Kupi Beungoh
Mengenang Aceh Masa Lampau: Guru Dunia Melayu
Dari proses belajar di Rumoh Manuskrip, kami mulai paham akan Aceh kedudukan Aceh masa kesultanan dulunya.
Oleh : Iqhlasul Amal dan Nanda Tiarani
Pada hari Selasa 5 November 2024 kami mahasiswa dalam Mata Kuliah “Kajian Islam” di UIN Ar-Raniry mengikuti kuliah umum di Rumoh Manuskrip Aceh milik Tarmizi A Hamid di Gampong Ie Masen Kayee Adang, Banda Aceh. Adapun MK Kajian Islam diasuh oleh Hasan Basri M Nur.
Setiba di Rumoh Mansukrip Aceh, kami langsung dikejutkan dengan berbagai koleksi manuskrip yang terpajang. Berbagai macam karya tulis tangan yang indah dan terawat tertata rapi dalam rak dan meja.
“Koleksi manuskrip di sini rata-rata berusia di atas 200 tahun. Inilah adalah sebagian dari karya monumental ilmuwan Aceh masa lampau,” ujar Tarmizi A Hamid.
Aceh Guru Dunia Melayu
Dari proses belajar di Rumoh Manuskrip, kami mulai paham akan Aceh kedudukan Aceh masa kesultanan dulunya.
Pada masa jayanya, Aceh pernah menjadi satu dari lima negara Islam paling berpengaruh di dunia bersama Turki Usmani, Persia (Iran), Mughal (India), dan Maroko.
Aceh masa lampau tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada era kejayaannya, Aceh merupakan bagian dari peradaban dunia.
Lalu apa indikator kemajuan peradaban Aceh pada masa lampau? Sedikitnya terdapat tiga indikator untuk menilai kemajuan pendidikan Aceh masa kesultanan.
Pertama, Aceh pada masa kesultanan adalah tempat berkumpulnya para intelektual yang berasal dari manca negara. Sebagai contoh, Syekh Nuruddin Ar-Raniry berasal dari Indonesia tapi ilmunya berkembang saat beliau pindah dan menetap di Aceh.
Nuruddin Ar-Raniry, Abdurrauf As-Singkili, Syamsuddin As-Sumatrani bersama para ilmuwan lain menulis sangat banyak buku/kitab dengan berbagai tema, meliputi ilmu agama, sastra, pemerintahan, antropologi, perobatan dan lain-lain.
Kedua, buku-buku karya ilmuwan Aceh selanjutnya menjadi bahan bacaan bagi penduduk muslim di tanah Melayu. Buku-buku karangan ilmuwan Aceh dipelajari di Malaysia, Brunei Darussalam, Patani (Thailand), Singapura hingga Philipina, bahkan Kamboja.
“Bahkan di Malaysia dan Malaysia masih menjadi bahan bacaan hingga saat ini,” kata Tarmizi.
Ketiga, Banda Aceh sebagai ibukota menjadi pusat pendidikan Islam bagi dunia Melayu.
“Para pelajar dari negara-negara tetangga berdatangan untuk belajar di Aceh kala itu. Kondisi kemajuan pendidikan Aceh masa lampau berbeda dengan yang ada sekarang ini,” ujar Hasan Basri M Nur.
Senada dengan Hasan Basri M Nur, Bustami Abubakar dalam artikelnya berjudul Masjid Raya Baiturrahman: Situs Sejarah dan Budaya di Kota Banda Aceh, menyebutkan dalam abad XVI dan XVII M, Masjid Raya Baiturrahman tidak hanya berfungsi sebagai tempat kegiatan ibadah, melainkan juga menjadi lembaga perguruan tinggi yang terbesar di Asia Tenggara.
Perguruan Tinggi atau Al-Jamiah Baiturrahman Banda Aceh disebutkan memiliki 15 fakultas dengan berbagai prodi. Para pengajarnya, selain berasal dari kalangan sarjana dari Aceh, juga didatangkan dari Turki, Arab, Persia, India, dan beberapa negara lain. Luar biasa Aceh masa lampau.
Atas dasar tiga indikator di atas, maka sangat beralasan menyebutkan bahwa Aceh sebagai guru bagi dunia Melayu. Orang-orang dari semua penjuru di Tanah Melayu belajar pada ilmuwan Aceh, baik datang langsung ke Aceh maupun membaca kitab karangan orang Aceh di negara mereka.
Alhamdulillah, kami berkesempatan menyaksikan beberapa peninggalan intelektual Aceh masa lampau di Rumoh Manuskrip Aceh.
Kami menyaksikan Kitab “Bustanussalatin” yang ditulis dalam bahasa Melayu dimana kitab ini sangat populer bukan hanya di Aceh, melainkan juga di dunia Melayu.
Di Rumoh Manuskrip Aceh kami juga menyaksikan kitab berjudul “Sirat al-Mustaqim”, Kitab “Turjuman Al-Mustafid” hingga Kitab Mir-atu at-Thullab dan berbagai karya tulis lainnya.
Banyak manuskrip Aceh ditulis dalam bahasa Melayu. Ini bertujuan agar kaum pelajar dari negara-negara dapat memahami isi kitab dengan mudah. Sebagian lagi ditulis dalam Bahasa Arab.
Pemilihan bahasa Melayu dan Arab ini menunjukkan bahwa ilmuwan dan Kerajaan Aceh masa lampau bervisi internasional. Mereka ingin menyebar pengaruh ke luar negeri dan visi ini mampu diwujudkan. Sungguh luar biasa.
Kondisi Aceh sekarang tampak tertinggal jauh dibanding era kesultanan dulunya. Aceh sekarang harus diakui hampir tidak memiliki lagi pengaruh di tanah Melayu.
Oleh sebab itu, generasi muda dari kalangan Gen Z dan Gen Alpha perlu tekun dalam belajar, termasuk mempelajari berbagai kehebatan pendahulu, agar menjadi sumber inspirasi dalam mengembalikan era kejayaan Aceh atau Reinkarnasi Aceh. Semoga!
Banda Aceh, 6 November 2024
Penulis, Iqhlasul Amal adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum dan Nanda Tiarani Mahasiswa Prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah UIN Ar-Raniri Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Artikel KUPI BEUNGOH lainnya baca DI SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.