Opini

Berpikir Radikal dan Logis Memberantas Korupsi

MOMEN Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang diperingati setiap tanggal 9 Desember merupakan perjalanan sejarah

Editor: mufti
IST
Prof Dr Mohd Din SH MH, Guru Besar Hukum Pidana USK 

Prof Dr Mohd Din SH MH, Guru Besar Hukum Pidana USK

MOMEN Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang diperingati setiap tanggal 9 Desember merupakan perjalanan sejarah sejak ditetapkan  pada 31 Oktober 2003 melalui Sidang Majelis Umum ke-58, dan mulai diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia pada Tahun 2005.

Niat awalnya bermula dari kesadaran yang timbul terhadap dampak buruk praktik korupsi sendiri yang diinisiasi oleh Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan Pada 30 Oktober 2003, sehingga 40 hari kemudian tepatnya pada tanggal 9 Desember, PBB menyetujui Perjanjian Antikorupsi pertama di dunia yang dilakukan di Merdia, Meksiko. Beberapa negara sepakat untuk menyatukan komitmen dan menegakkan sikap antikorupsi, karena korupsi sudah menjadi musuh bagi umat manusia dan dianggap sebagai kejahatan luar biasa.

Bangsa Indonesia sangat menyadari bahwa korupsi itu sangat merusak sendi-sendi bernegara. Sehingga semangat pemberantasannya telah tampak sejak awal kemerdekaan dengan menggunakan perangkat aturan; Undang-undang Antikorupsi sekarang merupakan rentetan dari peraturan perundangan sebelumnya, seperti penggunaan pasal-pasal dalam KUHP,  Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957, Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957, Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 atau Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor 13 Tahun 1958 serta peraturan pelaksananya Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 dan Undang-Undang Nomor 24/prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, sehingga diundangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, dan akibat yang ditimbulkan berdampak secara luas di masyarakat. Sehingga tindak pidana ini digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Jadi tujuan dari dibuatnya undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut adalah untuk mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi.

Kilasan dari perundang-undangan yang ada mencerminkan betapa seriusnya persoalan ini dan semangat pemberantasannya juga begitu menyala-nyala. Undang-undang menutup rapat celah-celah korupsi, namun dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, maka hal tersebut sudah menjadi sedikit memudar.

Dalam putusannya, Mahkamah menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delik materil). Tegasnya, unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tindak pidana korupsi.

“Pencantuman kata ‘dapat’ membuat delik kedua pasal tersebut menjadi delik formil. Padahal, praktiknya sering digunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara termasuk kebijakan atau keputusan diskresi atau pelaksanaan asas freies ermessen yang bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya. Ini bisa berakibat terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Tegasnya menurut Putusan MK ini delik korupsi menjadi delik materiil. Disadari memang di dalam penanganan tindak pidana korupsi sering terjadi yang demikian itu. Akan tetapi di dalam hukum tentu ada asas-asas yang harus ditegakkan mendampingi norma-norma yang ada.

Tren perkembangan

Adanya perubahan mendasar berkaitan delik korupsi seperti dijelaskan di atas, ternyata praktik korupsi bukannya berkurang. Tercatat tahun 2023 kejaksaan telah menagani sebanyak 2.117 perkara dengan total kerugian negara sebesar Rp152 triliun lebih. Hal ini menunjukkan tren perkembangan tindak pidana korupsi semakin meningkat dari tahun ke tahun, bahkan telah merambah ke sektor swasta dan perizinan. Kenyataan demikian, seperti korupsi pada PT Asabri yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp 23,73 triliun, perkara korupsi PT Jiwasraya, dan yang terkini perkara mega korupsi tata kelola pertambangan timah dengan kerugian total sebesar Rp300 triliun.

Secara regional praktik korupsi yang terjadi di Aceh pun, terus meningkat. Dalam catatan beberapa kasus mega korupsi telah ditindak oleh aparat penegak hukum. Seperti korupsi pada BRA yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp15 miliar, korupsi Atjeh World Solidarity Cup dengan kerugian negara Rp2,8 miliar, korupsi Majelis Adat Aceh dengan kerugian negara Rp2,6 miliar, korupsi beasiswa BPSDM Aceh dengan kerugian negara Rp10 miliar lebih, korupsi Wastafel pada Dinas Pendidikan Aceh dengan kerugian negara Rp7,2 miliar, dan masih banyak kasus korupsi lain di seluruh Aceh yang kerugian negara atau perekonomian negara cukup signifikan.

Strategi pemberantasan

Dari debat kandidat calon kepala daerah di beberapa kabupaten kota, terlihat dari tema tata kelola pemerintahan yang baik, adanya pertanyaan yang hampir sama. Yaitu bagaimana mengatasi keterbatasan APBK yang cenderung minim bahkan hampir habis untuk biaya rutin. Artinya, peluang korupsi dan pantauan tentu akan lebih ketat, sehingga kalau tidak hati-hati akan banyak pejabat pembuat komitmen yang akan tersandung korupsi.

Akankah penanganan yang dilakukan sesuai dengan semangat yang benar-benar untuk pemberantasan yang sesuai asas. Bukan kriminalisasi akan tetapi juga bukan dekriminalisasi.

Diketahui kriminalisasi diartikan sebagai upaya untuk melakukan pemberantasan yang dianggap terlalu berlebihan sehingga sedikit peluang untuk dapat lolos. Hal ini tentu dikaitkan dengan semangat dan untuk memberantas korupsi yang memang sangat meresahkan.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved