KUPI BEUNGOH

Pilkada 2024, Momentum Menentukan Pemimpin Ideal untuk Aceh

Rakyat Aceh perlu menjadikan Pilkada 2024 sebagai momentum untuk memilih pemimpin ideal yang mampu membawa perubahan nyata bagi masa depan Aceh.

Editor: Yocerizal
Serambinews.com
Zahrul Fadhi Johan, Anggota Bawaslu Kota Banda Aceh. 

Oleh : Zahrul Fadhi Johan *)

TONGGAK sejarah baru akan tercipta di negeri ini. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) atau yang dikenal dengan istilah pemilihan, termasuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota, untuk pertama kalinya akan dilaksanakan serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 27 November 2024.

Rakyat Aceh perlu menjadikan Pilkada 2024 sebagai momentum untuk memilih pemimpin ideal yang mampu membawa perubahan nyata bagi masa depan Aceh.

Selama beberapa tahun terakhir, Aceh seperti kapal tua yang nyaris tenggelam tanpa terpaan badai. Aceh terperosok dalam jurang kemiskinan, menghadapi tingginya angka pengangguran, dan mengalami kemunduran di berbagai sektor kehidupan.

Kini, Aceh sudah kehilangan arah, seolah menjadi tanah tidak bertuan yang terabaikan. Pergantian gubernur atau pejabat gubernur yang silih berganti hanya menambah ketidakpastian, tanpa ada keberlanjutan kebijakan dan program yang konsisten.

Siapa sangka, Aceh seyogyanya adalah daerah yang memiliki begitu banyak sumber daya manusia yang memadai, dan sumber daya alam yang katanya luar biasa dan memikat, justru menjadi yang terdepan dalam urusan angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.

Namun sayangnya, segala potensi yang ada tidak ditompangi dengan baik. Kaum terdidik lulusan sarjana, magister, dan doktor, kewalahan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. 

Sementara itu, kekayaan Alam Aceh, semisal emas, gas, minyak, serta hasil perkebunan, pertanian dan laut belum tergarap sepenuhnya. Semua ini menjadi catatan yang patut dicatat oleh para kandidat calon yang sedang bertarung pada Pilkada 2024. 

Pemimpin Ideal

Pemimpin ideal bukanlah sosok yang menjanjikan janji manis dengan retorika kosong dan bualan semu saat menyampaikan visi, misi, dan programnya kepada masyarakat.

Baca juga: VIDEO - Siaga Agresi Israel, Iran Perluas Pangkalan Rudal hingga Pelosok Negara

Baca juga: VIDEO Israel Bombardir Beirut Semalaman, Puluhan Roket Hizbullah Sasar Kawasan Industri Haifa

Sebaliknya, pemimpin ideal adalah pribadi yang tulus, berintegritas, dan berkomitmen tinggi yang berbicara dengan kejujuran dan membuktikan kata-katanya melalui tindakan nyata.

Secara prinsip, pemimpin ideal tidak hanya berbicara tentang perubahan, tetapi juga menjadi agen perubahan melalui kebijakan dan langkah konkret yang berpihak pada rakyat. 

Pemimpin ideal mengutamakan kepentingan rakyat di atas segala kepentingan lainnya, tanpa terpengaruh oleh kepentingan pribadi, kelompok, etnis, atau entitas tertentu yang dapat memecah belah persatuan.

Namun demikian, pemimpin yang dibutuhkan Aceh saat ini adalah sosok yang bertanggung jawab atas setiap janji yang diucapkan, memiliki sifat jujur, amanah, dapat dipercaya, serta cerdas dan berwawasan luas. 

Sebagaimana penulis gambarkan pada paragraf di atas, pemimpin tersebut bukan hanya berbicara tentang perubahan, tetapi juga menjadi agen perubahan yang nyata melalui kebijakan dan langkah konkret yang berpihak pada rakyat Aceh. 

Serta memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dan bijaksana dalam menyelesaikan berbagai persoalan Aceh.

Bijak dalam Memilih

Menentukan pemimpin yang ideal untuk memimpin Aceh lima tahun ke depan bukanlah perkara mudah. Di era sekarang, kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi telah mengubah cara masyarakat dalam menentukan pilihannya.

