Opini
Kawasan Perdagangan Bebas Sabang, Riwayatmu Kini
Salah satu upaya penguatan daya saing perekonomian antara lain dilakukan dengan mendorong nilai kompetitif perekonomian dengan mengurangi berbagai ham
Dr Mahpud Sujai, Kepala Bidang PPA II, Kanwil Ditjen Perbendaharaan Propinsi Aceh
KONDISI perekonomian global saat ini sudah tidak mengenal lagi batas-batas negara. Globalisasi telah menghilangkan sekat-sekat batas antar negara dalam berbagai sektor kehidupan termasuk perdagangan. Kegiatan perdagangan saat ini sudah semakin meluas dan bebas dengan dipagari oleh berbagai kebijakan perdagangan internasional yang diatur oleh World Trade Organization (WTO). Salah satu kebijakan yang diambil oleh banyak negara dalam meningkatkan perdagangan antar negara adalah kebijakan perdagangan bebas.
Terwujudnya perdagangan bebas ini memiliki berbagai manfaat antara lain memicu persaingan antara negara yang satu dan yang lainnya sehingga meningkatkan produktivitas dan daya saing perekonomian. Namun ekses negatifnya adalah ketika tidak bisa meningkatkan daya saing perekonomian, maka perekonomian kita akan semakin tertinggal dan kalah bersaing dengan negara lain.
Salah satu upaya penguatan daya saing perekonomian antara lain dilakukan dengan mendorong nilai kompetitif perekonomian dengan mengurangi berbagai hambatan perdagangan seperti regulasi dan pengenaan tarif yang berdampak negatif pada daya saing nasional.
Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) merupakan salah satu upaya untuk mengurangi hambatan tersebut. Kawasan Perdagangan Bebas juga bertujuan untuk mengembangkan beberapa sektor perekonomian, mulai dari perdagangan, jasa, hingga industri manufaktur.
Kebijakan perdagangan bebas dimulai dengan pembentukan KPBPB yang diatur dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2007 Tentang Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau Free Trade Zone (FTZ). Secara khusus, KPBPB digunakan untuk menentukan area dimana bea masuk dan jenis pajak tidak langsung lain diberlakukan. Bea masuk hanya dibayarkan jika suatu barang atau hasil produksi berpindah tempat dari KPBPB ke area yang diberlakukan pabean normal.
Secara konsep, Free Trade Zone berbeda dengan Free Trade Area (FTA). FTA merupakan perjanjian timbal balik antarnegara baik bilateral maupun multilateral untuk melarang ataupun membatasi bea masuk hanya bagi para anggotanya. Sebagai contoh konsep FTA antara lain ASEAN FTA dan ASEAN plus 3 FTA.
Sementara itu, Free Trade Zone atau KPBPB merupakan zona bebas yang memungkinkan kemudahan fasilitas dan lebih sedikitnya formalitas bea cukai. KPBPB diberikan berbagai kemudahan fasilitas karena tidak termasuk dalam daerah pabean yang artinya bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), dan cukai.
Stagnan
Konsep KPBPB di Indonesia pertama kali diperkenalkan pada tahun 1963. Namun implementasi FTZ yang pertama baru dilakukan pada tahun 2000 dengan menjadikan Sabang sebagai pelabuhan bebas dan perdagangan bebas pertama di Indonesia. Kemudian disusul oleh Kawasan Batam Bintan Karimun (BBK) sebagai KPBPB kedua di Indonesia pada tahun 2007.
Letak Kawasan Sabang yang sangat strategis di ujung paling barat Indonesia membuat Kawasan Sabang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai area pelabuhan bebas terutama terkait kedekatannya dengan beberapa negara di sebelah barat Indonesia seperti India, Bangladesh, negara-negara Arab hingga Afrika dan Eropa.
Namun, setelah berjalannya implementasi kebijakan Pelabuhan bebas Sabang selama lebih dari 20 tahun, tidak terdapat pertumbuhan signifikan terhadap perekonomian di wilayah Sabang khususnya dan di Aceh umumnya. Volume perdagangan internasional malah menurun, investasi tidak bergerak positif hingga perekonomian Sabang cenderung stagnan. Berbeda dengan Kawasan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, Karimun yang melesat cepat, Kawasan Pelabuhan Bebas Sabang cenderung jalan di tempat.
Padahal, wilayah Sabang dan Aceh memiliki potensi ekonomi yang sangat menjanjikan. Wilayah Aceh merupakan wilayah dengan sumber daya primer yang cukup kaya terutama di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan yang sangat dibutuhkan negara-negara seperti India, Bangladesh, Arab hingga Afrika. Potensi seperti kelapa sawit, karet, kopi hingga ikan, udang dan lobster menjadi tidak tergarap maksimal dan belum memberikan nilai tambah positif terhadap perekonomian Aceh.
Terdapat beberapa permasalahan mendasar yang menyebabkan Kawasan Pelabuhan Bebas Sabang cenderung jalan di tempat bahkan performanya menurun. Pertama permasalahan kelembagaan yang cukup mendasar. Berbeda dengan KPBPB Batam yang berada langsung di bawah Dewan Kawasan yang berada di Pemerintah Pusat dan dipimpin oleh Menko Perekonomian dengan anggota Dewan Kawasannya berasal dari unsur-unsur menteri terkait.
KPBPB Sabang berada di bawah Dewan Kawasan yang berada di bawah unsur Pemerintah Daerah, yaitu gubernur Aceh, bupati Aceh Besar dan wali kota Sabang. Hal ini menyebabkan KPBPB Sabang secara kelembagaan lebih sulit bergerak dan kurang terhubung dengan perekonomian nasional secara langsung.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.