Jurnalisme Warga
Mengapa Takengon Tak Sedingin Dulu?
Alam yang asri di sisi jalan menuju Bener Meriah dan Takengon penuh bunga, tertata rapi, ibarat taman yang terus terpelihara, dihiasi juga oleh pohon-
Sebagian pengunjung membiarkan anak-anaknya bermain di tepi danau. Pada saat kami sedang bersantai kami melihat tiba-tiba ada dua anak nyaris tenggelam karena keasyikan bermain. Beruntung, orang tuanya langsung terjun ke air dan menariknya ke tepi danau.
Tidak jauh dari tempat kami ternyata pada hari yang sama ada seorang pemuda tenggelam karena terbawa arus bawah laut yang dalam, walaupun airnya tenang.
Menurut orang tua, di danau ini ada makhluk yang mencari mangsa sehingga setiap tahunnya pasti ada korban jiwa. Bahkan ada isu dari orang tua zaman bahwa di dasar danau ini masih ada bom aktif, sisa peninggalan masa penjajahan Jepang. Namun, kebenaranya perlu penelitian lebih lanjut.
Setelah puas melepas rindu dan memandang alam yang indah ditemani belaian angin laut yang sepoi-sepoi, kami bersiap-siap kembali ke Desa Paya Tumpi Baru. Sepanjang perjalanan pulang banyak kendaraan berlalu Lalang. Hal ini membuat mobil yang membawa kami harus berhati-hati karena banyak tingkungan tajam, apalagi pada tingkungan yang ada batu besar dekat Hotel Grand Renggali jalannya sempit, sangat diperkukan kesabaran dan kejelian sopir dalam menggunakan jalan. Jika salah, kendaraan akan terjun ke danau. Mungkin diperlukan peran pemerintah untuk melakukan pelebaran jalan.
Takengon, selain dikenal dengan kopi dan wisatanya, juga memiliki hasil pertanian tanaman sayur-sayuran, cabai, tomat, kentang, alpukat, terong belanda, dan markisa yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sirop. Untuk mendapatkan sayur dan buah yang segar tersedia di pasar pagi Paya Ilang, tapi sayang pada saat kami datang karena sore hari pasar sebagian sudah tutup, akhirnya kami hanya membeli cabai, tomat, dan buah-buahan saja.
Ternyata cabai yang dijual ada berbagai jenis. Menurut seorang pedagang, cabai yang agak besar dan panjang rasanya kurang pedas, tetapi yang langsing dengan ukuran sedang dapat membuat pipi merah saking pedasnya.
Suasana malam itu di Paya Tumpi Baru tidak terlalu dingin. Tawaran tuan rumah untuk membuat perapian pun kami tolak, karena yang kami rasakan berbeda dengan satu tahun lalu, badan tidak terlalu merasa dingin, bahkan kami masih mampu menikmati suasana malam tanpa mengenakan baju jaket, bangun tidur pagi pun badan berkeringat.
Saya teringat beberapa tahun lalu saat akan mengadiri pesta gegara mandi pagi-pagi tanpa air hangat, saya jatuh sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit Datu Beru untuk beberapa saat, kemudian dilanjutkan opname di rumah di bawah pengawasan seorang perawat. Setelah sembuh, barulah saya diperbolehkan pulang ke Bireuen.
Suhu udara masa itu ada yang 15 derajat Celsius, apalagi kalau naik ke Pantan Terong, bibir dan mulut jadi kaku. Saat berbicara keluar asap, kaki pun berat untuk melangkah. Butuh perlengkapan yang cukup jika ingin berada di sini.
Pagi harinya kami meninggalkan Takengon, tetapi hati masih penuh tanya ada apa dengan Takengon, mengapa tidak sedingin dulu lagi? Kami hanya menduga-duga mungkin karena banyaknya lahan tidur yang telah digunakan, hutan pinus merkusi yang telah ditebang, ataukah pergeseran perubahan cuaca, atau hanya saya yang merasakannya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.