Jelang Pilkada Aceh
KIP jangan Rugikan Paslon, Penetapan Calon Kepala Daerah Bisa Ditunda
Untuk itu, KIP diingatkan agar dalam pengambilan keputusan benar-benar memperhatikan aspek keadilan sehingga tidak merugikan paslon tertentu.
“Jangan sampai calon peserta pilkada dirugikan, bukan karena kealpaan atau ketidaksiapannya dalam memenuhi persyaratan dokumen pencalonannya,” MUNAWARSYAH, Mantan Komisioner KIP Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Sesuai dengan jadwal tahapan Pilkada 2024, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh akan menetapkan pasangan calon (paslon) kepala daerah pada Minggu (22/9/2024) hari ini. Untuk itu, KIP diingatkan agar dalam pengambilan keputusan benar-benar memperhatikan aspek keadilan sehingga tidak merugikan paslon tertentu.
Harapan tersebut disampaikan mantan komisioner KIP Aceh, Munawarsyah, saat Serambi meminta tanggapannya terkait dinamika tahapan pilkada gubernur yang terjadi akhir-akhir ini, terutama tentang status pasangan Bustami Hamzah dan HM Fadhil Rahmi yang belum menandatangani dokumen kesediaan menjalankan butir-butir MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA) di depan anggota DPRA.
Seperti diketahui, poin ini menjadi salah persyaratan yang harus dipenuhi oleh pasangan calon kepala daerah di Aceh. Lalu dengan kondisi seperti itu, apa konsekwensi yang akan dihadapi paslon Bustami-Fadhil, dan apakah dimungkinkan jika jadwal penetapan paslon itu ditunda?
Menjawab hal itu, Munawarsyah menjelaskan, terkait dengan syarat menandatangani dokumen kesediaan menjalankan butir-butir MoU Helsinki dan UUPA di depan anggota DPRA, sepengetahuan pihaknya, KIP Aceh sudah berkorespondensi sebanyak dua kali dengan lembaga DPRA.
“Katakanlah memang tidak terlaksana kegiatan tersebut, konsekuensinya pasti ada paslon yang tidak terfasilitasi untuk memenuhi persyaratan,” ujarnya.
Namun Munawarsyah menambahkan, kondisi tersebut terjadi bukan karena hambatan di internal paslon yang tidak bisa memenuhinya poin yang dipersyaratkan, melainkan karena hambatan yang datang dari eksternal (luar) paslon.
Menurut mantan komisioner KIP Aceh ini, setiap dokumen persyaratan paslon pasti sudah diteliti keabsahan dan kebenarannya oleh KIP. Ini yang mendasari penyelenggara yang memiliki kewenangan memutuskan status paslon. Tinggal bagaimana memastikan keputusan KIP Aceh dapat dipertanggungjawabkan dengan memperhatikan aspek-aspek keadilan.
“Jangan sampai calon peserta Pilkada dirugikan, bukan karena kealpaan atau ketidaksiapannya dalam memenuhi persyaratan dokumen pencalonannya,” tekan Munawarsyah.
Perubahan Aturan
Dalam kesempatan itu, Munawarsyah juga mengungkapkan bahwa ketentuan mengenai keharusan pasangan bakal calon kepala daerah menandatangani dokumen kesediaan menjalankan butir-butir MoU Helsinki dan UUPA di depan anggota DPRA juga sudah berubah aturannya.
Dimana di dalam Qanun 7 Tahun 2024 pasal 24 huruf e disebutkan: Bersedia menjalankan seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku nasional dan peraturan perundang-undangan yang bersifat istimewa dan khusus yang berlaku untuk Aceh, yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani bermaterai cukup.
“Ketentuannya sudah diubah norma pasalnya. Kalau pasal ini yang diterapkan, berarti surat pernyataannya juga berubah isinya,” terang Munawarsyah.
Penundaan penetapan
Munawarsyah juga mengungkapkan bahwa penundaan penetapan paslon kepala daerah oleh KIP Aceh juga dimungkinkan untuk dilakukan. Hal ini mengacu pada Pasal 37 Qanun 7 Tahun 2024. “Berkemungkinan penundaan selama 10 hari jika paslon kurang dari dua pasangan dan perpanjangan masa pendaftaran dilakukan selama tiga hari kerja,” tuturnya.
Untuk diketahui, pada Pasal 37 Qanun 7 Tahun 2024, ayat 1 berbunyi: KIP menetapkan paling kurang dua pasangan calon setelah melakukan pemeriksaan administrasi dan persyaratan calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 sampai dengan Pasal 34.
Berikutnya pada ayat 2 disebutkan, apabila sampai batas waktu yang ditetapkan telah berakhir dan pasangan bakal calon kurang dari dua, maka akan dilakukan penundaan selama 10 hari dan perpanjangan masa pendaftaran dilakukan selama tiga hari kerja.
Lalu pada ayat 3 berbunyi: apabila waktu perpanjangan masa pendaftaran telah berakhir dan pasangan bakal calon belum terpenuhi, tahapan pemilihan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Dalam kaitan ini, Serambi sudah berulang kali menghubungi Ketua KIP Aceh, Siafullah, sejak Jumat hingga Sabtu kemarin. Tetapi semuanya tidak mendapat respons.
