KUPI BEUNGOH

Penguatan Perdamaian Pasca Pilkada 2024

Pemerintahan tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, Tapi melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota mas

Editor: Muhammad Hadi
for Serambinews
Yunidar.Z.A, Anggota Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) 

Oleh: Yunidar Z.A*)

Perang, kekerasan, kerusuhan sangat merugikan, terjadinya instabilitas politik, kemiskinan, penyakit, kurang pendidikan, kurang makan, kurang gizi, serta hutang dan bunganya.

Ditambah lagi korupsi yang menimbulkan perdamaian negatif (Galtung - tidak adanya perang dan kekerasan langsung).

 Celakanya, ketidak adilan ekonomi, kertimpangan terjadi.

Oleh karenanya dalam Penciptaan perdamaian, maka bersiaplah untuk berdamai dalam peace network, demikian juga sebaliknya.

Jaringan perang, rusuh, nir damai akan menciptakan ketidakstabilan untuk mendapatkan keuntungan dari kondisi tidak aman tersebut.

Nah, dalam pelaksaaan Pilkada serentak 2024 lalu, jaringan perdamaian mulai tumbuh dalam masyarakat Aceh.

Pelaksaan Pilkada serentak di seluruh Indonesia diapresiasi, damai dan sukses. 

Pesta demokrasi Pilkada tersebut sebagai resolusi konflik, pergantian kepemimpinan daerah kepada yang terpilih, mendapatkan suara terbanyak.

 Sesuai dengan mekanisme aturan perundang-undangan. Peserta mengikuti konstestasi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU-RI) atau Komisi Independen Pemilih (KIP) untuk di Aceh, sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang  Pemerintahan Aceh. Mulai dari tahapan perencanaan sampai dengan pemilihan secara serentak pada tanggal 17 November 2024.

Bagaimana dengan Aceh pasca Pemilihan Kepala Daerah secara serentak 17 November 2024?

Masyarakat Aceh telah mempraktekkan nilai-nilai demokrasi dalam proses yang terus berjalan. Masyarakat berharap pilkada memberikan suatu yang baru untuk membangun Aceh lebih baik, harapan terbukanya lapangan pekerjaan adanya investasi, menurunnya angka kemiskinan, tersedianya rumah layak huni, terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat Aceh, dll.

Semuanya akan terwujud dengan memberikan kepercayaan kepada pemimpin baru, juga ikut aktif berpartisipasi dalam setiap proses perencanaan pembangunan yang dapat mensejahterkan semua masyarakat. 

Baca juga: Apresiasi untuk Mualem dan Om Bus

Pemerintahan tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, Tapi melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan bersama.

Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan layanan baik dan profesional. (Jurnal Ilmu Pemerintahan edisi 32 Tahun 2010, hal 53). Pelayanan Publik oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat. 

Dalam rangka untuk menciptakan kesejahteraan dibutuhkan stabilitas daerah yang baik, yaitu suatu kondisi yang aman, tentram dan damai.

 Fasilitasi yang serius dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melibatkan berbagai stake holder agar selalu waspada atas berbagai keadaan dan kondisi di daerah yang rileks terhadap konflik sosial, akibat pengalaman masalalu dalam konflik kekerasan dan ketidak percayaan publik.

Pilkada telah selesai, saatnya para pihak berkerja sama untuk menurunkan suhu politik, membangun kepercayaan publik agar dapat menghilangkan ketidak percayaan atau menghindari terjadinya konflik.

Sebagaimana kita ketahui bahwa, konflik adalah penggunaan kekerasan oleh para pihak untuk mendapatkan tujuan, baik ekonomi, politik, maupun sosial budaya.

Konflik tidak terlepas dari perebutan terhadap nilai (value), kepentingan (interests), dan kebutuhan (needs). Namun, konflik sebenarnya tidak masalah bila tidak terjadi gesekan kekerasan atau saling memuhankan antara satu pihak dengan pihak lainnya.

Nah, dalam pelaksanaan pilkada, perdamaian sebuah hasil perjuangan dari kesepahaman bersama konsensus (resolusi konflik) para pihak untuk mengikuti semua tahapan dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan kesetaraan.

Ini sesuai bahwa dalam penyelesaikan konflik kekerasan bukan hanya meniadakan konflik itu sendiri tetapi bagaimana untuk mentransformasikan konflik dengan kekerasan secara potensial, aktual ke dalam proses perubahan politik dan sosial secara damai. 

Mengobati kekecewaan para pihak terhadap penyebab akar konflik; ekonomi, kekecewaan, ketidak adilan sosial, dan politik. Utamanya Pemilihan Kepala Daerah secara demokratis diharapkan menjadi pengakhiran berbagai konflik dalam masyarakat.

Politik demokrasi di Aceh selalu menjadi perhatian dan barometer nasional karena pengalaman pelaksanaan pilkada di Aceh pada masa lalu yang sering terjadi gesekan para pemilih dengan kekerasan, pemaksaan lebih tegang dan memanas.

Karena aktor-aktor politik masalalu yang masih bersikap dan bertindak dengan cara-cara kekerasan fisik dan psikologis, intimidasi, pembakaran, penggranatan rumah.

