Kupi Beungoh
Mualem dan Brutus dalam Drama Pilkada 2024
Laksana Brutus. Mereka masuk menjadi bagian inti Mualem, kemudian berbalik menyerangnya. Mualem tetap tegar dan tegak melangkah
Oleh: Dr Nurlis Effendi*)
Laksana Brutus. Mereka masuk menjadi bagian inti Mualem, kemudian berbalik menyerangnya. Mualem tetap tegar dan tegak melangkah.
Di Aceh, atribusi Mualem melekat pada seorang Muzakir Manaf. Setiap orang menyebut kata Mualem, maka pikiran kita langsung mengarah pada mantan Panglima Komando Pusat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tersebut.
Saat ini ia memimpin dua organisasi penting dan berpengaruh di Aceh, yaitu Ketua Umum Partai Aceh (PA) dan Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA).
Pada musim politik Pilkada Aceh 2024, 15 Partai Politik mengusung Muzakir Manaf dan Fadhlullah sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur.
Tentu Mualem memiliki kelompok pesaing yang antipati dan berupaya menjegalnya. Karena itu, lahirlah kelompok yang menjadi mesin pembully Mualem.
Mereka bergerak terorganisir untuk menyebar narasi penghinaan, fitnah, merendahkan martabatnya.
Framing tersebut boleh disebut sebagai bagian dari pembunuhan karakter. Tujuannya memengaruhi publik supaya meragukan kapasitasnya sebagai pemimpin.
Baca juga: Jelang Debat Cagub dan Cawagub Aceh, Mualem- Dek Fadh Siap Tampil, Bakal Disiarkan TV Nasional
Titik akhir dari gerakan mesin pembully adalah untuk mempengaruhi rakyat Aceh agar tidak memilihnya pada pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Aceh pada November 2024.
Pertanyaannya apakah mereka mampu membunuh karakteristik Mualem, dan meruntuhkan kapasitasnya sebagai pemimpin Aceh yang menjadi pusat perhatian politisi nasional? Tentu soal ini terlalu pagi untuk memperoleh jawabannya.
Sebaiknya, mari kita mulai dari atribusi Mualem kepada Muzakir Manaf. Mualem dengan huruf “e” itu lafaz Bahasa Aceh, dari Bahasa Indonesia disebut mualim.
Jika dimaknakan, Ia berarti pengajar yang mencurahkan ilmu pada anak didiknya, terkadang juga digunakan dalam arti pemimpin.
Dari sejumlah literatur, Mualem (mualim) juga berarti ahli agama atau guru agama, penunjuk jalan, dan perwira kapal yang memiliki ijazah pelayaran niaga nautika.
Mualem juga merpupakan pangkat yang digunakan oleh Angkatan Laut Britania Raya dan Angkatan Laut Amerika Serikat untuk perwira petty senior yang menemani nahkoda.
Terbangunnya atribusi Mualem pada Muzakir Manaf dimulai sejak ia berlatih tempur bersama tentara GAM lainnya di Libya pada 1986.
Baca juga: Visi Misi Cagub, Mualem Ingin Bangun Islamic Center, Om Bus Tingkatkan Layanan Kesehatan & Beasiswa
Wali Nanggroe Hasan Tiro sepagai pemimpin tertinggi GAM, menilai bakat Muzakir Manaf cocok menjadi salah satu pelatih yang disebut Mualem.
Waktu itu, ada sejumlah tentara GAM yang ditabalkan sebagai mualem di Libya hingga ke Aceh. Namun atribusi Mualem hanya melekat pada Muzakir Manaf.
Atribusi Mualem semakin melekat pada Muzakir Manaf setelah Wali Naggroe Hasan Tiro menunjuknya sebagai pengganti Panglima GAM Abdullah Syafii yang gugur pada 2002.
Hingga kini atribusi Mualem melekat pada Muzakir Manaf, bahkan lebih popular dari nama aslinya. Di Aceh, tidak ada pemimpin yang disapa Mualem selain Muzakir Manaf.
Di Aceh hanya ada tiga panggilan yang paling popular, yaitu Wali Nanggroe, Meuntroe, dan Mualem.
Wali Nanggroe melekat pada Tgk Hasan Tiro, Meuntro melekat pada Tgk Malik Mahmud Al Haytar (sekarang menjadi Wali Nanggroe setelah wafatnya Hasan Tiro), dan Mualem telah menjadi legitimasi kepada Muzakir Manaf.
Sebetulnya, jika membacanya dari sudut pandang ilmu sosiologi Max Weber, maka poin utama legitimasi Mualem terletak pada kharisma dan otoritas kharismatiknya.
Pemimpin kharismatik biasanya berperan dalam bidang agama dan politik.
Mualem, dalam hal ini, dapatlah disebut sebagai pemimpin berkharisma dalam bidang politik yang dikuatkan oleh sejumlah pemimpin berkharisma dalam bidang agama, misalnya Abu Paya Pasi.
Baca juga: Om Bus Nomor 1, Mualem Nomor 2
Max Weber mengidentifikasikan pemimpin dengan otoritas kharisma muncul di masa situasi krisis. Memang Mualem muncul di era konflik Pemerintah RI-GAM.
Selain itu, pemimpin dengan otoritas kharisma memiliki kesadaran misi dan panggilan yang terwujud dalam ide; pengakuan pengikut mendorong mereka mengikuti, mentaati, dan setia terlibat dalam misi itu; otoritas kharisma dijalankan bersama pengikut setia; kharisma itu bersifat extra-legal; relasi dalam komunitas bersifat personal; dan tidak mengutamakan uang karena lebih mengutamakan misi.
Seperti itulah kekuatan kepemimpinan yang melekat pada Mualem, artinya alam membesarkannya melalui perilaku-perilakunya yang berjalan selama ini.
Tentu saya memahami, bahwa di pihak yang sekarang menjadi lawan Mualem dalam politik Pilkada, terdapat intelektual yang memahami ilmu sosiologi politik. Sehingga dalam menjalankan misi politiknya terlihat sangat kuat dalam memainkan jurus-jurus sosiologi.
Misalnya, mereka sangat memahami bahwa dalam prihal pemimpin kharismatik yang muncul dalam situasi krisis, maka di situ ada harapan-harapan bagi pengikutnya.
Jika harapan itu tak terpenuhi, maka dapat mengikis kharisma si pemimpin. Sebaliknya, jika hatapan-harapan itu terpenuhi maka kharismanya bertahan.
Itulah sebabnya, kelompok politik yang antipati pada Mualem, sebagaimana saya uraikan di awal tulisan ini, begitu masif membangun narasi-narasi untuk membunuh karakteristik Mualem di mata publik.
Diikuti dengan upaya adu-domba untuk membuat kerusakan secara masif di internal Mualem. Ini dapat dilakukan berdasarkan pengalaman-pengalaman mereka sendiri yang pernah menjadi pengikut Mualem, dan kini berbalik menyerang Mualem.
Baca juga: Bustami-Syech Fadhil Siap Berkompetisi Sehat di Pilkada, Mualem-Dek Fadh Sebut Nomor 2 Nomor Raseuki
Selama ini, Mualem memang mudah memberi ruang bagi banyak kalangan yang dianggap mampu membantunya memberi ide-ide untuk Aceh. Bahkan di antaranya memperoleh jabatan strategis karena jasa-jasa Mualem.
Justru ketulusan dan niat baik Mualem itulah yang kemudian dimanfaatkan, mereka kemudian berbalik menusuknya.
Laksana hikayat Brutus dalam riwayat Julius Caesar era Romawi Kuno. Bahkan Brutus pun menusuk Julius Caesar dengan dalih membangun Romawi.
Itu adalah upaya kembar yang dilakukan dalam mengikis kharisma Mualem di mata publik, sekaligus merusak mesin-mesin politik yang selama ini setia pada Mualem.
Saat bersamaan mereka membangun karakter tokoh antitesis Mualem sebagai calon gubernur yang diharapkan mampu meraih simpati publik dan memilihnya di Pilkada 2024.
Apakah kelompok itu mampu mengikis kharisma Mualem? Jawabannya akan muncul setelah rakyat Aceh memilih pemimpinnya pada akhir November 2024 ini.
Pastinya, Mualem tetap tegak dan terus melangkah bersama 15 Partai Politik yang mendampinginya. Bahkan, kini Mualem juga disokong begitu banyak tim relawan yang muncul bak jamur di musim hujan.(*)
*) PENULIS adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Malahayati (Lampung) dan Magister Ilmu Hukum Universitas Abulyatama (Aceh)
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Artikel KUPI BEUNGOH lainnya baca DI SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.