Dua Kali Gagal
Sebagaimana diketahui, pada Pilkada Gubernur Aceh 2024, ada dua pasangan bakal calon yang akan bertarung, yaitu pasangan Muzakir Manaf-Fadhlullah (Mualem-Dek Fad) dan pasangan Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi (Om Bus-Syech Fadhil).
Tetapi sampai tadi malam, baru satu pasangan yang telah melakukan penandatanganan dokumen bersedia menjalankan butir-butir MoU Helsinki dan UUPA di depan para anggota DPRA. Yaitu pasangan Mualem-Dek Fad yang diusung koalisi besar gabungan partai politik lokal dan nasional, yang memiliki 52 dari 81 kursi di DPRA.
Sedangkan untuk pasangan Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi yang diusung Koalisi Harapan Baru, dua kali gagal menandatangani dokumen dimaksud. Kegagalan pertama pada rapat paripurna DPRA pada 12 September 2024 lalu. Saat itu, DPRA tak menginzinkan Bustami melakukan tanda tangan karena belum memiliki bakal calon wakil, sepeninggal Tgk Muhammad Yusuf A Wahab alias Tu Sop.
Kegagalan kedua yaitu pada rapat Banmus Paripurna DPRA tanggal 18 September 2024 malam. Dimana saat itu, dari 41 Anggota Banmus, yang hadir tidak mencapai 10 orang, sehingga tidak memenuhi kuorum. Rapat dengan agenda penandatanganan pernyataan bersedia menjalankan butir-butir MoU Helsinki dan UUPA untuk paslon Bustami-Fadhil Rahmi akhirnya kembali batal.(yos)
MoU Helsinki Sudah Tidak Lagi Dianggap Sakral
SEMENTARA itu, Elemen Sipil melihat, tidak adanya jadwal rapat paripurna DPRA menjelang penetapan pasangan calon gubernur pada 22 September 2024, Senin hari ini, mengindikasikan kuat bahwa ini adalah bentuk rekayasa yang disengaja hanya untuk membatalkan salah satu pasangan calon.
Jadwal rapat paripurna DPRA dimaksud adalah terkait dengan agenda penandatanganan dokumen kesediaan untuk menjalankan butir-butir MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA) oleh bakal calon kepala daerah.
Elemen Sipil berpendapat, UUPA dan MoU Helsinki adalah dokumen sakral yang mengatur kepemimpinan di Aceh. Artinya, siapapun yang ingin memimpin Aceh atau mencalonkan diri sebagai gubernur harus berkomitmen menjalankan UUPA dan MoU Helsinki.
Namun sikap DPRA yang secara sengaja menghalangi salah satu paslon untuk menandatangani dokumen kesediaan tersebut justru membuat MoU Helsinki tidak lagi dianggap sakral.
“Tindakan DPRA yang tidak konsisten menandakan bahwa MoU Helsinki kini tidak lagi dianggap sakral, melainkan hanya pepesan kosong. Ini menunjukkan bahwa kepentingan politik kelompok mengalahkan kepentingan rakyat,” ucap Juru Bicara Elemen Sipil, Zulfikar Muhammad, dalam pernyataan tertulisnya kepada Serambi, Sabtu (21/9/2024) malam.
“DPRA seharusnya menempatkan MoU sebagai prioritas untuk ditandatangani oleh pasangan calon, bukan sekadar sebagai alat untuk memenangkan salah satu calon. MoU adalah milik rakyat Aceh, dan semua rakyat berhak untuk menandatangani dan berkomitmen pada isi dokumen tersebut. Sikap DPR Aceh saat ini menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap MoU Helsinki,” cecar Zulfikar lagi.
Selain itu, pihaknya juga mendesak Komisi Independensi Pemilihan (KIP) Aceh mengambil langkah tegas terhadap DPRA agar segera melaksanakan paripurna. Penghambatan proses pemilihan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam stabilitas politik di Aceh dan mengabaikan agenda strategis nasional. “Jika DPRA terus menghalangi, mereka akan dianggap melawan hukum dan negara Republik Indonesia,” tegas Zulfikar.
KIP lanjut dia, memiliki tanggung jawab untuk memastikan pelaksanaan Qanun Pilkada dan menjalankan peraturan yang berlaku. Jika KIP tidak mampu melaksanakannya, KIP harus mempertimbangkan untuk meninggalkan qanun yang tidak efektif dan berpegang pada undang-undang yang lebih tinggi.
“Jika tidak siap melaksanakan Qanun Pilkada, sebaiknya tinggalkan qanun tersebut dan tetap berpegang pada Undang-undang Pilkada serta PKPU yang dikeluarkan oleh KPU Republik Indonesia. Jika tidak, KIP berisiko diberhentikan karena dianggap tidak mampu menjalankan perundang-undangan,” ucap Zulfikar Muhammad.
Lebih lanjut, Zulfikar menegaskan bahwa Elemen Sipil siap menghadapi apapun hasil penetapan pasangan calon pada Minggu (22/9/2024) hari ini. Jika KIP menyatakan kedua pasangan memenuhi syarat untuk ikut serta dalam Pilkada 2024, maka pihaknya akan menyerahkan keputusan kepada rakyat untuk memilih.
“Tetapi jika hanya satu pasangan yang memenuhi syarat akibat rekayasa yang dilakukan oleh DPRA, maka elemen sipil akan memilih untuk mendukung tong kosong, yang Insya Allah akan menang di Aceh,” demikian Zulfikar Muhammad.(yos)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.