Opini
Model Pembelajaran Berdiferensiasi
Fokus utamanya adalah pada perubahan perilaku dari peserta didik sebagai hasil dari proses belajar. Maka pendekatan belajar yang dipakai adalah scient
Khairuddin SPd MPd, Kepala Sekolah Penggerak SMA Negeri 1 Matangkuli dan Microsoft Innovative Educator Expert
DALAM masa liburan, tidak sedikit guru yang meluangkan waktunya untuk senantiasa belajar, mengembangkan diri dan mempersiapkan untuk memasuki ruang kelas kembali dengan semangat yang terbarukan. Pengembangan kompetensi secara online maupun pelatihan guru yang diselenggarakan oleh sekolah diikuti dengan antusias oleh para guru.
Kurikulum Merdeka yang baru saja dirilis pada tahun ini, melalui Permendikbud nomor 12 tahun 2024 yang berisi tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah banyak yang harus dikaji untuk diterapkan pada tahun ajaran baru. Meski diluncurkan secara resmi pada tahun 2024, implementasi Kurikulum Merdeka sesungguhnya sudah berlangsung sejak tahun 2021 melalui beberapa sekolah projek yaitu Sekolah Penggerak.
Setiap pergantian kurikulum lazimnya membawa pesan pendekatan pembelajaran yang berbeda, meski muaranya tetap sama, student based oriented atau pembelajaran yang berbasis murid. Bahkan lebih ekstrem, Kurikulum Merdeka mengambil cuplikan pernyataan Ki Hajar Dewantara yaitu pembelajaran menghamba pada murid. Sebagaimana Kurikulum K13 yang mengusung Scientific Approach, maka pendekatan pembelajaran yang diusung dalam Kurikulum Merdeka adalah differentiated learning atau pembelajaran berdiferensiasi.
Setiap pendekatan pembelajaran yang mendampingi kurikulum tergantung dari teori belajar yang diaplikasikan. Misalnya saja pada kurikulum K13, teori belajar yang dipakai tentang behavioristik, yakni belajar adalah perubahan tingkah laku yang terjadi sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons.
Fokus utamanya adalah pada perubahan perilaku dari peserta didik sebagai hasil dari proses belajar. Maka pendekatan belajar yang dipakai adalah scientific approach, suatu model pembelajaran yang dirancang untuk murid agar dapat menerapkan langkah-langkah ilmiah dalam memecahkan sebuah masalah.
Pembelajaran berdiferensiasi
Sementara pembelajaran berdiferensiasi disandarkan pada teori belajar kontruktivistik. Teori ini memperbolehkan murid untuk menciptakan pengetahuan sendiri berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Kontruktistik mengutamakan bagaimana murid menjadi tahu dan memiliki pengetahuan, serta sifat-sifat pengetahuan itu sendiri. Maka pendekatan pembelajaran yang dilekatkan adalah pembelajaran berdiferensiasi.
Pembelajaran berdiferensiasi menjadi sangat tren setelah lahirnya program merdeka belajar. Seluruh lini yang menyukseskan program merdeka belajar memasukkan materi ini sebagai kajian utama, baik pada sekolah penggerak, kampus merdeka, guru penggerak, fasilitator penggerak, pengajar praktik, pendidikan profesi guru dan sebagainya. Tidak jarang guru yang tidak ikut program merdeka belajar atau guru non penggerak menjadi minder seolah tidak memiliki pengetahuan tentang pembelajaran berdiferensiasi jika satuan pendidikannya tidak membuat pelatihan.
Padahal bisa jadi hampir seluruh guru jauh sebelum Kurikulum Merdeka ini diterapkan sudah pernah mengaplikasikan pembelajaran berdiferensiasi di kelasnya. Hanya mungkin tidak mengetahui nama pendekatan pembelajaran yang dilakukan.
Assesmen diagnostik pun menjadi istilah yang mencuat seiring pendekatan pembelajaran berdiferensiasi. Padahal kenyataannya hampir tidak ada kaitan assesmen diagnostik dengan pendekatan pembelajaran ini. Bahkan menggunakan istilah diagnostik pun sebenarnya relatif keliru.
Dalam Panduan Pembelajaran dan Assesmen (PPA) yang diterbitkan oleh Kemendikbudristek sebagai “kitab kuning kurikulum”, istilah Assesmen Diagnostik hanya empat kali termaktub di sana. Assesmen diagnostik merupakan penilaian yang dilakukan untuk murid pada pendidikan luar biasa. Assesmen ini untuk mengukur ketepatan usia anak dengan fase kognitif. Alasan kuatnya, pada pendidikan luar biasa, terutama pada anak istimewa berkebutuhan khusus, fase kognitif sangat berbeda dengan usia anak. Bisa jadi usia SMA namun kemampuannya masih SD.
Sehingga dengan demikian, istilah diagnostik tidak tepat untuk anak usia normal. Pada pendidikan yang normal, istilah yang tepat untuk mengukur kemampuan kognitif dan kognitif murid disebut assesmen awal. Artinya assesmen yang digunakan pada awal proses pendidikan.
Sebab itulah dalam pembelajaran berdiferensiasi tidak perlu setiap saat memulai dengan assesmen awal. Jika guru sudah punya data murid terkait dengan minat belajar, kesulitan belajar, gaya belajar serta kemampuan dasar murid dan sebagainya, tidak perlu assesmen di saat awal belajar.
Pembelajaran berdiferensiasi pun tidak harus selalu dilakukan melalui kelompok belajar murid. Guru dapat menerapkan dengan pembelajaran klasikal dengan pola ceramah. Hanya ketika menangani murid, guru harus mampu mengidentifikasi kesulitan belajar murid dan melakukan bantuan kepada murid melalui gaya belajar murid secara individu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.