Jurnalisme Warga
Jerat Candu dari Balik Layar, Kita Bisa Apa?
Di saat penggunaan android menjadi tuntutan agar peserta didik melek digital, di sisi lain guru dihadapkan pada kemerosotan moral siswa yang kian nyat
NELLIANI, M.Pd., Guru SMA di Aceh Besar, melaporkan dari Desa Seuleu, Darussalam, Aceh Besar
Sebagai pengajar di sebuah sekolah menengah, saya prihatin melihat banyaknya siswa terlibat gim (game) online. Rasanya, pekerjaan guru makin bertambah bila tiap hari harus berurusan dengan perkara ini.
Di saat penggunaan android menjadi tuntutan agar peserta didik melek digital, di sisi lain guru dihadapkan pada kemerosotan moral siswa yang kian nyata.
Gim daring (online) adalah satu dari sekian tantangan pendidikan hari ini. Bagaimana membangun kemampuan akademik, karakter, dan moralitas jika anak dengan mudah terhubung dengan beragam hal yang dapat merusak potensinya. Bagaimana mewujudkan visi Indonesia Emas, bila ancaman dari balik layar terus mengintai generasi muda yang menjadi tumpuan masa depan? Menurut saya yang awam ini, guru dan orang tua bisa apa, jika keseriusan dan komitmen pengambil kebijakan masih dipertanyakan.
Pemerintah memang mengeluarkan aturan untuk melindungi anak dari gim online. Namun, fenomenanya makin meresahkan. Kekerasan seksual, pornografi, perundungan makin marak dan itu hampir selalu berkorelasi dengan gim online. Tampaknya, ketegasan menjadi keniscayaan tanpa memandang status dan latar belakang.
Tidak sulit menemukan pembenaran. Hampir setiap sudut menyuguhkan pemandangan serupa. Lingkungan sekolah, warung kopi, halte bus, musala kampung, bahkan di rumah-rumah kita, di depan mata kita ada gim online. Semakin ke sini buah hati yang polos dan lucu dengan segala keunikannya, berubah layaknya manusia yang tidak sempurna kewarasannya.
Di ruang kelas sebuah sekolah sekelompok siswa duduk membungkuk. Mata mereka nyaris tidak berkedip, terpaku pada layar android di tangan. Mereka tidak sedang mengasah intelektual atau menguji kecerdasannya. Jari-jari gesit menekan beragam tombol. Mulut komat-kamit layaknya membaca doa, tapi kali ini bukan doa. Sesekali keluar sindiran, hinaan, bahkan makian yang tidak pantas.
Malang nian nasib pengajar di zaman digital. Guru semangat mengajar, siswa semangat bermain gim, diingatkan, tidak terima. Tidak ada ucapan maaf, tidak ada rasa bersalah, malah mengamuk dan emosian tak karuan. Gim online telah mengambil alih pikiran dan akal sehat. Dari media kita mendengar, gara-gara handphone (hp) guru terpaksa berujung ke rumah sakit. Gara-gara hp tidak jarang berakhir pada pihak berwajib.
Di warung kopi pinggir jalan, hampir tiap malam penuh dengan anak usia sekolahan. Meskipun malam kian larut, anak-anak ini rela bertahan. Wifi gratis membuat acara nge-gim bertambah seru. Maka jangan heran banyak siswa bolos sekolah, tidur di kelas, hilang gairah karena bergadang semalaman.
Fenomena tersebut sejalan dengan laporan Hootsuite (We Are Social): Data digital Indonesia 2024 yang mengungkapkan Indonesia termasuk negara dengan persentase pemain gim video terbanyak. Pada Januari 2024, terdapat 96,5 persen pengguna internet usia 16-64 tahun memainkan gim video. Data itu lebih tinggi dibandingkan kuartal pertama tahun 2022 yang hanya 94,9 % pengguna internet bermain gin video. Platform yang paling banyak digunakan adalah smartphone, selebihnya perangkat laptop atau dekstop.
Berdasarkan data Asosiasi Games Indonesia (AGI) tahun 2022, 190 juta jiwa atau 2/3 dari total populasi masyarakat Indonesia menghabiskan waktu 8,5 jam per minggu bermain game. Mirisnya, 30 persen atau 57 juta dari jumlah tersebut merupakan anak di bawah 20 tahun atau usia sekolah. Angka tersebut diperkirakan akan terus meningkat seiring bertambahnya pengguna perangkat teknologi.
Apa yang kita harapkan dengan anak yang “menyendiri” di pojok ruangan dengan matanya terpaku pada suatu layar kecil? Layar itu bersinar dengan berbagai warna terang dan bergerak. Tangan mereka memegang sebuah kontrol kecil, dan tangan itu bergetar tiap kali kontrol bergetar. Mereka menggerakkan tangan dengan marah, dengan gelisah memencet tombol berbagai warna dan ukuran. Mereka memiliki telinga yang tajam mendengar suara elektronik, teriakan dan ketukan-ketukan yang terkadang sunyi, tetapi di saat yang lain keras, memikat hati orang di depannya, menyebabkan mereka tidak dapat mendengar atau memahami apa pun di sekitar mereka, kecuali game itu sendiri (Al-Munajjid, 2022: 15).
Anak-anak ini bagai hidup di dunia berbeda. Seiring lamanya durasi permainan, ia pun sulit mengelola waktu bahkan sampai lupa diri. Tidak merasa lelah, tidak juga lapar. Semangat belajar menurun, ibadah makin malas. Menarik diri dari pergaulan, tetapi terperangkap dalam interaksi virtual. Bisa agresif jika hp-nya di ambil. Sangat emosional jika aksinya dilarang.
Tidak dimungkiri gin daring menghadirkan manfaat, sebagai hiburan mengusir jenuh, melarikan diri dari kenyataan atau menciptakan atmosfer tenang dan sunyi di dalam rumah. Sebagian orang tua menjadikannya solusi agar anak tidak rewel. Sebagian lainnya sengaja memberikan agar anak terlihat keren. Tanpa disadari ini adalah awal dari kerusakan, di mana kita telah menukar kenormalan hidup dengan manfaat-manfaat kecil yang sangat menipu.
Candu gim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.