Kupi Beungoh

Merawat Jaringan: Satu Malam bersama Sang Maestro dari Susoh

Kiprahnya dalam berbagai bidang di atas membuatnya memiliki jaringan yang sangat luas untuk level nasional dan internasional.

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Fahmi M. Nasir, Penulis buku Isu-Isu Kontemporer Wakaf Indonesia. 

Oleh: Fahmi M. Nasir (Penulis buku Isu-Isu Kontemporer Wakaf Indonesia). 

Sepanjang bulan September 2024, saya banyak melakukan perjalanan ke berbagai tempat baik kembali ke Banda Aceh ataupun pergi ke Malang, Surabaya dan Jakarta.

Kesemua perjalanan ini terkait dengan sektor wakaf, seperti merampungkan buku kompilasi wakaf, menghadiri konferensi wakaf, mencari peluang-peluang baru untuk berpartisipasi aktif mengembangkan wakaf dalam kapasitas sebagai konsultan ataupun sebagai mitra bagi para nazhir dan pemangku kepentingan lainnya.

Perjalanan ini membuat saya bertemu banyak pihak, mulai dari rekan-rekan lama peneliti dan pegiat wakaf, rekan-rekan baru yang juga berkiprah di seputar sektor wakaf dan filantropi, serta rekan-rekan lain yang sudah saya kenal jauh-jauh hari.

Ada di antara mereka yang saya kenal dengan rapat, dan ada di antara mereka yang saya kenal melalui jaringan pertemanan kami masing-masing.

Kali ini saya tidak bercerita tentang wakaf, hal ini kita ceritakan di kesempatan yang lain saja. Kali ini saya ingin bercerita tentang satu pertemuan dengan seorang tokoh yang sangat berkesan bagi saya pribadi ataupun bagi rekan-rekan yang ikut menghadiri pertemuan itu.

Tokoh yang saya temui di Jakarta ini merupakan salah satu intelektual papan atas yang dimiliki oleh Aceh saat ini. Tulisan-tulisannya bisa ditemukan pada berbagai media papan atas di tanah air, sejak puluhan tahun lalu, seperti di Kompas, Tempo, The Jakarta Post, dan lain-lain. Ia dikenal piawai dalam lintas sektoral seperti sosial-budaya, ekonomi dan politik. 

Kiprahnya dalam berbagai bidang di atas membuatnya memiliki jaringan yang sangat luas untuk level nasional dan internasional.

Saya sendiri, sebelum ini, hanya sempat sekali saja bertemu dengannya ketika ia menjadi Keynote Speaker di acara Aceh Development International Conference (ADIC) tahun 2011, ketika Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) menjadi tuan rumah konferensi yang digagas dan diselenggarakan oleh para mahasiswa Aceh di Malaysia.

Setelah itu, saya hanya mengenali tokoh ini melalui tulisan-tulisannya di berbagai media ataupun melalui cerita rekan-rekan yang berkesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengannya. 

Hal inilah yang menjadi pendorong bagi saya untuk menjumpainya sewaktu dalam perjalanan pulang mengikuti konferensi wakaf di Universitas Brawijaya, Malang pada 24-26 September 2024.

Saya berpikir bagaimana caranya agar dapat menghubungi beliau untuk bersilaturrahmi atau melakukan kunjung hormat, kata orang Malaysia.

Saya beruntung mempunyai beberapa rekan yang mempunyai hubungan yang baik dengan tokoh ini. Akhirnya saya memutuskan untuk meminta bantuan anak muda yang mempunyai masa depan yang sangat cerah dalam dunia penulisan dan penelitian, Teuku Raja Muda D. Bentara.

Anak muda baik hati ini langsung saja menyanggupi keinginan saya itu. Ia mengatakan akan mencoba menanyakan langsung kepada tokoh ini apakah beliau sedang ada di Jakarta dan punya waktu luang untuk bertemu.

Maklum saja, mobilitas tokoh ini sangat tinggi dengan berbagai aktivitas yang mengharuskannya untuk kerap pergi ke luar Jakarta, kota yang didiaminya sejak tahun 1966.

Tak lama setelah itu, anak muda yang bernama Muda ini mengabarkan bahwa tokoh tersebut sedang berada di Jakarta dan bersedia menerima saya pada hari Jum’at, 27 September, jam 8 malam.

Setelah mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan Muda, saya pun langsung mengirimkan pesan kepada tokoh tersebut untuk memberikan konfirmasi kehadiran saya dan juga menyampaikan terima kasih atas kesediaannya menerima saya di sela-sela kesibukannya sebagai seorang intelektual papan atas di negeri ini.

