Citizen Reporter
ISAD Selenggarakan Simposium Bahas Jalan Keluar Ragam Persoalan Dakwah di Aceh Masa Kini
Aceh dulunya dianggap sebagai mercusuar dalam pergerakan dakwah Islam di kawasan Asia Tenggara. Tapi peran itu dewasa ini dianggap kian melemah.
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Ikatan Sarjana Alumni Dayah Aceh (ISAD) bekerjasama dengan Majelis Tastafi Banda Aceh dan Himpunan Pengusaha Santri Indonesia (HIPSI) Aceh menyelenggarakan simposium untuk membahas perkembangan dakwah di Aceh sejak masa lalu, saat ini dan hingga format dakwah masa depan.
Simposium yang dirangkai dengan Halal bi halal ini mengambil tema “Dakwah di Aceh: Sekarang, Masa Lalu dan Masa Depan” dan berlangsung pada Sabtu (4/5/2024) malam di Kriyad Muraya Hotel Banda Aceh.
Hadir dalam Simposium ini sejumlah narasumber dari kalangan akademisi perguruan tinggi, aktivis ormas Islam, ulama dayah dan 150 peserta lainnya dari berbagai organisasi Islam, kepemudaan dan kalangan santri serta Teungku dayah.
Para narasumber yaitu Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Prof. Dr. Muhibuthabary, M.Ag.
Guru Besar UIN Ar-Raniry Prof. Dr. Syamsul Rijal, M.Ag, Pengusaha Muda Aceh Muhammad Balia serta da’i Kondang Aceh Ustaz Masrul Aidi, Lc dan Tgk. H. Umar Rafsanjani selaku Ketua Majes Tastafi Banda Aceh.
Dalam simposium yang dimoderatori oleh da’i kondang Aceh Tgk Akmal Abzal ini, dibahas persoalan dakwah di Aceh masa kini yang dianggap ekspansinya tidak berjalan maksimal dan kemudian dibahas jalan keluarnya.
Sebab, Aceh dulunya dianggap sebagai mercusuar dalam pergerakan dakwah Islam di kawasan Asia Tenggara. Tapi peran itu dewasa ini dianggap kian melemah.
Salah satu narasumber, Muhammad Balia dalam ulasannya mengatakan, agar para pendakwah/penceramah di Aceh bisa go Nasional dan go Internasional, dia mengusulkan agar perlunya penguatan tim multimedia yang mendampingi para pendakwah di Aceh, merekam ceramah2 mereka dan mempublikasikannya serta pengelolaan media sosialnya.
Menurut Muhammad Balia yang bertahun-tahun terlibat dlm penyelenggaraan berbagai even dakwah di Aceh, dua syarat utama yang mutlak dibutuhkan pendakwah kontemporer untuk semakin eksis adalah Penataan Medsosnya agar ramai pengikut, dan publikasi video-video ceramah atau pengajiannya agar bisa tersebar secara massif di semua platform media sosial.
“Seleksi sebuah ceramah pada level kegiatan pemerintah agak “sulit” untuk disetujui sembarangan da’i. Ini mempengaruhi setiap event kegiatan di Aceh,”
“Maka mestinya tim dakwah aja, berkembang dengan tim sukses dalam multimedia. Tim dayah yang berkomentar positif dan menjadi tim creator untuk membranding ulama-ulama aceh. Ada tim kreatif untuk pengembangan dakwah islam sebagai sarana penyebaran agama Islam, “ ujar Muhammad Balia memberi saran.
Sebelumnya, di awal pertemuan, narasumber lainnya, Wakil Ketua MPU Aceh yang juga Guru Besar UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Muhibuththabary, M.Ag dalam ulasannya mengapresiasi gerakan dakwah oleh dikembangkan oleh ISAD sejauh ini.
Perkembangan dakwah yang dimotori oleh ISAD sangat penting untuk mendapatkan dukungan oleh semua pihak. Inilah peran dakwah dalam menyebarkan islam. MPU telah menstimulus berbagai tugas dan peran dalam menyampaikan dakwah Islam yang “ta’muruuna bilmakruf watanhauna ‘anil mungkar”.
Hal ini didasari dengan landasan perubahan kultur yang terus berulang dalam setiap seratus tahun sekali.
Maka dalam inilah yang dilihat oleh MPU untuk mewarisi peran dakwah Islam, yang mampu merespon perkembangan dimasa depan untuk menyebarkan Islam. Oleh karena itulah perlu ada kolaborasi secara baik dan terkoordinasi. Dakwah tak boleh terhenti oleh apapun, “ ujar Prof. Muhibuthabary.
Dakwah Aceh Perlu Beradaptasi
Selain itu, Guru Besar UIN Ar-Raniry lainnya, Prof. Dr. Syamsul Rijal, M.Ag dalam ulasannya menyampaikan bahwa dalam perspektif masa lalu, sebenarnya Aceh adalah gerbong/penggerak penyebaran dakwah Islam di Nusantara dimana hal itu tercermin dari 9 wali songo di Jawa itu, 6 di antaranya memiliki garis dakwah yang berasal dari Aceh.
Kata Prof, Syamsul, begitu juga di era awal kemerdekaan yang digerakkan oleh Abuya muda Wali, Mudi Mesra dan Dayah di Aceh yang secara khusus memproduksikan banyak ulama pendakwah.
“Kedepan Aceh mesti beradabtasi kembali dengan peran dakwah dalam tantangan kemanusiaan dalam berinteraksi dengan dunia luar. Hal ini telah memiliki kultur yang diawali pascatsunami yang mempengaruhi kultur budaya Aceh modern saat ini,"
"Maka ke depan transpormasi dakwah islam harus masuk ke seluruh tatanan kehidupan, berupa Pendidikan, ekonomi, budaya, politik dan sosial. Maka dunia Pendidikan islam itu diawali semenjak kandungan, karena masa paling awal yng dulu diajarakan dalam peradaban di Aceh dalam ayunan.
Sementara itu, Ketua Majelis Tastafi Banda Aceh, Tgk. H. Umar Rafasanjani, Lc. MA menyampaikan bahwa di masa lalu dakwah di Aceh bergerak secara massif sehingga masyarakat Aceh begitu bangga dengan keislamannya dan siap mati dalam membela Islam.
Makanya, kata Tgk Umar Rafsanjani, oleh Belanda, Aceh itu dianggap memiliki sifat “superiroty complek”, perasaan menganggap dirinya sebagai bangsa terbaik, atau dalam Alquran disebut dengan “Khairu Ummah”.
Hal ini, sebut Tgk. Umar, membuat perlawannya Aceh terhadap penjajah itu senantiasa bergelora dahsyat dimana orang Aceh siap mati demi hidup dalam kemuliaan Islam.
Kendala Utama Pendakwah Aceh adalah Soal Bahasa
Sementara itu, Pendakwah terkenal Aceh Ust. Masrul Aidi, Lc yang juga menjadi salah satu narasumber dalam ulasan panjangnya mengatakan bahwa kendala utama para pendakwah di Aceh adalah soal bahasa.
Ustaz Masrul Aidi dalam ulasannya banyak mengisahkan tentang perjalanan hidupnya sebagai pendakwah yang dimulai sejak beliau belajar di Dayah BUDI Lamno.
Ustaz Madrul mengatakan dirinya mulai belajar menjadi pendakwah sudah kami mulai semenjak Aliyah di usia muda, dengan kebiasaan memberikan ceramah.
Dimasa itu ia masih saat belajar di Bekasi sudah diberikan kesempatan untuk berceramah karena di mimbar saat itu di Bekasi.
Dalam kesempatan itu saya saya memahami bahwa menjadi pendakwah seolah-olah telah dapat berdiri di mimbar untuk berceramah dengan dengan lucu dan guyonan.
Namun ketika saya di Mesir hampir tidak ada yang berceramah dengan gaya-gaya yang lucu. Sejak dari itu adalah memiliki kelebihan khusus dengan Bahasa awam dan maraji’ (referensi).
“Sepulang dari Mesir saya membagikan cerita dengan guru-guru di Aceh seperti Abu Daud Zamzami dan Abu Nasir Wali., mendapatkan tantangan dakwah, karena adanya terjadi pergeseran karena ada “lokasir” yang berkotak-kotak dengan keadaan dakwah dengan bahasa yang lucu yang menjadi polarisasi,” ujar Ustaz Masrul Aidi.
Ustaz Masrul Aidi melanjutnya, “Namun ada dakwah yang tidak sebatas lucu-lucu, namun juga ada materi. Namun ada focus materi dan lucu. Maka dalam posisi seperti ini, kalau kedepan kita perlu memperhatikan persoalan kerakyatan yang harus tercapai dengan baik.
Adanya kebutuhan melayani kegiatan sosial, dan kepedulian untuk memberikan pembiayan Pendidikan bagi anak yatim. Sisi lain, menurut Ustaz Masrul Aidi, kita saat ini telah mengajarkan Bahasa.
Baik Bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia. Persolan kita ada tantangan pada faktor kelemahan berbahasa yang tereduksi dalam budaya kita hari ini. Ada hal yang perlu kita perbaiki untuk menata kembali.
“Kita bukan lemah dibidang materi, namun kita lemah dari bidang penguasaan Bahasa. Dulu orang jawa belajar ke Aceh, sekarang aceh belajar ke jawa? Kita saat ini dakwah bilhal, bukan hanya dakwah bikalam”. Kita diajarkan berbahasa dengan Bahasa yang santun, untuk berprilaku santun, “ ujar Ustaz Masrul Aidi.
Menurut Ustaz Masrul, salah satu yang menyebabkan wahabi sukses dalam dakwahnya adalah karena sejuk dilihat oleh umat, dan mereka lemah lembut dalam berdakwah.
Disini keadaan etika yang baiklah yang membantu tersebarnya dakwah Islam dengan hanif dimasyarakat. Yang berkembang di masyarakat seolah-olah kita yang paling rame mendemo masjid, namun memakmurkan tidak.
Di akhir simposim, narasumber terakhir yang tampil adalah Tgk. H. Muhammad Yusuf A Wahab, Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh menyampaikan pemikiran filosofisnya tentang dakwah di Aceh.
Menurut ulama yang akrab dipanggil Ayah Sop Jeunieb atau Tu Sop Jeunieb ini, ada pemikiran klasik bahwa di saat kita ingin melakukan dakwah adalah maka harus kita luruskan apa tujuanya?
Menurut Ayah Sop, tujuan dakwah kita tidak lain adalah menyeru untuk menyembah Allah semata-mata sebagaimana menjadi tujuan dari dakwah Rasulullah, mewujudkan tertib kehidupan di dunia dan sukses di kehidupan akhirat.
Suksesnya dakwah adalah demi kesuksesan setelah dunia, dunia sebagai proses untuk mendapatkan kesuksesan akhirat. Bahwa berdakwah memiliki tujuan akhir untuk menuju kebaikan akhirat.
Maka secara teknikal, memerlukan perbaikan prilaku dakwah demi perbaikan akhirat. Maka itu harus linear dengan materi nya.
Dakwah itu, kata Ayah Sop, sumber materinya adalah dari Alqur’an dan hadis. Lalu dalam kegiatan public ini butuh bagaimana bentuk dakwah yang harus sesuai dengan kondisi.
Misal bagaimana dulu dakwah di zaman nabi yang kendaraan nya onta dengan kita yang berdakwah di zaman teknologi ini? Bagaimana kita menformat untuk menjaga keseimbangan materi dakwah dengan wasilah dakwah itu, pelaku dakwah, adanya pengkaderan.
“Dakwah tidak hanya even-event semata, namun bagaimana kita berdakwah secara konfrenhensif dengan menggunakan kekuasaan. Kita diberitahu oleh Rasulullah Saw bahwa kunci tegaknya dunia (dalam naungan peradaban Islam) itu ada empat, yaitu ilmunya ulama, keadilan para umara, kedermawanan orang kaya dan do’anya orang miskin.
“Maka ini tantangan Aceh adalah bagaimana kita mempromosikan Syari’at Islam di Aceh ini ke Nusantara? Dulu siapa membenturkan penerapan syariat Islam dengan “cambuk” namun melupakan pembinaan?. Adanya disfungsinya Pendidikan, dan lain sebagainya.
“Maka tugas kita itu buat dulu orang yang bersimpati kepada dakwah. Dan hal itu butuh proses. Perkenalkan kepada manusia dimana posisi strategis mereka di hadapan dakwah Islam.
Jadikan objek dakwah kita itu apakah dia itu posisinya sebagai muhibbin yaitu orang sekedar mencintai dan bersimpati kepada dakwah, dan berkutnya petakan juga orang-orang yang mau pendengar dakwah dan juga berikutnya tugas kita adalah melahirkan objek dakwah yang mau mencari pencari ilmu yang akan berujung kepada alim.
“jadi terkadang kita terjadi seolah-olah dengan berdakwah malah menjadi tidak simpati sehingga tahapan berikutnya jadi terkendala. Maka itu yang dikhawatirkan menjadi fitnah?
Maka perlu mengkaji akibat dari segala apa yang ingin dikerjakan? Misalnya dalam penggunaan media sosial? Ruang public. Jangan terbelenggu dengan dakwah eklusif. Kita berdakwah dengan segala potensinya. Jelas tujuannya untuk menyembah Allah swt,” ujar Ayah Sop Jeunieb secara retoris.
Sementara itu, di awal acara, Sekjend ISAD, Dr. Teuku Zulkhairi yang memberi sambutan mewakil ketua Panitia mengatakan, kegiatan simposium ini bagian untuk menghimpun da’I dalam menggerakkan dakwah di Aceh sehingga kita memahami kondisi dakwah saat saat kini dan bagaimana tantangannya masa depan.
“Melalui pelaksanaan simposium ini, kita berharap agar perkembangan dakwah di Aceh ini semakin maju khususnya di tengah berbagai kemunduran dalam beragama yang kita alami saat ini,"
"Berbicara Aceh sebagai provinsi yang menjalankan Syari’at Islam, maka sudah semestinya gerakan dakwah ini kita perkuat terus menerus sehingga generasi muda khususnya kita kian dekat dengan Islam,” ujar Teuku Zulkhairi. (*)
*) Penulis adalah Dr Teuku Zulkhairi, Aktivis Santri Aceh.
Saat Mahasiswi UIN Ar-Raniry Jadi Sukarelawan Literasi untuk Anak Singapura |
![]() |
---|
IKOeD Peusijuek Alumni Leting Intelegencia Generation 2025 di Pantai Lampu’uk |
![]() |
---|
Dinamika Spiritual dan Teknis dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji Modern |
![]() |
---|
Dari Aceh Menuju Makkah Ibadah Haji yang Mengajarkan Arti Keluarga |
![]() |
---|
Mengintip Geliat Industri Halal di Rusia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.