Jurnalisme Warga
Mengapa Takengon Tak Sedingin Dulu?
Alam yang asri di sisi jalan menuju Bener Meriah dan Takengon penuh bunga, tertata rapi, ibarat taman yang terus terpelihara, dihiasi juga oleh pohon-
CHAIRUL BARIAH, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Bireuen, melaporkan dari Takengon
Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah kabupaten yang menyimpan sejuta lahan emas. Tanah yang subur, pesona alam yang menggoda, ibarat gadis belia yang terus memoles dirinya dengan berbagai ‘skin care’ agar tetap cantik terlihat sehingga setiap tamu yang datang menjadi wisatawan akan betah berlama-lama di dataran tinggi ini.
Alam yang asri di sisi jalan menuju Bener Meriah dan Takengon penuh bunga, tertata rapi, ibarat taman yang terus terpelihara, dihiasi juga oleh pohon-pohon kopi masyarakat yang terawat dengan baik.
Kopi menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, biaya sekolah anak-anak warga yang hampir sebagian besar melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di luar daerah.
Pada umumnya orang tua di Aceh Tengah memilih sekolah-sekolah favorit, pesantren, atau perguruan tinggi, dengan tujuan agar anak-anak pada saat kembali ke tanah kelahirannya akan dapat mengembangkan potensi daerahnya. Hal ini tentu didukung pula oleh meningkatnya harga kopi sebagai primadona yang dapat menjamin kelangsungan hidup masyarakat setempat.
Di sisi lain, pemerintah daerah terus berupaya mempermudah perizinan membuka usaha wisata bagi masyarakat yang memiliki lahan untuk mengembangkan sektor wisata yang menambah pemasukan daerah pada umumnya serta pendapatan masyarakat pada khususnya.
Saya dan keluaraga tidak pernah bosan mengunjungi Takengon. Kami manfaatkan libur ‘long weekend’ pekan lalu untuk berkunjung ke sini. Kali ini dengan membawa serta rombongan keluarga besar kami berwisata lagi ke kota ini. Suasananya memang berberda jauh dengan yang lain.
Pemandangan asri sepanjang perjalanan, membuat hati tenang dan damai, ditambah lagi gemericik air di pinggir jalan semakin semangat untuk cepat-cepat sampai di kota dingin Takengon.
Tepat pukul 10.00 kami tiba Desa Paya Tumpi Baru, langsung disambut oleh ama reje (kepa desa)-nya dan disuguhi secangkir kopi gayo asli panas, lengkap dengan pisang goreng. Rasanya nikmat dan mampu menghangatkan tubuh.
Desa ini pernah diterjang banjir bandang pada Januari 2020. Saat itu banyak rumah penduduk yang rusak, termasuk juga runah sang Reje. Hikmah dari kejadian itu sekarang Desa Paya Tumpi semakin berkembang dan maju, rumah-rumah penduduk yang rusak telah dibangun kembali. Bunga-bunga di sisi jalan desa sudah mekar kembali dengan tatanan yang rapi, indah dipandang mata.
Mengingat waktu liburan hanya dua hari, maka menjelang siang kami putuskan untuk mengunjungi tempat wisata di seputaran Danau Laut Tawar. Akhirnya kami pilih Kala Pedemun dengan menyewa pondok seharga Rp50.000, sebagai tempat beristirahat dan makan siang sambil menikmati indahnya alam di sisi Danau Laut Tawar.
Berada di lokasi ini terkenang satu tahun lalu kami pernah bermalam dan tidur berdesakan yang laki-laki di lantai satu dan kami kaum hawa di lantai dua. Suasana malam itu sangat dingin karena sedang musim ikan depik. Untuk menghangatkan tubuh kami membuat perapian di luar penginapan sambil membakar ikan yang kami beli dari keramba pemilik penginapan. Nostalgia yang tak akan terlupakan.
“Bunda, kami lapar,” suara keponakan saya membuyarkan lamunan dalam kenangan.
Sambil menikmati makan siang kami juga memesan makan dan minuman yang tersedia di katin Kala Pedemun. Kuliner yang ditawarkan kentang goreng, aneka mi, dan jus. Semua harganya terjangkau, tidak terlalu mahal. Masuk ke lokasi ini kendaraan juga dikenakan biaya parkir untuk roda dua Rp10.000 dan roda empat Rp20.000.
Suasana hari itu panas dan ramai pengunjungnya karena bertepatan dengan hari libur, bahkan ada kendaraan yang batal masuk karena tempat parkir sudah penuh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.