Segala informasi dapat dengan mudah dimanipulasi, dan penyebaran berita hoaks, black campaign (kampanye hitam), dan negative campaign (kampanye negatif), menjadi hal yang lumrah.

Baca juga: Pedagang Mi Caluk Dapat Hadiah Utama Sepeda Listrik dalam Jalan Sehat Pilkada Damai di Pidie Jaya

Baca juga: VIDEO Jurnalis Tel Aviv Diteror Warga Belanda saat Meliput, Massa Teriakkan Slogan Menentang Israel

Manipulasi data dan informasi juga sering terjadi secara masif dan tanpa kendali. Situasi ini menciptakan tantangan besar bagi pemilih untuk memilah informasi yang benar dan relevan demi menentukan pilihan yang tepat.

Selain itu, politik identitas dan politisasi agama menjadi isu krusial yang kerap dimainkan dan dipolitisasi oleh para calon, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. 

Para calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota, tidak luput dalam memanfaatkan isu-isu ini sebagai strategi untuk memperoleh dukungan, yang dapat memecah belah masyarakat dan mengaburkan fokus pada kualitas kepemimpinan.

Lebih lanjut, tantangan terbesar dalam Pilkada Aceh adalah praktik money politic (politik uang) yang sering digunakan untuk mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan. 

Praktik ini jelas dilarang dalam undang-undang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU Nomor 10 Tahun 2016, yang mengatur larangan politik uang dalam pemilihan, serta ketentuan sanksi tegas tercantum dalam Pasal 187A ayat (1) dan (2). 

Bagi penerima maupun pemberi suap, ancaman hukumannya adalah pidana penjara selama 36 hingga 72 bulan, serta denda sebesar Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.

Dalam konteks ini, lembaga pengawas di Aceh, yakni Panwaslih, memiliki peran penting dalam menegakkan keadilan dan mewujudkan demokrasi yang bersih pada Pilkada Aceh. 

Pengawas tidak hanya bertugas mengawasi jalannya pemilihan secara langsung, tetapi juga berperan aktif dalam mencegah dan mengambil tindakan tegas terhadap segala bentuk pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan oleh peserta maupun masyarakat pada setiap tahapan kontestasi.

Selain itu, penyelenggara pemilihan, dalam hal ini Komisi Independen Pemilihan (KIP), diharapkan dapat bersikap netral dan tidak melanggar ketentuan yang telah ditetapkan selama proses tahapan berlangsung.

Baca juga: Nasib Pengantin Baru, Habiskan Malam Pertama di Polsek Gegara Isi Tas Petugas Catering saat Resepsi

Baca juga: Bom Bunuh Diri di Stasiun Kereta Pakistan Tewaskan 26 Orang Termasuk Tentara, Puluhan Terluka

Kemudian, peran paling penting dalam pelaksanaan pemilihan adalah keterlibatan seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemangku kepentingan, dalam mengawal setiap tahapan. 

Dengan adanya pengawasan yang aktif dari masyarakat, diharapkan pemilihan di Aceh dapat berjalan dengan damai tanpa adanya tekanan atau intimidasi dalam bentuk apa pun.

Masyarakat Aceh perlu diberdayakan agar benar-benar dapat menentukan dan memilih pemimpin yang ideal, tanpa terpengaruh oleh isu-isu hoaks, black campaign, negative campaign, politik identitas, serta politisasi agama. Dan tentunya, masyarakat harus siap melawan segala bentuk praktik-praktik money politic.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemimpin masa depan Aceh yang ideal, diperlukan keterlibatan semua unsur, baik dari lembaga penyelenggara pemilihan, pemangku kepentingan, maupun seluruh lapisan masyarakat, dalam mengawal berjalannya pemilihan secara damai dan demokratis di Aceh. 

Diharapkan, kepada seluruh masyarakat yang memiliki hak pilih, harus bersikap bijak dalam menentukan pilihan pada hari pemungutan suara 27 November 2024. 

Dengan demikian, pemimpin yang terpilih untuk memimpin Aceh lima tahun ke depan, baik dari tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota benar-benar sosok yang mampu menahkodai Aceh yang hampir karam dalam keterpurukan.(*)

*) PENULIS adalah Anggota Bawaslu Kota Banda Aceh (Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa). Email: zahrulfadhijohan@gmail.com.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved