Citizen Reporter
Cara Jepang Mewariskan Memori Tsunami
Saat pengambilan data di lapangan terkait penelitian “Peran Kepemimpinan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan pada Saat Tsunami”, kami memperoleh kes
Oleh: Prof Dr Ir Agussabti MSi IPU, anggota tim peneliti di bawah koordinasi Dr Rina Suryani Oktari (Dosen Fakultas Kedokteran USK) yang bekerja sama dengan tim peneliti dari Universitas Kyoto dan Kobe, melaporkan dari Jepang
KUNJUNGAN saya ke Jepang kali ini merupakan bagian dari riset hibah “Sumitomo Foundation” yang diperoleh Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh. Kami berlima dari tim peneliti Tsunami Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) USK berangkat ke Jepang dan bergabung dengan tim peneliti Jepang di Sendai.
Akan tetapi, reportase ini tidak sedang memaparkan hasil penelitian kami, melainkan ingin menyampaikan bagaimana cara Jepan—lebih tepatnya lagi cara budaya Jepang—dibandingkan dengan cara budaya Aceh dalam mewariskan memori tsunami.
Saat pengambilan data di lapangan terkait penelitian “Peran Kepemimpinan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan pada Saat Tsunami”, kami memperoleh kesempatan berkunjung ke wilayah yang parah diterpa tsunami Jepang pada 11 Maret 2011, yaitu Kota Kesennuma dan Kecamatan Minami Sanriku, wilayah Prefectur Miyagi yang ibu kotanya Sendai.
Kami berkeliling ke beberapa lokasi untuk menyaksikan kembali objek peninggalan dasyatnya hantaman gempa bumi dan tsunami Jepang, seperti fasilitas publik beserta puingnya yang hancur dan kemudian dipugar kembali sebagai objek wisata tsunami.
Baca juga: KJRI Garap Film Romantis Berlatar Kisah Nyata Tsunami Aceh, "Aku Temukan Kembali Cintaku di Afsel"
Kami terkesan sekali oleh sambutan ramah di setiap lokasi tempat kunjungan. Namun, petugas selalu mengingatkan apa yang tidak boleh dilakukan di tempat tersebut. Semua ada aturannya. Setiap aturan harus ditaati dan akan ada sanksi tegas jika melanggarnya tanpa kecuali, apa pun status kita. Ketegasan penegakan aturan inilah yang mampu membentuk karakter masyarakat Jepang yang tertib, disiplin, menghargai, dan berusaha tidak mengganggu orang lain.
Kami berkesempatan juga mengunjungi “Rias Ark Museum” di Kota Kesennuma dan “Minamisanriku 311 Memorial” di Kecamatan Minami Sanriku, yang menyimpan berbagai dokumen, baik dalam bentuk tulisan, gambar, foto, dan film dokumenter.
Hal menarik yang kami temukan adalah kemampuan masyarakat lokal menuangkan perasaan dan gambaran dalam memaknai peristiwa tsunami dalam bentuk lukisan dan tulisan yang menjadi dokumen lengkap dan tidak akan hilang yang dapat ditinggalkan sebagai warisan memori tsunami.
Melalui tulisan dan lukisan inilah cara budaya masyarakat Jepang merawiskan memori tsunami kepada generasi berikutnya (seccara transgenerasi).
Kemudian, sejenak saya merenung dan berpikir tentang masyarakat kita sendiri, masyarakat Aceh, yang juga diterpa tsunami dahsyat pada 26 Desember 2004. Bagaimanakah cara mereka mewariskan memori tsunami kepada generasi berikutnya? Apabila kita coba telusuri sejumlah dokumen tentang tsunami Aceh 2004 yang juga merupakan bencana terparah dalam sejarah bangsa Indonesia, sedikit sekali warisan memori tsunami yang dilukis dan ditulis dengan tangan masyarakat lokal pada saat itu. Yang banyak kita temukan justru dokumen penelitian hasil wawancara dengan masyarakat lokal.
Umumnya masyarakat Aceh menggambarkan kejadian tsunami melalui cerita yang disampaikan secara oral atau lisan. Contohnya, ‘smong’ merupakan warisan budaya yang diceritakan turun- temurun sehingga menyelamatkan Masyarakat Simeulue dari gempa dan tsunami 2004.
Sementara itu, cerita tentang ‘ie beuna’ di Aceh Besar atau istilah lain tentang tsunami, baru diceritakan kembali setelah tsunami terjadi. Ini menunjukkan cara budaya masyarakat Aceh mewariskan memori tsunami kepada generasi berikutnya sebagian besar adalah melalui cerita oral atau lisan.
Namun, pertanyaannya adalah sejauh mana efektivitas warisan memori tsunami melalui budaya tulisan dibandingkan dengan budaya lisan? Fakta menunjukkan bahwa memori tsunami pada masyarakat Aceh, selain Simeulue, yang diwariskan melalui cerita lisan secara turun-menurun belum mampu menjadi “pengetahuan masyarakat”, sehingga begitu banyak korban jiwa ketika terjadi tsunami Aceh 2004.
Banyak cerita rakyat tentang tsunami masa lalu di Aceh hilang ditelan masa, kemudian baru muncul kembali setelah terjadinya bencana tsunami 2004.
Ada penamaan tsunami yang dikenal dengan istilah ‘ie beuna’ di Aceh Besar atau ‘gloro’ di Aceh Singkil. Berbagai versi cerita rakyat Aceh tentang tsunami kemudian diteliti dan ditulis oleh peneliti, yang sebagiannya berasal dari luar Aceh. Berdasarkan latar belakang inilah, muncul kesadaran tokoh-tokoh peneliti USK pascatsunami berinisiatif mendirikan pusat penelitian tentang tsunami, yakni TDMRC yang bertujuan mengembalikan kiprah peneliti Aceh, sebagai “subjek” dan “tuan rumah” di negeri sendiri yang mampu berdiri sejajar dengan peneliti nasional maupun internasional dalam mewariskan memori tsunami Aceh kepada masyarakat lokal dan global.
Saat Mahasiswi UIN Ar-Raniry Jadi Sukarelawan Literasi untuk Anak Singapura |
![]() |
---|
IKOeD Peusijuek Alumni Leting Intelegencia Generation 2025 di Pantai Lampu’uk |
![]() |
---|
Dinamika Spiritual dan Teknis dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji Modern |
![]() |
---|
Dari Aceh Menuju Makkah Ibadah Haji yang Mengajarkan Arti Keluarga |
![]() |
---|
Mengintip Geliat Industri Halal di Rusia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.