Citizen Reporter

Cara Jepang Mewariskan Memori Tsunami

Saat pengambilan data di lapangan terkait penelitian “Peran Kepemimpinan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan pada Saat Tsunami”, kami memperoleh kes

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS
Prof Dr Ir Agussabti MSi IPU. 

Menurut salah seorang peneliti dari Universitas Kyoto, masyarakat Jepang memiliki budaya menulis dan mencatat yang tinggi. Kisah budaya menulis dan mencatat ini sudah diwariskan dari generasi ke generasi semenjak zaman kekaisaran. Setiap pimimpin sangat menghargai pendidikan. Mereka mewarisi ilmu melalui budaya mencatat atau menulis. 

Setiap peristiwa atau rencana kegiatan selalu mereka catat sehingga semua yang dilakukan sudah tercatat dan terencana. Catatan ini kemudian menjadi acuan mereka dalam melakukan berbagai kegiatannya sehari-hari. Semua bekerja dan berjalan sesuai dengan apa yang dicatat dan tertulis, baik untuk urusan pribadi maupun pekerjaan.

Melawan atau menyimpangi apa yang mereka telah tulis atau perilaku spontan adalah hal yang tidak biasa dalam masyarakat Jepang sehingga perilaku mereka lebih terpola, tepat waktu, dan disiplin. Karena itu, tidak mengherankan kalau masyarakat lokal Jepang mampu mencatat, menuliskan, dan melukiskan tentang perasaannya dan makna dari dahsyatnya peristiwa gempa bumi dan tsunami serta tentang jumlah korban dan bangunan yang hancur. 

Semua peristiwa penting akibat tsunami kemudian tersimpan menjadi dokumen dalam bentuk tulisan ataupun lukisan yang diwariskan memorinya kepada generasi berikutnya.

Menurut masyarakat lokal, sebenarnya berdasarkan warisan memori tsunami yang diwariskan dari catatan kejadian tsunami sebelumnya (1960) yang menimpa wilayah tersebut, masyarakat dan pemerintah setempat sudah melakukan berbagai kesiapsiagaan, seperti membangun ‘escape building’ dan menggiatkan ‘tsunami drill’. Namun persoalannya, terjadinya gempa bumi dan tsunami Jepang  pada 11 Maret 2011 amatlah dahsyat dan di luar prediksi mereka sehingga banyak korban dan bangunan yang hancur.

Berbeda dengan masyarakat Aceh, berbagai peristiwa bencana yang terjadi sebelum tsunami 26 Desember 2004, sedikit sekali warisan yang terdokumentasikan secara tulisan. Berbagai peristiwa bencana diwariskan melalui cerita atau oral dalam versi yang berbeda-beda. Akibatnya, tidak ada kesiapsiagaan masyarakat Aceh dalam menghadapi tsunami dahsyat 2004 sehingga banyak sekali korban jiwa dan harta benda yang hilang.

Cerita tentang ‘ie beuna’ atau ‘smong’ barulah terdokumentasi kembali setelah ditulis oleh sejumlah peneliti menurut versi cerita masyarakat lokal saat ini, yang validitasnya perlu diuji.

Dalam rangka memperingati 20 tahun tsunami Aceh yang jatuh pada 26 Desember 2024,  maka pengalaman masa lalu  harus mampu mengajarkan kita, masyarakat dan pimpimpin Aceh, untuk mengubah cara budaya mewariskan memori tsunami dari budaya cerita ke budaya menulis. Harapannya, melalui budaya menulis dapat menghasilkan dokumen dan pengetahuan yang mampu menyelamatkan generasi Aceh dari segala bencana pada masa mendatang. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved