Komoditi

Miliki 93 Ribu Ha Kebun Kakao, Aceh Berpeluang Rebut Pasar Internasional

Setelah program selesai, tak ada yang melanjutkan hingga bencana produksi terjadi akibat hama yang tak terkendali ditambah harga yang tidak berkeadila

Penulis: Rahmad Wiguna | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/Dok FKL
Senior Advisor FKL, Rudi Putra optimis mengembalikan kejayaan kakao Aceh hingga menguasai pasar internasional. 

Laporan Rahmad Wiguna I Aceh Tamiang

SERAMBINEWS.COM, KUALASIMPANG - Aceh berpotensi merebut pasar kakao internasional karena memiliki 93 ribu hektare perkebunan kakao rakyat.

Namun peluang ini akan sirna bila pekebun lebih memilih mengonversi lahannya menjadi perkebunan kelapa sawit.

Senior Advisor Forum Konservasi Leuser (FKL), Rudi Putra mengungkapkan kondisi perkebunan kako saat ini sangat kontras sekira 15 tahun lalu.

Ketika itu program pengembangan kakao masuk ke Aceh, sehingga berdampak pada produksi sangat baik.

“Kala itu kakao menjadi penghasilan penting bagi penduduk Aceh,” kata Rudi di Karangbaru, Aceh Tamiang, Sabtu (8/6/2024).

Baca juga: Harga Kakao Naik Tajam, Tapi Petani Aceh Timur Sudah Beralih Tanam Sawit, Sering Diserang Hama

Setelah program selesai, tak ada yang melanjutkan hingga bencana produksi terjadi akibat hama yang tak terkendali ditambah harga yang tidak berkeadilan bagi petani.

Penurunan produksi tidak saja terjadi di Aceh, melainkan di seluruh provinsi penghasil kakao. Akibatnya Indonesia sudah menjadi importir Kakao.

“Tak kurang 300 ribu ton diimpor dari negara-negara Afrika Barat dan Amerika Latin. Produksi di negara-negara Asia pun menurun drastis dari menguasai 13 persen dunia menjadi hanya 4,3 persen pada tahun 2022,” bebernya.

Produksi di Afrika tak bisa lagi diandalkan karena keterbatasan lahan, politik yang tak stabil serta isu-isu keberlanjutan yang sulit diterapkan.

Sedangkan di Amerika Latin memang produksi meningkat tetapi didominasi oleh perusahaan swasta yang rawan dengan isu pembukaan lahan baru.

Di sinilah peluang Aceh terbuka lebar utuk merebut pasar ini. Selain didukung lahan, kondisi politik yang cenderung stabil akan memudahkan perjuangan petani.

Untuk memaksimalkan peluang ini, secara khusus Rudi telah melihat langsung pusat perkebunan dan penelitian kako di Desa Tarengge, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Sebagai pusat produksi kakao di Indonesia, sistem perkebunan rakyat dengan mererapkan sistem multiclone telah banyak dilakukan.

“Kami melihat kebun-kebun orang kaya yang dulu tak terawat sekarang dibersihkan kembali. Sistem ini diiringi dengan pasar yang adil, di mana pengumpul membuat harga yang transparan berdasarkan harga yang ditetapkan oleh perusahaan pembeli sebagai penampung,” kata Rudi usai mengunjungi lokasi tersebut.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved