Jurnalisme Warga

Kematian Jenderal Belanda di Krueng Lamnyong dalam Lintas Sejarah

Di pinggir sungai ini terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda melawan mujahid Aceh sebagai lanjutan dari aneksasi Belanda terhadap Kesultana

Editor: mufti
IST
RISMA, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik Kampus UBBG Banda Aceh, melaporkan dari Lamnyong, Banda Aceh 

Namun, mereka (pasukan Belanda) tidak mampu menghentikan serangan lawan, meskipun Belanda sudah diperkuat dengan berbagai senjata. Namun, tetap saja mereka tidak dapat membungkam tembakan lawan.

Tak ada tempat yang bisa dilewati untuk menghindari serangan dari pihak pejuang Aceh. Di sana hanya terdapat sebuah jembatan setengah rusak di bagian selatan. Pasukan Belanda kemudian terus bergerak melalui kanal (alue) di sisi Krueng Lamnyong. Akan tetetapi mereka baru bisa sampai ke tenda yang terletak di dua pinggir teluk tepat pukul 4 sore. Di sanalah Jenderal Johannes LJH Pel meninggal secara mendadak.

Jendral Johannes Pel meninggal di bivak Tunggai, Lamnyong. pada tengah malam antara tanggal 24 dan 25 Februari 1876 tepat pada pukul 11 malam.

Menurut Belanda, Jendral Johannes Pel meninggal karena menderita putus dan pecah urat nadi. Namun, sebaliknya pejuang Aceh mengatakan bahwa Johannes Pel tewas di tangan para pejuang Aceh disebabkan terkena sabetan kelewang dari panglima militer Kesultanan Aceh, yaitu Tuwnku Hasyim Banta Muda. Johannes Pel tewas terkena sabetan kelewang di urat nadinya.

Jasad Jenderal Johanes Pel dikuburkan di salah satu sudut Peucut Kerkhof Koetaradja, tanpa diberi tanda apa-apa. Namun, monument makamnya dibuat sangat megah dibandingkan dengan monumen-monumen lainnya, bahkan lebih besar dan lebih tinggi daripda monumen kuburan Jendral Johan Harmen Rudolf Kohler tahun 1873.

Hal itu disebabkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Aceh sengaja merahasiakan kematian Johanes Pel, karena pada saat itu perang masih berkecamuk.

Selain monumen di Kerkhof untuk mengenang kematian Jendral Pel, Belanda juga turut membuat sebuah tugu di hulu Krueng Lamnyong, tempat lokasi ia lumpuh melawan gempuran pejuang Aceh.

Adapun di bivak tempat tewasnya Jenderal Johannes Pel masyarakat Aceh menyebutnya dengan sebutan Kuta Kaphe, yang artinya benteng kafir. Banteng tersebut sampai kini masih bisa kita jumpai dan lihat di sisi kiri dan kanan kanal sebelah barat Krueng Lamnyong.

Perjuangan rakyat Aceh dalam melawan kolonialis Belanda, sebagaimana dikatakan seorang penulis dari kalangan Belanda sendiri, yakni Paul Van't Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog, lamanya perang tersebut dapat dibandingkan dengan perang 80 tahun (1568-1648) yang pernah berlangsung di negeri Belanda, yakni perang antara Belanda dengan Spanyol. Bahkan, perang yang terjadi di Aceh pada akhir abad XIX dan awal abad XX korbannya jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan perang 80 tahun tersebut.

Perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang Aceh ini diakui oleh Belanda sebagai suatu perlawanan yang hebat dan sangat menyulitkan pihak Belanda saat menghadapinya.

Agar generasi Aceh senantiasa mengingat bagaimana gigihnya perjuangan para pejuang Aceh dahulu, sudah semestinya dari diri kita sendiri muncul rasa syukur dan bangga terhadap para pejuang yang sudah berhasil mengalahkan dan mengusir kolonialisme Belanda dari Aceh. Termasuk upaya taktis dan strategis pejuang Aceh mengundang masuknya Jeopang ke Aceh untuk membantu mereka mengusir Belanda.

Semakin banyak kita tahu tentang masa lalu maka semakin siap kita untuk menjalani masa depan. Karena, dengan mengingat masa lalu, kita makin menyadari bahwa kita memiliki tanggung jawab  besar untuk membangun bangsa sambiil menjaga warisan sejarah bagi generasi di belakang kita.  

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved