Opini
Lamuri Bangsa Camik Pertama di Aceh?
Negeri Lamuri bertukar nama menjadi Aceh Darussalam dan menaklukkan sebagian besar Sumatera dan Semenanjung Melayu.
Septhia Irnanda, Peneliti bahasa dan pemerhati sejarah Universitas Serambi Mekkah
PADA abad ke-11 Masehi, Chola, sebuah kerajaan besar di India Selatan mencatat deretan nama pelabuhan milik Sriwijaya di Selat Malaka yang digempurnya. Salah satu nama pelabuhan Sriwijaya yang tercantum pada transkripsi Tanjore itu adalah Lamuridesam yang disebutkan memiliki kekuatan perang yang canggih. Sekitar 2 abad sebelumnya, atau di abad ke-9 Masehi, Ibn Khurdadhbih dan Akhbar al-Sin w’al Hind, dua penjelajah dari Arab yang mendarat di Sumatra untuk berburu kapur barus juga sempat mencatat keberadaan negeri bernama mirip.Ramni, begitu namanya tertulis, disebutkan memiliki banyak gajah, badak dan hasil bumi berupa pohon-pohon kamper yang menjulang tinggi.
Sampai di sini, bukti sejarah membuktikan bahwa tanah Aceh telah dikelola oleh sebuah bangsa yang maju sejak milenium pertama masehi. Selang 600 tahun kemudian, di abad ke-15 Masehi, negeri Lamuri bertukar nama menjadi Aceh Darussalam dan menaklukkan sebagian besar Sumatera dan Semenanjung Melayu. Bahasa Aceh dan Bahasa Melayu adalah bahasa mereka.
Bahasa pertama disebutkan berelasi dengan bahasa Camik dari daratan Asia, sedangkan bahasa yang kedua merupakan bahasa yang ditutur luas di bagian barat sampai timur kepulauan Asia Tenggara. Para ahli masih berbeda pendapat mengenai waktu masuknya nenek moyang penutur bahasa Aceh ke Sumatra. Apakah bahasa ini sudah ditutur sejak masa Lamuri kuno? Atau baru ada beberapa dekade sebelum kerajaan Aceh berdiri? Dari analisis dialek, kemungkinan besar, Lamuri kuno adalah bangsa Camik pertama yang mengungsi ke ujung pulau Sumatera.
Saudara yang bersatu kembali
Pada Bahasa Aceh, perbedaan mencolok terlihat pada dialek Aceh Utara dan Aceh Besar. Perbedaan antara keduanya terletak bukan hanya pada bunyi, perbendaharaan kata, namun juga susunan kalimat. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kedua dialek ini pernah terpisah lama dan berkembang masing-masing. Dialek-dialek Pantai Utara banyak meminjam kosakata bangsa Melayu dan suku Temiar dari Semenanjung Melayu. Sebagai contoh, penambahan bunyi glotal pada kata ‘raya’ sehingga menjadi ‘rayeuk’ adalah pengaruh bahasa dari seberang Selat Malaka.
Orang asli Aceh Besar, masih menggunakan kata ‘raya’ atau ‘rayeu’ yang lebih mirip Camik asli. Penulis memperkirakan, bersatunya Aceh-Pasai di 1520 Masehi menyebabkan dua dialek yang telah lama terpisah ini bertemu kembali. Karena Pasai lebih dulu Islam saat itu, orang-orang Lamuri melihat orang Pasai sebagai saudara yang lebih ‘berperadaban’, dengan bahasa yang lebih aristokrat dan sopan.
Tak heran, dialek Pasai menjadi populer dan tersebar di Aceh Besar sampai ke Aceh Selatan sejak itu. Saat Snouck Hurgronje berada di Kutaraja di abad ke-19, ia membedakan kedua dialek ini sebagai dialek dataran rendah dan dataran tinggi. Tentu saja, dialek yang populer yang dipakai di dataran rendah, atau ibukota Aceh abad 19 tersebut adalah dialek Pasai yang sudah bercampur dengan dialek Lamuri.
Apabila Pasai dan Lamuri adalah dua dialek yang berbeda, pertanyaannya, apakah dialek Pasai berkembang dari salah satu dialek Lamuri? Atau Pasai merupakan bangsa Camik lain yang masuk belakangan dan memilih bertempat di Pantai Utara? Bagaimanapun kebenaran sejarahnya, tampak jelas bahwa kedua kelompok ini saling tidak terkoneksi cukup lama. Istilah-istilah Camik seperti sebutan untuk ‘tandan’, yang dalam Proto-Camik disebut amung, hanya tinggal 'mu' saja di dialek Pase dan Pidie.
Sedangkan di pedalaman Lamno dan sekitar Indrapuri Aceh Besar, kata ini masih memiliki akhiran sengau, mung. Masih ada beberapa contoh lain yang Penulis rangkum namun akan terlalu panjang bila dijabarkan di kolom ini. Semua data mengarah pada fakta bahwa Aceh Besar dan Aceh Jaya, atau yang dulu dikenal sebagai Lamuri, adalah tempat awal bahasa Camik berkembang di ujung Sumatra.
Analisis Perbandingan kosakata Bahasa Aceh yang dilakukan penulis juga menemukan banyak pengaruh Melayu Tinggi (Melayu yang dipakai Kerajaan Melayu seperti Johor dan Malaka), serta serapan dari bahasa Suku Asli Malaysia (seperti Temiar dan Semai) dalam bahasa Aceh, khususnya pada dialek Aceh Utara.
Selain itu, Penulis juga menemukan bahwa dialek Pantai Utara (Pidie dan Pase) memiliki lebih banyak kosakata serapan Austroasiatik (atau yang dulu disebut Mon-Khmer) dari Champa periode 1000 Masehi ke atas, sedangkan Dialek Aceh Besar dan Aceh Jaya (Lamno & Daya) tidak. Ini memberi indikasi bahwa dialek utara sempat mendapat pengaruh bahasa Camik dari gelombang pengungsian yang lebih baru.
Sebagai contoh, di Pantai Utara, selain kata 'gom', kata 'crup', ‘tengkurap’ juga cukup banyak digunakan, sementara pantai barat dan selatan hanya mengenal kata 'gom'. Selain itu, perubahan awalan c- menjadi t- , seperti pada kata tuco ‘cucu’ dan ticak ‘cicak’ pada beberapa dialek Pidie juga merupakan indikasi adanya pengaruh bahasa Camik lain. Bisa jadi, pendiri Pasai adalah keturunan Lamuri yang bermigrasi ke pantai utara pasca porak-porandanya Sriwijaya oleh Chola.
Mereka kemudian bercampur dengan bangsa-bangsa dari seberang Selat Malaka, yang menurut banyak ahli, dulunya bukan hanya ditinggali oleh bangsa Melayu, tapi juga Bangsa Mon dan belakangan, Bangsa Thai yang mengungsi dari utara. Kelompok pengungsi Campa lain yang berbahasa Camik bisa jadi juga mendiami Semenanjung Melayu, lalu masuk ke Sumatra melalui pantai utara. Interaksi bangsa Camik di Samudra Pasai dengan etnis-etnis ini di sepanjang awal milenium kedua menyebabkan bahasa Camik yang berkembang di Samudra Pasai semakin berbeda jauh bentuknya dengan bahasa asalnya di Aceh Besar.
Sementara itu, kondisi yang bertolak belakang terjadi di Lamuri hingga ke pantai Barat Selatan. Menurunnya popularitas kota Barus menyebabkan bahasa Camik yang ditutur di sini sementara waktu terisolasi dari dunia luar, sehingga saat dibandingkan dengan bahasa Proto-Camik, dialek Indrapuri dan Daya menunjukkan kemiripan yang lebih banyak dibanding Proto-Camik dengan dialek Aceh lainnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.