Penguatan Perdamaian

Aceh punya sejarah dan akar konflik dengan kekerasan. Para pemimpin Aceh berfikir dan bertindak sebagai putera Aceh, pemeluk Islam. (Audrey R. Kahin. 1990, hal 89), merasakan bahwa orang aceh telah berperang 70 tahun lamanya, sejak perang Aceh dengan Belanda dimulai pada bulan April 1873.

Dari zaman penjajahan sampai hari ini orang Aceh tidak pernah merasakan kalah perang (dijajah) oleh karenanya hasil Pilkada juga menjadi barometer di Aceh dalam menentukan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik Aceh dalam kurun waktu 2025-2030.

Permasalahan Aceh sekarang mungkin berbeda dengan 20 tahun lalu atau paling tidak dalam 15 tahun terakhir.

Masalah ekonomi sangat mendominasi permasalahan, kesenjangan ekonomi, tingkat pengangguran dan kemiskinan padahal Aceh daerah yang kaya hasil alamnya dibandingkan dengan daerah lain, dana otonomi khusus, bagi hasil migas, perkebunan sawit, sawah, hasil dari laut yang berlimpah, dana hibah penghasil karbon dll.

Seyogyanya kepemimpinan yang baik pilihan masyarakat Aceh, akan mensejahterakan masyarakat tersebut.

Secara umum masyarakat Aceh bersaing dalam kehidupan, sosial, ekonomi, dan politik. Perlu dukungan peneliti atau akademisi untuk membuat kajian lebih lanjut data kehidupan mereka, kebutuhan mereka, kepemimpinan yang ada sekarang ternyata belum memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan ekonomi dan taraf hidup masyarakat Aceh.

Baca juga: VIDEO Brigade Al Quds Kirim Sekelompok Kerumunan Tentara Israel ke Dunia Lain

Transformasi dari konflik ke perdamaian agar mematuhi aturan hukum norma-norma yang berlaku dalam kehidupan berbagsa dan bernegara.

Ketertiban, keamanan, demokrasi, kedamaian, kesejahteran yang selalu melekat sebagai sebuah harapan baru menjadi suatu yang sangat sulit untuk didapatkan masyarakat oleh karenanya perlu perekat sosial yang berdampak jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang untuk memperkuat dan mempererat tali persaudaraan dalam menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Perekat keutuhan ini harus dipupuk dalam sebuah kerja nyata dalam membentuk karakter bangsa yang peduli, khauri,  gotong - royong dan bersama dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. 

Kompleksitas permasalahan konflik sosial terus bermetamorfosis dalam bentuk yang berbeda, kepentingan yang tidak kesampaian juga tuntutan yang terus berkembang sehingga masalah yang dihadapi menjadi tidak terselesaikan dengan baik.

Keberadaan aktor, para pihak pemangku kepentingan menjadi sangat penting dalam menganalisa hal tersebut, karena adanya kelompok kepentingan yang mendapatkan keuntungan dari keadaan buruk.

Sehingga terjadinya dorongan masyarakat untuk tarik  menarik agar kembali rilek kepada konflik kekerasan,  dan mereka mendapat keutungan sepihak bila terjadi konflik, anarki, caos dan kekacauan.

Kekerasan politik, kolusi, korupsi dan nepotisme masih terjadi akibat ketidak adilan, para pihak, memiliki motif politik.

Resolusi konflik adalah program transformatif terhadap perubahan tersebutn dan untuk meningkatkan demokrasi di Indonesia khususnya di Aceh perlu diperhatikan dan peningkatan aspek kebebasan sipil, hak-hak politik, dan peningkatan lembaga demokrasi.

Kondisi Aceh kontemporer

Pilkada serentak 2024 berjalan dengan aman dan sukses. Tapi, budaya politik, sikap, perilaku dan tindakan masyarakat belum menjalankan sepenuh hati nilai-nilai demokrasi, belum bercirikan demokrasi sebagai budaya politik di daerah. Perlu penguatan masyarakat yang partisipatif.

Dalam pelaksanaan pesta demokrasi acapkali terjadi dua kutup masyarakat pemilih yang saling berhadap-hadapan untuk itu perlu adanya sinergitas dan pemahaman bersama bahwa pertarungan dalam politik untuk membangun kehidupan demokrasi yang beradab dan bermartabat, civilized. 

Budaya politik yang terjadi sekarang lebih karena membangunkan reaksi-reaksi politik emosional ketimbang budaya politik rasional masyarakat. Demokrasi menjadi komoditas politik dalam memenuhi ambisi dan pragmatisme kepentingan politik sektarian/primodialis semata.

Urgensitas membangun budaya komunikasi demokrasi dan budaya politik daerah yang berlaku prinsip learning by doing yang mengutamakan wawasan demokrasi, sehingga semua kontestan bersedia mengikuti aturan-aturan demokrasi.

Membangun kultur dan stuktur masyarakat yang bhinneka tunggal ika, mewujudkan demokrasi dan partisipasi politik masyarakat.

Akhirnya, suatu keniscayaan penguatan perdamaian pasca pilkada serentak di Aceh, sehingga dapat membantu mereduksi potensi konflik dimasa yang akan datang.

Semoga dalam Tahun 2025  2030 para pemangku kepentingan dapat mempersiapkan langkah untuk penguatan ekonomi, demokrasi, keamanan, dan perdamaian dalam NKRI.

*) PENULIS adalah Anggota Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI). 

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved