KUPI BEUNGOH
Perkebunan Sawit dan Hutan dalam Perspektif Hidrologi: Menakar Limpasan dan Risiko Banjir
Perkebunan sawit kembali menjadi topik diskusi hangat di ruang publik setelah pernyataan yang menyamakan perkebunan sawit dengan hutan primer.
Oleh: Dr. Cut Azizah *)
PERKEBUNAN sawit kembali menjadi topik diskusi hangat di ruang publik setelah pernyataan yang menyamakan perkebunan sawit dengan hutan primer. Pernyataan ini menuai perhatian luas, tidak hanya dari kalangan pemerhati lingkungan, tetapi juga para akademisi yang melihat isu ini dari berbagai perspektif, termasuk hidrologi.
Indonesia, sebagai salah satu produsen kelapa sawit terbesar di dunia, dihadapkan pada dilemma, antara mengutamakan keuntungan ekonomi dari komoditas strategis ini dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Perkebunan sawit memang menyerap karbon dioksida seperti pohon pada umumnya, tetapi menyamakan sawit dengan hutan primer memerlukan kajian lebih mendalam, terutama dalam konteks fungsi ekologisnya.
Dari sudut pandang hidrologi, hutan primer dan perkebunan sawit memiliki perbedaan mendasar, khususnya dalam pengelolaan limpasan permukaan (runoff). Hutan primer, dengan ekosistem yang kompleks, berperan sebagai penyerap air alami yang mampu mengurangi risiko banjir. Sebaliknya, perkebunan sawit, dengan struktur vegetasi yang lebih sederhana dan karakteristik tanah yang terkompaksi, cenderung meningkatkan limpasan permukaan.
Dalam tulisan ini, saya ingin memberikan pengayaan diskusi dari perspektif hidrologi. Bagaimana perbedaan penggunaan lahan ini memengaruhi siklus limpasan? Apa dampaknya terhadap risiko banjir di daerah hilir? Dengan pemahaman yang lebih baik tentang siklus limpasan, kita dapat menyikapi perdebatan ini dengan lebih obyektif dan berbasis data ilmiah.
Memahami Koefisien Limpasan (C)
Koefisien limpasan (C) adalah indikator dalam hidrologi yang menunjukkan proporsi air hujan yang menjadi limpasan permukaan dibandingkan dengan yang terinfiltrasi ke dalam tanah atau diserap oleh vegetasi. Nilai C berkisar antara 0 hingga 1.
Di mana: C mendekati 0 menunjukkan bahwa sebagian besar air hujan meresap ke dalam tanah, seperti pada hutan primer yang tidak terganggu. C mendekati 1 menunjukkan bahwa hampir seluruh air hujan menjadi limpasan, seperti pada area perkotaan dengan permukaan yang kedap air.
Faktor-faktor yang memengaruhi nilai C meliputi jenis tutupan lahan, karakteristik tanah yang dikenal dengan kelompok hidrologi tanah, intensitas hujan, dan kondisi topografi. Pemahaman tentang koefisien ini sangat penting untuk mengevaluasi risiko banjir, mengelola daerah aliran sungai (DAS), dan merancang sistem drainase yang efektif.
Hutan Primer dan Koefisien Limpasan
Dalam perspektif hidrologi sumber daya air, hutan primer memiliki peran penting dalam mengelola limpasan. Nilai koefisien limpasan (C) pada hutan primer berada di kisaran 0,30, yang berarti hanya sekitar 30 persen dari curah hujan yang menjadi limpasan permukaan. Sisa air hujan diserap oleh tanah melalui infiltrasi atau ditahan oleh vegetasi. Hal ini didukung oleh struktur akar yang dalam dan lapisan humus yang tebal, yang berfungsi sebagai penyerap alami dan penyangga ekosistem.
Sebagai tambahan dari literatur yang relevan, hutan primer juga dikenal mampu menjaga keseimbangan hidrologi melalui mekanisme intersepsi hujan oleh kanopi pohon dan penyerapan air oleh sistem akar yang mendalam.
Baca juga: Upaya Tangkap Harimau di Aceh Timur, BKSDA Pasang Perangkap, Bakar Kemenyan, Kambing Pun Jadi Umpan
Baca juga: Niat dan Tata Cara Ganti Puasa yang Tertinggal Ramadan Tahun Lalu, Jangan Sampai Telat Bayar
Analisis biogeofisika sistem hidrologi, seperti yang disampaikan dalam "Perspektif Sains Hidrologi Sumber Daya Air di Era Disruptif dan the Anthropocene" oleh Pawitan (2023), menegaskan bahwa hutan primer merupakan penopang utama dalam siklus air yang menjaga kestabilan aliran sungai dan cadangan air tanah. Dengan demikian, fungsi hidrologi hutan primer tidak hanya mengurangi risiko banjir, tetapi juga mendukung keberlanjutan sumber daya air.
Perkebunan Sawit dan Limpasan yang Lebih Tinggi
Sebaliknya, perkebunan sawit memiliki nilai koefisien limpasan (C) yang signifikan, tergantung pada kondisi penutup tanah dan jenis tanah. Berdasarkan berbagai literatur pada perkebunan sawit dengan tanah kosong penuh, nilai C mencapai 0,736 (73,6 % ), menunjukkan limpasan tertinggi.
Perkebunan sawit dengan penutup rumput penuh sekitar 0,417 (41,7 % ), menghasilkan limpasan terendah, setengah penutup rumput dengan nilai 0,456 (45,6 % ) dan perkebunan sawit dengan setengah daun kering mempunyai nilai 0,534 (53,4 % ).
Data ini menunjukkan bahwa penutup tanah yang lebih baik dapat secara signifikan mengurangi limpasan, tetapi tetap lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer yang memiliki koefisien limpasan rata-rata 0,30. Artinya, lebih dari 40 % hingga 70 % curah hujan yang jatuh di area perkebunan sawit dapat menjadi limpasan permukaan, tergantung pada kondisi tanah dan penutupnya.
Hal ini terjadi karena struktur tanah di perkebunan sawit seringkali terkompaksi akibat aktivitas seperti pemanenan dan penggunaan alat berat, serta lapisan vegetasi bawah yang minim, sehingga mengurangi infiltrasi dan meningkatkan risiko limpasan.
Dampak pada Banjir
Limpasan yang tinggi dapat menyebabkan air mengalir lebih cepat dan dalam volume yang lebih besar ke daerah hilir. Jika limpasan ini terakumulasi di wilayah yang dihuni manusia atau digunakan untuk aktivitas seperti pertanian, hal ini disebut banjir-suatu istilah yang menggambarkan bencana yang berdampak pada manusia atau aktivitasnya.
Pada hutan primer, kemampuan menahan air lebih baik berkat akar yang dalam dan lapisan humus yang tebal, yang memungkinkan infiltrasi air secara optimal. Hal ini menciptakan sistem alami yang membantu meredam aliran air, menjaga kestabilan aliran sungai, dan mengurangi risiko banjir di hilir.
Pada wilayah dengan dominasi perkebunan sawit, peningkatan limpasan permukaan sering kali menyebabkan kejadian banjir lebih sering dan intensif. Hal ini dikarenakan beberapa faktor:
Percepatan Aliran Air ke Sungai Limbasan dari perkebunan sawit akan bergerak lebih cepat menuju badan air, meningkatkan debit sungai secara signifikan dalam waktu singkat. Lonjakan ini sering memicu banjir bandang, terutama di DAS dengan kapasitas sungai yang terbatas.
Peningkatan Sedimentasi di Sungai Limpasan dari perkebunan sawit membawa partikel tanah yang tererosi akibat minimnya penutupan vegetasi di bawah pohon sawit. Akumulasi sedimen ini mempersempit alur sungai dan mengurangi kapasitas tampungnya, sehingga air meluap lebih mudah. Sebaliknya, hutan primer berfungsi melindungi tanah dari erosi, menjaga kualitas air sungai, dan mencegah sedimentasi yang berlebihan.
Baca juga: Benarkah Nasib Anak Ditentukan dari Bagaimana Dia Menghormati Orangtuanya, Ini Penjelasan Buya Yahya
Baca juga: Pasutri Muda Live Streaming Adegan Dewasa Selama 10 Jam, Sudah Beraksi 2 Bulan, Begini Nasibnya Kini
Berubahnya Pola Aliran Air di Hilir Wilayah hilir yang sebelumnya terlindungi oleh hutan alami kini menghadapi aliran air yang lebih besar dari biasanya. Akibatnya, daerah pertanian, infrastruktur, dan permukiman menjadi lebih rentan terhadap banjir. Hutan primer, dengan fungsi hidrologi alaminya, mampu mengatur pola aliran air sehingga mengurangi risiko seperti ini.
Menurunnya Kapasitas Penyimpanan Air Tanah Perkebunan sawit, dengan tanah yang terkompaksi, mengurangi infiltrasi dan menghambat pengisian ulang air tanah. Kondisi ini memengaruhi keseimbangan air di DAS, memperburuk dampak banjir selama musim hujan. Sebaliknya, hutan primer meningkatkan kapasitas penyimpanan air tanah, memberikan perlindungan alami terhadap kejadian banjir.
Kesimpulan
Secara hidrologi, hutan primer dan perkebunan sawit memiliki perbedaan mendasar dalam pengelolaan limpasan. Hutan primer berfungsi sebagai sistem alami yang dapat mengurangi limpasan dan mencegah banjir, sementara perkebunan sawit, dengan limpasan yang lebih tinggi, meningkatkan risiko akumulasi air di wilayah yang dihuni manusia.
Oleh karena itu, pengelolaan perkebunan sawit yang berkelanjutan perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap hidrologi, khususnya dalam konteks risiko banjir.
*) PENULIS adalah Dosen Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana, Prodi Teknik Sipil dan Prodi Ilmu Lingkungan Universitas Almuslim serta Ketua Pusat Kajian DAS Peusangan.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Polemik Sawit dan Hutan
Cut Azizah
Opini Cut Azizah tentang Hutan dan Sawit
Sawit dan Hutan dalam Perspektif Hidrologi
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.