Opini
Kotak Kosong: Alternatif atau Protes dalam Pilkada
Karena tanpa adanya rekrutmen politik maka suatu partai politik tidak akan memiliki kandidat atau anggota yang dapat diandalkan dalam berbagai kegiata
Oleh: Siti Muthmainnah*)
DALAM buku How Democracies Die karya Stevan Levitsky dan Daniel Ziblatt yang diterjemahkan pertama kali dalam bahasa Indonesia yang berjudul “bagaimana demokrasi mati” oleh PT gramedia Pustaka Utama tahun 2019 disebutkan bahwa demokrasi bisa mati karena kudeta atau mati pelan-pelan.
Kematian itu bisa tak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah misal dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah dan penindasan total atas oposisi, termasuk juga dengan mendominasi pencalonan dalam pemilihan.
Muhammad Jafar AW dalam jurnalnya yang berjudul Peranan Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia menjelaskan bahwa partai politik merupakan sarana rekruitmen politik, mengapa demikian?
Karena tanpa adanya rekrutmen politik maka suatu partai politik tidak akan memiliki kandidat atau anggota yang dapat diandalkan dalam berbagai kegiatan politik, dengan adanya rekrutmen politik diharapkan adanya upaya dari partai politik untuk mencari dan menyeleksi kader-kades politikus yang berbakat dan turut terlibat aktif dalam kegiatan politik, dengan cara ini suatu partai politik dapat memperluas partisipasi politik di kalangan masyarakat.
Politikus memainkan peran yang sangat penting dalam sistem demokrasi, karena mereka merupakan individu yang terpilih atau dipilih untuk mewakili kepentingan rakyat, membuat kebijakan, dan mengelola pemerintahan.
Jika sebagian besar orang tidak berminat dalam politik, maka dampaknya bisa sangat signifikan terhadap kualitas dan kelangsungan demokrasi. Demokrasi, pada dasarnya, tergantung pada partisipasi aktif rakyat dalam berbagai aspek kehidupan politik, mulai dari pemilihan umum (pemilu) hingga pengambilan keputusan dalam pemerintahan. Ketika masyarakat tidak tertarik atau apatis terhadap politik, beberapa masalah dapat muncul yang berpotensi melemahkan demokrasi itu sendiri.
Dalam konteks pemilihan kepala daerah atau pilkada di Indonesia, salah satu hal yang akan membawa demokrasi mati perlahan-lahan adalah munculnya fenomena kotak kosong dalam pilkada.
Jika ditarik garis ke belakang, fenomena melawan kotak kosong pertama kali tercetus pada pilkada tahun 2015, dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 yang menjadi solusi dari kebuntuan keadaan yang saat itu terjadi, kebijakan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi saat itu merupakan solusi dari persoalan terkait pasal yang berisi syarat minimal harus ada dua paslon kandidat dalam ajang kontestasi pemilihan kepala daerah.
Dengan kata lain harus adanya perlawanan antar paslon sehingga adanya pilihan agar rakyat tidak dirugikan hak konstitusinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi menurut UUD 1945. MK memberikan alternatif dengan menambahkan kotak kosong disamping satu-satunya paslon yang ada, diharapkan dengan adanya kotak kosong maka rakyat menjadi punya pilihan dalam memilih, sehingga rakyat tidak merasa dirugikan hak konstitusinya.
Ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan pilkada akan tetap terlaksana meskipun hanya ada satu pasangan calon pada tahun 2015, berdampak pada fenomena kotak kosong ini terus berulang terjadi dan terus terjadi peningkatan di tiap daerah tiap melangsungkan Pemilihan Kepala Daerah. Puncaknya terjadi saat pilkada 2024 totalnya ada 37 daerah yang melawan kotak kosong (Kompas, 23 September 2024).
Kondisi merupakan hal yang sangat memprihatinkan dalam demokrasi di Indonesia, mengingat bahwa Indonesia merupakan jumlah penduduk terbanyak keempat di seluruh dunia dengan 281 juta penduduk, tetapi sangat kurang dalam minat berpolitik di Indonesia.
Dalam demokrasi, kotak kosong bukanlah sebuah pilihan, hal ini memperjelas bahwa demokrasi tidak berjalan sesuai dengan semestinya.
Mengapa fenomena kotak kosong muncul?
Fenomena kotak kosong dalam Pilkada terjadi ketika pemilih memilih untuk tidak memilih kandidat tertentu, dan memilih opsi “kotak kosong” sebagai bentuk protes atau karena ketidakpuasan terhadap kandidat yang ada. Fenomena ini seringkali mencerminkan adanya ketidakpercayaan atau kekecewaan terhadap kualitas calon kepala daerah, partai politik, atau sistem demokrasi yang ada.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.