Opini

Minum Kopi Sambil Baca Koran

Tiada hari tanpa minum kopi di warung kopi. Dan bukanlah warung kopi sesungguhnya, bila tidak berlangganan surat kabar harian.  Ini  ciri khas warung

|
Editor: mufti
SERAMBI/ZAINAL ARIFIN M NUR
BACA KORAN - Seorang warga sedang membaca koran Harian Serambi Indonesia, Minggu (9/2/2025). 

Kalau malu menyebut "kopan" di depan khalayak, cukup dengan isyarat mengacungkan jari telunjuk dengan separuh ditutup ibu jari. Pemilik warung mengerti yang diminta pelanggannya adalah kopi pancung (setengah gelas).  Isyarat lain adalah meletakkan tangan kanan di leher sambil bergaya “memotong leher”. 

Setelah kopi diminum seteguk-dua, mulailah "diskusi", memperbincangkan berita-berita hangat. Dewasa ini topik "perdebatan" yang paling hangat di setiap warung kopi adalah tentang tokoh Salman Rusdhie, pengarang buku "Ayat-ayat setan". Tak ketinggalan pula masa depan Daerah Aceh.

Bagi kalangan pelajar-mahasiswa dewasa ini, masalah kesempatan kerja "putra daerah" di proyek-proyek industri Aceh, termasuk topik perdebatan yang digandrungi. Di samping bisa memberikan "rasa bahagia" dengan latihan adu argumentasi setiap muncul "diskusi", para pembaca koran "gratis" ini biasa pula merasa kecewa. Yaitu, ketika membaca sebuah berita atau artikel yang pemuatannya tidak berakhir dalam satu halaman/satu lembaran koran, tetapi bersambung pada lembaran/halaman lain. 

Kalau mau membaca berita/artikel secara utuh, terpaksalah "antri" menanti dengan sabar. Masa menunggu kadang-kadang cukup lama, karena si pemegang halaman yang kita butuhkan,  sering memperlakukan koran yang dibacanya bagaikan milik sendiri.

Yakni, dibaca santai; sambil menghirup kopi hangat. Bagi yang tak sabar menunggu, terpaksa berpuas diri biar pun tidak memperoleh suatu kesimpulan dari artikel atau berita yang telah dibaca sebagian itu. Maklum, koran "gratis" !.

Banda Aceh-Yogyakarta

Lain padang-lain belalang, begitu bunyi pepatah lama. Tapi inti pepatah itu tetap aktual hingga sekarang. Akhir tahun 1981, saya berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi. Selama kuliah di Banda Aceh, saya termasuk mahasiswa yang paling doyan baca koran di warung kopi.

Tetapi apa hendak dikata, hobi di Aceh itu tak bisa saya teruskan di kota Yogyakarta. Ternyata di kota pendidikan ini jarang ada warung kopi. Warung nasi banyak tapi tidak berlangganan koran untuk bacaan para langganannya. (Tulisan TA Sakti yang dipublikasi Harian Serambi Indonesia pada Kamis 23 Maret 1989, di halaman 4).

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved