Kupi Beungoh

Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029: Aceh-Jakarta, Muzakir, Van Heutz, Pusat Kekuasaan - Bagian XVI

Terakhir sebelum menjadi gubernur Aceh, Muzakir menjabat selaku direktur perusahaan daerah PT. Panca Usaha.

Editor: Firdha Ustin
YouTube Serambinews
Sosiolog dan Guru Besar USK, Prof Ahmad Humam Hamid. 

Oleh : Ahmad Humam Hamid

Ada kejadian tak biasa, ketika pada 1968 Muzakir Walad dipilih oleh pak Harto untuk menjadi gubernur Aceh.

Benar ia pensiunan TNI angkatan darat, tetapi ia bukanlah seorang Brigadir Jenderal. Muzakir hanya seorang mantan komandan polisi militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo

Kenapa pilihan untuk Muzakir menjadi Gubernur Aceh dianggap kasus yang tak biasa, tak lain karena seolah ada “protap” tak resmi tentang mayoritas dwifungsi ABRI, untuk kepala daerah, terutama gubernur kepala daerah.

Praktis tak ada gubernur dari ABRI yang tak berpangkat ,aktif atau pensiun, paling kurang Brigadir Jenderal.

Muzakir mengundurkan diri dari TNI pada tahun 1952, dengan pangkat Letnan Kolonel CPM, dan menempuh karir baru menjadi pebisnis, baik sebagai pelaku, maupun sebagai profesional.

Terakhir sebelum menjadi gubernur Aceh, Muzakir menjabat selaku direktur perusahaan daerah PT. Panca Usaha.

Kepemimpinan Muzakir di Aceh (1968-1978) adalah masa yang paling krusial untuk Aceh. Alasannya tak lain, karena Aceh yang baru damai total pada 1962, tak bertahan lama.

Baru saja damai terjadi, namun pada tahun 1965 meletus kudeta G 30S PKI.

Ribuan mayarakat korban, akibat peristiwa itu. Situasi mereda pada tahun 1968, ketika Suharto dengan resmi menjadi Presiden Republik Indonesia.

Dapatlah dibayangkan, apa tantangan besar yang dihadapi oleh Muzakir, terutama dalam menghadapi ekspektasi masyarakat Aceh dan juga presiden Suharto sekaligus ketika itu.

Muzakir yang pernah berkarir sebagai TNI, guru, dan pengusaha bekerja sangat hati-hati.

Satu kelebihan Muzakir yang sering disebut oleh banyak orang adalah rendah hati dan pembelajar. Ia tak segan memanggil para dosen USK dan IAIN untuk bertanya tentang hal-hal khusus yang ia tak ketahui.

Diantara deretan tantangan yang dihadapi oleh Muzakir Walad dalam membangun Aceh, keputusan pembangunan Kilang LNG Arun adalah salah satu yang paling menonjol.

Betapa tidak, secara tiba-tiba, ketika dimulainya masa awal konstruksi, seorang Insinyur Mobil Oil berkebangsan AS- ada yang menyebut Insinyur kontraktor pembangunan kilang, Bechtel Inc- mati dibunuh oleh orang tak dikenal di lapangan.

Peristiwa itu sangat tiba-tiba dan membuat shock perusahaan raksasa migas Mobil Oil, karena menyangkut dengan masa depan investasi mereka yang bernilai milayaran dolar.

Kegiatan konstruksi kilang terhenti beberapa waktu. Segera beredar, awalnya rumor, kemudian berita bahwa gas Arun akan diolah di Sumatra Utara, tepatnya di Pangkalan Berandan.

Jika pemerintah, pebisnis, dan masyarakat Sumatera Utara begembira dengan berita itu, tentu mereka tak salah. Bukankah itu cerita durian runtuh yang tak dinyana.

Menurut beberapa informasi, gubernur Sumut, Marah Halim ingin membentuk tim persiapan untuk menyongsong kedatangan rejeki nomplok itu.

Beberapa petinggi asal Sumatera Utara di Pertamina pusat, dan sejumlah kementerian terkait mulai terang-terangan membicarakan perlunya “penyelamatan” lumbung uang pemerintah itu.

Peristiwa itu dan mungkin akan ada lagi selanjutnya adalah ancaman gagal atau terganggunya operasi salah satu Kilang Gas terbesar di dunia pada masa itu.

Muzakir sangat terkejut mendengar berita rencana pemindahan Kilang Arun ke Pangkalan Berandan.

Ia segera memutuskan untuk bertemu dengan presiden Suharto, Bagi Muzakir, persoalan itu bukan hanya menyangkut hilangnya potensi tumbuh dan berkembangnya ekonomi lokal, tetapi juga berurusan dengan marwah dan harga diri Aceh dan rakyat Aceh.

Muzakir melihat jika hal itu terjadi, maka stempel Aceh sebagai propinsi yang tidak aman.

Bahkan untuk prosesing hasil sumber daya alam dari buminya sendiri menjadi masalah besar dan tak layak dilakukan. Kalau itu terjadi, maka semua orang, terutama masyarakat pengusaha dan investor akan tidak mau ke Aceh.

Jika kilang itu dipindahkan ke Sumatera Utara, itu juga berarti Aceh akan tak pernah bangkit dari ketertinggalannya, bahkan dapat ditarik kebelakang semenjak Belanda menyerang Aceh pada 1873. Ini adalah peristiwa tragis yang tidak dia inginkan. Ini bukan lagi persoalan biasa.

Kegagalan pembangunan kilang LNG Arun di kawasan Krueng Geukuh adalah ancaman bagi prospek pemulihan dari berbagai konflik panjang yang pernah mendera Aceh. Hal itu juga akan mengunci Aceh sebagai daerah yang sangat rentan dengan instabiliitas, dan chaos berkelanjutan.

Terhadap rencana pemindahan itu Muzakir memutuskan untuk ménemui presiden. Ia menghadap pak Harto pada pagi pertengahan Oktober 1973. Suharto menerima Muzakir di Cendana. Pertemuan itu singkat, karena Suharto akan menghadiri rapat penting Kabinet nya. Muzakir telah menyusun kata dan kalimat berhari-hari.

Suharto bertanya, “apa khabar Muzakir?”, “bagaimana Aceh”? Muzakir menjawab sopan, “alhamdulilah, baik bapak Presiden.

Lalu Muzakir menceritakan apa saja yang telah dan sedang ia kerjakan, terutama menyangkut program andalan pak Harto; BIMAS- padi PB8 dan PB 5 dua kali setahun, Puskesmas, SD Inpres, dan kemajuan penggunaan uang PMD-Pembangunan Masyarakat Desa.

Setelah kurang dari 10 menit pembicaraan mereka berdua, Muzakir mulai mencari titik masuk. Ketika pak Harto sangat senang diskusi mengenai capaian program intensifikasi padi.

Muzakir menceritakan tentang betapa keberhasilan Dinas Pertanian Aceh yang dipimpin oleh Hasbi Hamid BSA, luluşan college pertanian Universitas Los Banos, Filipina. Ketika tampak pak Harto sumringah, dia tak menghilangkan kesempatan itu.

Muzakir menceritakan kepada pak Harto tentang betapa Pemda Aceh sangat koperatif membantu Mobil Oil, termasuk langkah-langkah persiapan untuk pembangunan Kilang LNG di kawasan Balng Lancang. Tak berapa lama kemudian pak Harto mulai bicara tentang betapa pentingnya Arun untuk pundi- pundi pemasukan negara yang akan digunakan untuk pembangunan.

Muzakkir dengan sangat hati-hati mulai menyampaikan ke pak Harto tentang berita yang berkembang bahwa Kilang pengolahan LNG Arun yang sedang dalam tahap persiapan akan di pindahkan ke Pangkalan Berandan. Pak Harto menjawab dengan nada suara bahwa hal itu sedang didiskusikan antara Mobil Oil, Menteri Pertambangan, Pertamina, dan Jilco Jepang.

Pak Harto berbicara sangat serius tentang dua aspek. Pertama, tentang kepetingan nasional dalam hal penerimaan negara dari gas alam, dan logika perusahaan yang tak mau mengambil resiko dalam pengelolaan pekerjan di lapangan.

Apalagi Arun dan Kilang itu sendiri bernilai miliaran dan tentu saja seringkali logika investasi tidak selalu sangat setangkup dengan logika sosial politik. Intinya, seolah pak Harto sedang mempersiapkan mental Muzakir untuk siap menerima kenyataan Kilang Gas Arun di Blang Lancang akan dipindahkan ke Pangkalan Berandan.

Kini Muzakir memasuki tahap kritis nasib Aceh tentang lokasi Kilang LNG Blang Lancang atau Pangkalan Berandan. “Bapak Presiden” ucap Muzakir.

“Kalau seandainya bapak berkenan dań mengizinkan, sebelum keputusan akhir tentang lokasi Kilang LNG itu dibuat , saya mau bertemu dengan pimpinan Mobil Oil di Amerika Serikat”, Muzakir menukas.

Pak Harto melihat Muzakir, kemudian menunduk singkat. Lalu, ia berkata, “ boleh” silakan pergi, bicarakan baik-baik. Apapun hasilnya beritahu saya. Muzakir, sebentar menunduk, kemudian melihat ke pak Harto dengan mata syukur dan terimakasih. Ia pamit kepada Pak Harto, meninggalkan cendana dengan perasaan haru biru, senang, namun masih cukup banyak tantangan (Bersambung)

Penulis: Sosiolog dan Guru Besar USK

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved