Opini
Minum Kopi Sambil Baca Koran
Tiada hari tanpa minum kopi di warung kopi. Dan bukanlah warung kopi sesungguhnya, bila tidak berlangganan surat kabar harian. Ini ciri khas warung
PENGANTAR - TA Sakti adalah salah seorang intelektual Aceh yang kerap menulis di berbagai media, termasuk Harian Serambi Indonesia. Dalam rangka menyambut Ultah Ke-36 media ini, TA Sakti mengirim kembali tulisannya yang pernah dimuat 36 tahun silam. Berikut artikel dari sang sejarawan Aceh ini.
DALAM kehidupan sehari-hari, ada dua "ketagihan" masyarakat Aceh yang pemenuhannya saling mendukung satu dengan lainnya. Ketagihan itu adalah suka masalah 'politik' dan doyan minum kopi.
Pada umumnya, berita-berita aktual masih hangat tentang 'politik' dimuat dalam surat kabar harian yang beredar setiap pagi. Sementara itu, bagi pecandu kopi cenderung sependapat, minum kopi yang paling nikmat adalah di warung. "Kopi di rumah kurang lezat!", kata seorang suami di suatu-pagi kepada istrinya.
Kedua kesukaan masyarakat Aceh itu 'dimonopoli' para pemilik warung kopi. Mereka sengaja berlangganan suratkabar harian untuk bahan bacaan "politik" para langganan warungnya. akhirnya, kedua hobi masyarakat Aceh yakni ketagihan berita politik dan kecanduan minum kopi terpenuhi di warung kopi.
Tiada hari tanpa minum kopi di warung kopi. Dan bukanlah warung kopi sesungguhnya, bila tidak berlangganan surat kabar harian. Ini ciri khas warung kopi di Aceh, terkecuali warung-warung kopi di desa-desa terpencil.
Itulah sebabnya, mengapa lebih tiga puluh persen (30 persen) bangunan "toko"/kedai di setiap kota seluruh Aceh, dijejali warung-warung kopi. Warung kopi yang saling berhadapan merupakan pemandangan lazim di Aceh.
Saling memperebutkan langganan juga terjadi di antara warung-warung kopi yang ‘melimpah ruah’ itu. Daya penarik pun dipasang, seperti video, kipas angin dan surat-kabar. Koran yang diminati, terutama yang banyak memuat berita "tentang daerah Aceh”. Sebab itulah, hampir semua pemilik warung kopi di Aceh berlangganan koran-koran terbitan Medan, Sumatera Utara.
Debat warung kopi
Beberapa waktu lalu tak ada satupun koran harian terbitan Aceh. Surat-surat kabar yang diterbitkan di Aceh, biarpun menamakan diri 'harian', tetapi melihat waktu penyebarannya sepantasnyalah dinamakan surat kabar Mingguan bahkan koran tiga kali sebulan.
Faktor itulah antara lain yang menyebabkan masyarakat Aceh enggan berlangganan surat kabar daerah ini. Biarpun baru diterima sekitar pukul 14. 00 WIB (siang), namun mereka lebih senang berlangganan koran-koran terbitan Medan atau Jakarta.
Sikap 'latah' atau kecenderungan 'pada sesuatu yang berasal dari luar' sangat menonjol dalam gerak hidup manusia Aceh. Sikap ini juga terkesan pada perilaku orang Aceh yang kurang mencintai kebudayaan daerahnya.
Walaupun bukan berdasarkan hasil penelitian ilmiah, penulis yakin bahwa minat baca masyarakat Aceh sekarang sangat baik dibandingkan beberapa tahun lalu. Hal ini terbukti semakin banyaknya toko buku di Aceh dalam tahun-tahun terakhir ini.
Berbeda perkembangannya dalam hal minat baca surat kabar. Keadaannya terasa tetap 'menoton'. Mayoritas masyarakat Aceh tetap saja merupakan "pembaca" surat kabar di warung kopi.
Suasana warung kopi tempo dulu, juga tetap sama dengan saat sekarang. Yaitu, hampir-hampir tak ada kursi yang kosong sehingga orang-orang menunggu giliran untuk membaca koran.
Bermodalkan uang seharga segelas kopi dan sepotong kue, mereka sabar menunggu kesempatan itu. Malah tidak jarang hanya berbekal uang separuh gelas kopi tanpa kue, yang di Aceh popular disebut 'kopan" (kopi pancung).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.