingga keindahan alam dan sejarahnya tetap terjaga untuk dinikmati oleh generasi mendatang. Cerita tentang tsunami juga diharapkan akan selalu mengisi ruang ingatan anak cucu kita.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.