Budaya
Pemerintah Serahkan Sertifikat Warisan Budaya tak Benda untuk Rateb Berjalan
Dia menilai keputusan Kemendikbudristek menjadikan Rateb Berjalan sebagai Warisan Budaya tak Benda ini sudah tepat karena merupakan kebiasaan leluhur
Penulis: Rahmad Wiguna | Editor: Ansari Hasyim
Laporan Rahmad Wiguna I Aceh Tamiang
SERAMBINEWS.COM, KUALASIMPANG – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbusristek) menyerahkan sertifikat Warisan Budaya tak Benda (WBTB) Rateb Berjalan kepada Pemkab Aceh Tamiang.
Pemberian sertifikat ini berlangsung di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh,Rabu (15/5/24) malam.
Pj Sekda Aceh Tamiang, Tri Kurnia mengatakan Rateb Berjalan merupakan produk ketiga yang dinyatakan sebagai WBTB. Sebelumnya Aceh Tamiang sudah menerima sertifikat WBTB untuk Silat Pelintau dan Dendang Lebah.
“Pemkab Aceh Tamiang saat ini sedang mengusulkan Ketupat Tengguli dan tarian Ula Ula Lembing untuk dicatat dan disertifikasi sebagai produk Warisan Budaya tak Benda,” kata Tri Kurnia.
Pengusulan Rateb Berjalan sebagai produk Warisan Budaya Nasional dimulai sejak beberapa tahun sebelumnya. Hingga akhirnya, pada Agustus 2023, Rateb Berjalan bersama 10 produk budaya Aceh lainnya diterapkan sebagai budaya warisan nasional.
Selain sertifikat WBTB, seorang budayawan Aceh Tamiang, Muntasir Wan DIman diberi gelar Maestro Kabupaten Aceh Tamiang. Penghargaannya diserahkan langsung oleh Kepala Balai Pelestarian kebudayaan Wilayah 1 Aceh, Piet Rusdi.
Baca juga: Baru Dua Hari Razia, Satpol PP Lhokseumawe Amankan 20 ODGJ
Muntasir sendiri sebelumnya sempat menjelaskan Rateb Berjalan atau zikir berjalan ini sejatinya dilakukan masyarakat sejak lama untuk menolak segala bentuk bala, termasuk penyakit.
Konon, masyarakat zaman dulu mempercayai Rabu akhir bulan merupakan hari turunnya penyakit.
Untuk mengantisipasi turunnya bala ini, masyarakat melakukan kenduri sambil membacakan doa dan berzikir menuju sumber kehidupan.
“Kalau di hilir jalan ke arah sungai sebagai sumber kehidupan (nelayan), hulu ke arah gunung dan kalau di kota dilakukan di perempatan sawah,” jelasnya.
Muntasir mengakui dulu kegiatan ini bersentuhan dengan pelanggaran syariat karena ada proses membuang makanan. Seiring masuknya Islam ke Indonesia, kegiatan yang cenderung syirik ini dihapus dan diganti dengan makan bersama di lokasi kenduri.
“Orang tua zaman dulu ada pantangan makanan harus dihabiskan, kalau dulu mungkin dibuang ke sungai, hari ini makanan harus habis dimakan bersama di lokasi,” ujar Muntasir.
Dia menilai keputusan Kemendikbudristek menjadikan Rateb Berjalan sebagai Warisan Budaya tak Benda ini sudah tepat karena merupakan kebiasaan leluhur Aceh Tamiang.
Kebiasaan ini pun hingga kini masih dilestarikan dengan melibatkan anak-anak yang berjalan sambli melantunkan zikir.
Dia menambahkan kalau Rateb Berjalan sebuah proses memanjatkan doa kepada Allah SWT untuk terhindar dari bencana dan malapetaka yang hanya bisa dihindarkan melalui doa.
“Bala ini kan masalah takdir, hanya bisa ditolak melalui doa, bukan kendurinya yang mengusir bala, tapi doa yang dipanjatkan dalam kenduri itulah yang diharapkan bisa menolak bala,” kata Muntasir.(*)
Bupati Minta RRI Singkil Dukung Pelestarian Budaya |
![]() |
---|
MAA Usulkan Permainan Tradisional Sebagai Ekstrakurikuler Adat Budaya Melayu |
![]() |
---|
Bangga! Padang, Sumatra Barat, Jadi Destinasi Favorit Wisatawan Mancanegara |
![]() |
---|
Sosok Herman, Delegasi Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024 Asal Serambi Mekkah |
![]() |
---|
Stan Aceh Jadi Magnet Pengunjung Melayu Serumpun di Medan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.