Pada pagi hari Jum’at, saya mengirimkan lagi pesan kepada beliau untuk meminta izin datang bersama dua rekan lain, alumni Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM), yang kebetulan juga sedang berada di Jakarta.

Rekan yang pertama adalah Dr. Zeldy Suryadi, ekspatriat IT pada perusahaan BUMN ternama di Malaysia, yang sudah pernah saya perkenalkan dalam edisi tulisan merawat jaringan sebelum ini.

Pakar IT ini ternyata berasal dari keluarga yang sangat hebat. Betapa tidak, kakeknya adalah Ali Raliby yang merupakan abang kandung Prof. Osman Raliby, seorang intelektual terkenal pada era Orde Lama dan Orde Baru.

Osman Raliby yang merupakan Anggota Konstituante dari partai Masyumi juga menjadi mentor kepada Yusril Ihza Mahendra baik dalam menulis naskah pidato ataupun dalam mengajar di mana Yusril pernah menjadi asistennya. 

Saya sendiri baru beberapa waktu terakhir ini mengetahui lebih banyak tentang garis keluarga hebat sahabat yang sudah saya kenali lebih dari dua dekade ini.

Mudah-mudahan Zeldy mempunyai kesempatan untuk berjumpa dengan Yusril yang pernah singgah di rumah mereka di kawasan Grong-Grong suatu ketika dulu agar Zeldy dapat mengetahui lebih banyak lagi sisi-sisi kehidupan dan perjuangan Osman Raliby.

Rekan yang kedua pula, Unzir Nanda, merupakan alumni S2 Sastra Arab di Universitas Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM).

Anak muda yang sedang merintis karir di Jakarta ini sudah saya kenali sejak tahun 2014 ketika mula-mula dia mau masuk kuliah S2 di UIAM. 

Keluarga besar Unzir Nanda di Bayu ini, banyak yang menjadi anggota pasukan Tengku Abdul Jalil Cot Plieng, seorang ulama yang dikenal sebagai tokoh perlawanan penjajah Jepang. Keluarga Unzir Nanda ini kemudian gugur bersama Tengku Abdul Jalil dalam satu pertempuran melawan Jepang.

Melihat sosoknya yang sangat agile, saya yakin sekali Unzir Nanda akan sukses dalam perjuangannya meniti karir di Jakarta. 

Alhamdulillah, tokoh yang ingin saya temui itu mengabulkan permintaan tersebut. Pada waktu yang sama beliau mengirimkan foto koran The Jakarta Post yang rupanya memuat tulisan opininya pada hari itu.

 Tulisan yang berjudul ‘Understanding the thoughts of Sumitro, Prabowo’s father’, merupakan bagian pertama dari dua tulisan. Hal ini seolah mempertegas bahwa beliau adalah seorang intelektual yang selalu aktif mewarnai perjalanan bangsa ini dengan memberikan pandangan dan pikiran terhadap kondisi aktual yang sedang berlangsung di puncak koridor politik Indonesia.

Kolom Fachry Ali

Jam 8 malam tepat kami sudah sampai di depan pintu rumah yang pada peta alamat tertulis Kolom Fachry Ali (KOFI). Nama yang tertera pada alamat yang berada di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur itu merupakan nama dari tokoh yang kami temui itu. 

Fachry Ali, begitulah nama seorang intelektual papan atas yang sangat disegani di negara kita. Saat ini selain menulis, tokoh ini juga memiliki podcast sendiri yang diberi nama, Kolom Fachry Ali (KOFI TV), sebuah podcast yang saat tulisan ini dibuat sudah mempublikasi 301 video, memiliki lebih dari 35 ribu subscribers dan telah dilihat lebih dari 12.6 juta kali, sejak pertama sekali mengudara pada 17 April 2022. 

Kenapa ia memiliki KOFI? Pada bagian pengenalan podcast KOFI kita temui keterangan seperti ini “Kolom Fachry Ali (KOFI TV) adalah inisiatif mengalih-wahanakan tradisi penulisan opini di ruang publik seperti media massa dan media sosial menjadi sebuah sajian audio-visual”.

Pada paragraf kedua, informasi tentang podcast ini dilanjutkan lagi dengan “KOFI TV merupakan upaya diseminasi gagasan berbasis penalaran, argumentasi dan riset-riset lintas disiplin ilmu yang disalurkan melalui Channel YouTube”.

Selanjutnya pada bagian terakhir tertulis “Fachry Ali adalah pengamat politik yang konsisten selama puluhan tahun mewarnai kehidupan intelektual dan menumbuhkan tradisi kritis melalui tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai artikel opini media massa, buku, jurnal ilmiah, makalah dan lain sebagainya”.

Masterclass dari Sang Maestro

Begitu kami menekan bel di pagar rumah, salah seorang stafnya langsung membukakan pintu pagar rumah yang terletak di pinggir jalan besar di Pondok Bambu dan membawa kami menuju ke ruang Fachry Ali menunggu kami. 

Pak Fachry, demikian kami memanggilnya, menyambut kami dengan hangat sembari menyalami kami satu per satu. Beliau kemudian mempersilahkan kami memasuki ruangan tersebut dan duduk di kursi yang telah diatur dengan rapi. 

Ruangan yang lumayan besar itu multifungsi, bisa sebagai tempat beliau menyambut tamu-tamunya untuk duduk berdiskusi, tempat beliau menulis menghasilkan berbagai karya, dan bisa jadi sebagai tempat untuk beliau bermain pingpong alias tenis meja.

Beliau memberitahukan kami bahwa kalau ruang itu akan dijadikan tempat bermain pingpong, maka meja besar yang menjadi tempat meletakkan berbagai buku dan tulisan lain sebagai rujukan ketika sedang menulis tinggal digeser ke tepi.

Kami bertiga duduk berhadap-hadapan dengan Pak Fachry. Malam itu, kami melihat begitu banyak buku dan berbagai referensi yang dijadikan rujukan ketika beliau menulis. Di antara banyaknya buku di atas meja itu, saya melihat dua buku yang kebetulan disebutkan oleh Pak Fachry dalam tulisan terbaru beliau di The Jakarta Post.

Buku pertama berjudul Kredit Rakyat di Masa Depresi, karya Sumitro, dan buku kedua adalah Essays on the Great Depression, karya Ben Shalom Bernanke. 

Belum sempat saya bertanya tentang kedua buku ini, beliau sudah memulai membuka pembicaraan tentang tulisan opininya di The Jakarta Post itu.

Ia menjelaskan, sebagaimana ditulisnya dalam kolom tersebut, bahwa Sumitro menganalisa sikap petani ketika terjadi Great Depression antara tahun 1929 sampai 1939 menggunakan dua konsep yaitu “shrinking perspective’’ dan “impatience”. 

Tentu ada pesan spesifik yang ingin beliau sampaikan melalui tulisan tersebut kepada Presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto, yang merupakan anak kepada Sumitro Djojohadikusumo.

Selanjutnya Pak Fachry meneruskan diskusi mengenai berbagai topik seputar sosial budaya, ekonomi, politik dan tokoh-tokoh sentral terkait yang meliputi Aceh, Indonesia dan Malaysia. 

Pada diskusi itu, kami lebih banyak bertanya, lalu beliau menjelaskannya secara panjang lebar. Yang paling menarik adalah setiap penjelasan yang diberikannya selalu merujuk kepada referensi yang lengkap mulai dari judul tulisan atau buku beserta siapa penulisnya.

Hal ini merupakan indikasi betapa dalamnya ilmu yang dimilikinya dan tajamnya analisa beliau untuk sesuatu peristiwa yang terjadi di negara kita.

Sesekali bila menyangkut hal-hal di Malaysia, saya mencoba untuk memberikan pandangan sesuai dengan hal-hal yang saya ketahui termasuk beberapa kisah di balik layar sesuatu peristiwa di negeri jiran itu.

Kebetulan saya cukup beruntung sedang berada bersama almarhum Tan Sri Sanusi Junid ketika peristiwa itu terjadi.

Kedalaman ilmu yang dimilikinya itu membuat kami bertiga semakin bersemangat untuk menanyakan banyak hal kepadanya.

Sambil mendengar penjelasannya yang rinci dan komprehensif, kami menikmati lezatnya Mie Aceh dan segarnya jus timun yang disajikan oleh Pak Fachry kepada kami. 

Mie Aceh itu rupanya dimasak oleh salah seorang staf Pak Fachry. Kelezatannya jauh melebihi Mie Aceh yang kami makan, siang tadi, di suatu lokasi yang berhampiran dengan Kampus Binus Anggrek, tempat kami menemui rekan alumni UIAM, Dr. Abdul Rasyid, dosen Binus, yang berasal dari Jambi dan Andi Gunawan, konsultan pendidikan, yang masih berdarah Aceh walaupun ia sudah kesulitan mencari jejak keturunan kakeknya di Aceh karena mereka sudah lama sekali merantau ke Pulau Jawa. 

Ketika mendengar kisah Andi tentang kakeknya itu, saya menyampaikan kepadanya mungkin saja kakek Andi merantau ke Pulau Jawa pada waktu yang bersamaan dengan ayah Achmad Soebarjo, Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama.

 Jika ia bisa berhubungan dengan keturunan Achmad Soebarjo, besar kemungkinan Andi akan dapat menelusuri silsilah keluarganya di Aceh kelak.

Kami bertiga juga sangat menikmati kemampuan Pak Fachry melantunkan berbagai syair yang merakyat di Aceh, baik dalam bahasa Aceh ataupun dalam bahasa Arab. Beliau juga menerangkan konteks setiap syair yang dilantunkannya dengan merdu itu. 

Rakan saya yang alumni sastra Arab di UIAM, Unzir Nanda ternyata juga mempunyai pengetahuan yang baik, tentang syair dan ia juga menguasai beberapa syair yang populer di kawasan Pasee, walaupun tentu belum seluas pengetahuan tuan rumah kami pada malam itu.

Untuk memudahkan kami memahami penjelasannya tentang berbagai syair seperti Bak Meurak di Cong, Hikayat Prang Sabi dan transformasi yang dibawa oleh setiap syair tersebut, beliau berbagi beberapa tulisannya kepada kami termasuk Pidato Kebudayaan yang disampaikannya dalam Kongres Kebudayaan Aceh pada 6-8 Mei lalu di Jantho, Aceh Besar.

Setelah mendengarkan pemaparan dari Pak Fachry tentang berbagai topik, beliau membawa kami ke perpustakaan pribadinya yang memiliki koleksi puluhan ribu buku dari dalam dan luar negara. Yang menarik, di antara buku dari luar negeri tersebut, ada sekitar 1.5 ton buku yang dibawanya dari Australia, tempat ia menempuh studi suatu ketika dahulu.

Koleksi buku tersebut akan terus bertambah, ini bisa kita amati dari ratusan buku baru yang masih diletakkannya di atas meja karena belum selesai dibuat katalog.

Sambil kembali dari ruang pustaka menuju ruang pertemuan, ia juga membawa kami menuju ke salah satu sudut halaman rumahnya di mana terdapat pohon belimbing wuluh, penghasil asam sunti yang merupakan salah satu bahan pokok untuk memasak makanan khas Aceh.

 Di samping pohon belimbing wuluh itu, ada satu ‘guest house’ mungil nan cantik yang bisa ditempati oleh tamu-tamunya.

Ketika kami kembali ke ruang pertemuan, beliau menceritakan banyak sekali tokoh-tokoh yang pernah duduk berdiskusi dengannya di situ.

 Mendengar nama-nama tokoh tersebut disebutkannya, kami pun merasa sangat beruntung dapat berada di tempat tersebut walaupun pada waktu dan konteks yang berbeda. Kami juga merasa lebih beruntung lagi ketika Pak Fachry menjawab pertanyaan saya siapa pemilik lokasi rumah ini sebelumnya.

 Rupanya Pak Fachry membelinya dari mantan Gubernur Bank Indonesia yang pertama, Sjafruddin Prawiranegara.

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, di mana kami telah pun berada di sana hampir lima jam lamanya. Bagi kami, malam itu laksana mengikuti kuliah masterclass dari seorang maestro yang berasal dari Susoh, Aceh Barat Daya.

 Tatkala mengikuti masterclass ini, kami menyampaikan harapan agar beliau mau menulis memoar untuk bahan bacaan, pengetahuan dan pelajaran bagi kita semua, terutama sekali yang berasal dari Aceh agar setidaknya dapat meneladaninya khususnya dalam hal memiliki ‘akar’ yang kuat.

Sebelum kami mohon diri, Pak Fachry menghadiahkan kami dua buku karyanya yang masing-masing berjudul ‘Kalla & Perdamaian Aceh’ dan ‘The Politics of Central Bank’

Saya sendiri menghadiahkan buku ‘Isu-Isu Kontemporer Wakaf Indonesia’ yang baru saja terbit pada September 2024, di mana saya mendapatkan kehormatan luar biasa dengan kesediaan mantan Perdana Menteri Malaysia Tun Dr. Mahathir Mohamad menuliskan kata pengantar pada buku itu.

Pak Fachry juga menghadiahkan satu buku karyanya berjudul ‘Antara Pasar dan Politik’ untuk saya serahkan kepada Tun M, nama populer negarawan itu di negeri jiran.

Tepat jam 12:40 dini hari, kami pun menyalami Sang Maestro dari Susoh sebelum meninggalkan kediamannya dengan membawa banyak pengetahuan dan cara pandang baru, serta berharap untuk kembali mendapatkan kesempatan serupa di masa mendatang.

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved